- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
Lima "Dosa" Dadang Suwarna, Calon Anggota BPK


TS
Ngkus
Lima "Dosa" Dadang Suwarna, Calon Anggota BPK

SUDAH pada galibnya, jika calon pejabat negara harus melaporkan harta kekayaan negara. Sudah sewajarnya juga, jika kemudian publik mengkritisi harta tidak wajar dari pejabat atau calon pejabat negara seperti Dadang Suwarna. Dia pejabat setingkat direktur di Direktorat Jenderal Pajak, yang sedang nge-bid jabatan baru sebagai Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Namanya sudah lolos sebagai calon, dan sedang bersiap melakukan uji kompetensi (fit and proper test) di Komisi XI DPR RI. Pada waktu seleksi di Dewan Pewakilan Daerah (DPD), nama Dadang tidak termasuk yang terjaring. Akan tetapi, keputusan DPD tidak mengikat, sebab yang menentukan adalah seleksi di Komisi XI DPR RI nanti.
Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang di laporkan, sangat menarik, karena kelihatan sekali ketidakwajarannya. Bahkan jika dirunut secara rinci dan dikritisi, sedikitnya ditemukan indikasi “dosa” Dadang terkait harta yang diperolehnya, selama menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Kekayaan yang dilaporkan di LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara), sangat tidak masuk akal untuk ukuran seorang PNS.. Diduga karena terkait dengan posisinya di BPKP dulu sebagai anggota Tim Gabungan bentukan Menko Ekuin (yang kemudian menjadi Tim Optimalisasi Penerimaan Negara – TOPN). Tim ini bekerja atas nama Ditjen Pajak untuk memeriksa kewajiban pajak di sektor migas dan pertambangan yang berbasis kontrak karya.
Selama berkarier di BPKP, Dadang mempunyai harta kekayaan di luar kewajaran. Dalam LHKPN ia melaporkan hartanya lebih dari Rp 30 miliar. Dari jumlah itu, dua-per-tiga berupa aset tanah dan bangunan, yang dilaporkan dengan “nilai perolehan”. Bukan harga NJOP
Padahal, jika menggunakan harga yang wajar sesuai NJOP, aset tanah dan bangunan tersebut, bernilai lebih dari Rp 400 miliar. Harmpir seluruh harta tersebut dilaporkan sebagai hasil sendiri. Satu-satunya point harga barisan hanya tercantum angka Rp 15 juta berupa perhiasan. Data lain yang mencengangkan adalah, Dadang membeli aset miliaran rupiah yang hampir semuanya dibayar secara tunai.
Itu catatan “dosa” pertama. Yang disebut "dosa" kedua adalah, selaku Direktur Pemeriksaan Pajak DJP, Dadang pernah membuat kebijakan secara melanggar hukum dan menguntungkan perusahaan tertentu (PT Freeport Indonesia/PTFI). Sesuai Kontrak Karya, PTFI seharusnya dikenakan pajak dengan sistem naildown (sesuai ketentuan/peraturan pada saat kontrak ditandatangani), namun Dadang memaksa Tim Pemeriksa Pajak PTFI menggunakan sistem prevailing (sesui ketentuan/peraturan yang berlaku pada saat ini atau saat kewajiban pajak tersebut timbul). Padahal, Kontrak Karya setara undang-undang, sehingga tidak dapat diubah hanya berdasarkan perintah seorang Direktur.
“Dosa” ketiga Dadang, masih terkait “dosa” kedua. Yakni, bahwa akibat perintah mengubah metode penghitungan pajak dari Naildown ke Prevailing tersebut mengakibatkan kerugian negara. Misalnya, proses Sengketa Pajak PTFI (2005 dan 2006 Proses Banding di Pengadilan Pajak) dan (2007 proses keberatan di Ditjen Pajak) menjadi seluruhnya dimenangkan PTFI.
Akibat lain, Wajib Pajak (ada 18 Perusahaan Kontrak Karya Tambang) lain akhirnya juga menikmati keuntungan atas perubahan cara penghitungan pajak tersebut, sehingga hampir seluruh Banding Pajak dikabulkan oleh Pengadilan Pajak. Harap diketahui, bahwa potensi penerimaan pajak dari empat perusahaan tambang yang beroperasi berdasarkan Kontrak Karya senilai Rp3,597 triliun akhirnya gagal dipungut. Kerugian negara lain akibat keputusan koruptif Dadang adalah, Pemeriksaan Pajak PTFI tahun 2008 menggunakan sistem Prevailing, akibatnya potensi penerimaan pajak senilai Rp895 miliar hilang.
Terakhir, pemeriksaan Pajak PTFI 2008 akhirnya tidak menghasilkan produk hukum apa pun (Surat Ketetapan Pajak gagal diterbitkan)karena BPK berpendapat pemeriksaan PTFI sesuai dengan Kontrak Karya harus menggunakan Naildown bukan Prevailing.
Catatan “dosa” besar Dadang keempat adalah, memanfaatkan tim dari BPKP (Tim Optimalisasi Penerimaan Negara) untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap WP Pertambangan, Perkebunan dan Properti namun hasilnya tidak maksimal karena (1) nilai temuan jauh di bawah indikasi/pronogsa, (2) nilai pajak yang dibayar kurang dari 30% dan (3) banyak surat tugas pemeriksaan yang tidak selesai.
Adapun “dosa” kelima Dadang, yakni penggunaan jaringan di Parlemen, Dadang mengintervensi proses pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI dalam proses pemeriksaan atau audit di Ditjen Pajak, terkait pemeriksaan pajak PT Freeport tadi. Data lengkap, menyusul. Tetapi informasi tersebut, confirmed. ***


anasabila memberi reputasi
1
4.8K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan