Spoiler for KPPU Kaji Dugaan Tarif Predator Taksi Online:
Quote:
Jakarta - Hadirnya taksi online di sektor jasa transportasi sejatinya telah menjadi perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sejak setahun terakhir.
"Kami tengah mengkaji pengaduan masyarakat terhadap dugaan pelanggaran persaingan usaha yang dilakukan oleh pengusaha taksi online," ujar Ketua KPPU Muhammad Syarkawi Rauf kepada detikINET, Sabtu (25/3/2017).
Pengaduan tersebut, kata Syarkawi, berupa dugaan tindakan predatory pricing yang dilakukan oleh sejumlah pengusaha taksi online.
"Yakni, memasang tarif yang sangat rendah dengan tujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha saingannya ataupun untuk mencegah masuknya pengusaha lain ke dalam pasar yang sama," paparnya.
Berapa bulan belakangan, tarif angkutan online dibanderol dengan harga murah, bahkan juga menawarkan berbagai promosi hingga perjalanan gratis.
Menurut Syarkawi, KPPU tentunya siap menindak pelaku usaha apabila terbukti melakukan predatory pricing untuk menyingkirkan pesaingnya.
"Kami akan melihat bagaimana structure cost yang berlaku pada angkutan online, bagaimana para pengusaha ini bisa menetapkan harga yang begitu rendah," kata Syarkawi.
Terkait dengan revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32/2016, Syarkawi mengatakan, terdapat dua poin penting yang menjadi perhatian KPPU. Masing-masingnya yaitu, mengatur standar minimum untuk pelayanan terhadap konsumen atau penumpang dan pengaturan tarif batas atas.
Dia menjelaskan, adanya aturan standar pelayanan minimum dapat menjadi jaminan dalam memberikan keamanan dan kenyamanan kepada konsumen.
"Kalau untuk tarif, kami lebih setuju pengaturan batas atas dan tidak merekomendasikan ketentuan batas bawah. Sebab, kalau pengaturan batas bawah justru menjadi disinsentif bagi pengusaha serta dapat melemahkan kemampuan berinovasi," kata Syarkawi.
Ketentuan batas bawah tarif angkutan taksi konvensional dan online justru akan berdampak pada biaya transportasi mahal dan membuat kita sulit menurunkan ongkos transpor.
"Batas bawah tarif akan memaksa konsumen membayar biaya angkutan mahal. Hal ini sama saja membiarkan konsumen menanggung inefisiensi operator jasa transportasi," sesal Syarkawi.