arfrtkAvatar border
TS
arfrtk
Raden Wijaya Bukan dari Sunda seperti yang selama ini digembor-gemborkan


Dyah Wijaya atau yang lebih dikenal Raden Wijaya merupakan sosok yang berpengaruh penting dalam sejarah Kediri - Singhasari - Majapahit yang asal usulnya bagi sebagian orang masih membingungkan tapi bagi sejarawan sudah terang klo raden wijaya keturunan murni Ken Arok - Ken Dedes...
Raden Wijaya adalah pendiri Majapahit menurut kitab Pararaton, dan ini terbukti kebenarannya karena sesuai dengan nama yang ditemukan dalam kakimpoi Nagarakretagama (1365), yaitu Dyah Wijaya. Adapun nama yang lebih panjang ditemukan dalam prasasti Kudadu (1294), yaitu Nararya Sanggramawijaya.

di wikipedia aja sumber yang menyatakan raden wijaya dari sunda ditentang oleh sejarawan dan dibilang aspal
Sementara itu, Jaka Sesuruh adalah pendiri Majapahit versi Babad Tanah Jawi dan naskah-naskah turunannya, seperti Babad Majapahit, Babad Segaluh, Serat Pranitiradya, Serat Pustakaraja, dan babad-babad lainnya. Kitab-kitab tersebut ditulis ratusan tahun setelah Majapahit runtuh sehingga isinya bersifat fantastis dan melenceng dari fakta historis. Namun demikian, masih banyak di antara kita yang mencoba mengawinkan Babad Tanah Jawi dengan Pararaton, sehingga menerima bahwa Jaka Sesuruh adalah nama lain Raden Wijaya.

Pertanyaan pun saya perjelas. Apa buktinya kalau Raden Wijaya memiliki nama lain Jaka Sesuruh? Apakah ada prasasti atau kakimpoi peninggalan Majapahit yang menyebut Jaka Sesuruh sebagai nama lain Dyah Wijaya? Jawabnya : tidak ada.

Bahkan, pada zaman Majapahit nama “Jaka” belum lazim digunakan oleh kaum laki-laki. Terbukti, dalam kitab Pararaton sama sekali tidak dijumpai adanya tokoh yang mengandung unsur nama Jaka. Jika demikian, lantas penulis Babad Tanah Jawi dapat ide dari mana mengarang nama Jaka Sesuruh sebagai pendiri Majapahit?

Untuk lebih jelasnya, mari kita simak uraian berikut ini …

KISAH HIDUP RADEN WIJAYA, PENDIRI MAJAPAHIT VERSI HISTORI

Menurut kakimpoi Nagarakretagama, Dyah Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, atau cucu Bhattara Narasinghamurti dari Kerajaan Tumapel. Pada tahun 1292 kedaton Singhasari (ibu kota Tumapel) diserang dari utara oleh bawahannya sendiri, yaitu Jayakatwang raja Gelang-Gelang. Sri Kertanagara raja Tumapel pun mengirimkan pasukan untuk menumpas, yang dipimpin kedua menantunya, yaitu Dyah Wijaya dan Dyah Ardharaja. Tak disangka, serangan tersebut hanyalah pancingan, karena pasukan induk Jayakatwang justru menyerang Singhasari dari arah selatan. Sri Kertanagara pun tewas akibat pemberontakan ini.

Dyah Ardharaja yang juga putra Sri Jayakatwang kemudian berbalik meninggalkan Dyah Wijaya untuk bergabung dengan pihak ayahnya. Dyah Wijaya yang tadinya unggul dalam menghadapi serangan pancingan di utara tersebut, kini ganti dikejar-kejar oleh pihak pemberontak. Hingga akhirnya, dengan jumlah prajurit yang tinggal dua belas orang, ia berhasil menyeberang ke Madhura untuk meminta bantuan Banyak Wide, adipati Songeneb yang juga bergelar Arya Wiraraja. Kisah perjalanan Dyah Wijaya ini tertulis secara lengkap dalam prasasti Kudadu tahun 1294 (selisih dua tahun saja setelah Singhasari runtuh).

Banyak Wide pun memberikan jaminan, sehingga Sri Jayakatwang bersedia menerima Dyah Wijaya yang pura-pura menyerah. Selanjutnya, Dyah Wijaya mendapatkan sebidang tanah di Hutan Tarik untuk kemudian dibuka menjadi permukiman bernama Majapahit.

Pada tahun 1293 datanglah pasukan Dinasti Yuan yang dikirim oleh Kaisar Shizu alias Khubilai Khan. Pasukan ini dipimpin oleh Shi Bi, Yighmis, dan Gao Xing. Kedatangan mereka bertujuan untuk menaklukkan Sri Kertanagara raja Tumapel agar tunduk kepada Dinasti Yuan. Dyah Wijaya pun memanfaatkan kedatangan mereka. Dengan mengaku sebagai ahli waris Sri Kertanagara, ia bersedia menyatakan tunduk kepada Kaisar Shizu, namun terlebih dulu pasukan Dinasti Yuan harus membantunya untuk merdeka dari kekuasaan Sri Jayakatwang yang kini beristana di kota Daha.

Maka, pasukan Dinasti Yuan dan Majapahit pun bergabung menyerang kota Daha dan berhasil mengalahkan Sri Jayakatwang. Akan tetapi, Dyah Wijaya kemudian berbalik menghantam pasukan asing tersebut dari belakang. Setelah kehilangan 15% total prajurit, Shi Bi pun menarik mundur pasukannya kembali ke Tiongkok. Kisah kegagalan Dinasti Yuan dalam usaha menaklukkan Tanah Jawa ini tercatat dengan rinci dalam naskah Yuanshi.

Dyah Wijaya kini telah merdeka. Ia pun meresmikan Majapahit menjadi kerajaan penerus Tumapel, di mana dirinya sebagai raja pertama bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana. Sesuai perjanjian di awal, ia pun memberikan setengah wilayah kerajaan kepada Banyak Wide alias Arya Wiraraja yang dianggap sangat berjasa dalam pendirian Kerajaan Majapahit.

RIWAYAT JAKA SESURUH, PENDIRI MAJAPAHIT VERSI FANTASI

Berikut ini adalah riwayat berdirinya Majapahit dari sumber Babad Tanah Jawi dan naskah-naskah turunannya :

Raja Pajajaran bernama Sri Pamekas memiliki dua putra, yaitu Arya Bangah (raja Galuh) dan Raden Sesuruh (putra mahkota Pajajaran). Pada suatu hari ia menguji seorang petapa bernama Ki Ajar Cepaka yang terkenal sakti. Salah seorang selirnya didandani seperti orang hamil dan ditanyakan apakah anaknya nanti lahir laki-laki ataukah perempuan? Ki Ajar Cepaka menjawab laki-laki. Sri Pamekas merasa senang karena tebakan Ki Ajar Cepaka salah. Ia pun membuka pakaian selirnya untuk membuktikan bahwa kandungan tersebut hanyalah bokor yang dibalut kain. Sungguh ajaib, bokor tersebut tiba-tiba musnah, sedangkan perut sang selir kini benar-benar mengandung. Sri Pamekas merasa dipermainkan dan ia pun menghukum mati Ki Ajar Cepaka.

Para ahli nujum meramalkan bahwa bayi yang dikandung sang selir kelak akan menjadi penyebab kehancuran raja. Maka ketika bayi itu lahir, Sri Pamekas pun berusaha membunuhnya tetapi selalu gagal. Usaha terakhir adalah memasukkan bayi itu ke dalam peti, lalu menghanyutannya di Sungai Krawang, hingga kemudian ditemukan oleh pencari ikan bernama Ki Buyut Krawang suami-istri.

Beberapa tahun kemudian, bayi itu telah tumbuh dewasa dan pada suatu hari ia melihat burung siyung dan wanara (monyet ) di tengah hutan. Maka, pemuda itu pun menamakan dirinya Siyung Wanara.

Siyung Wanara selalu bertanya apakah dirinya memiliki saudara. Ki Buyut Krawang terpaksa mengarang cerita bahwa dirinya memiliki saudara di ibukota Pajajaran yang menjadi pandai besi. Siyung Wanara pun pergi ke sana dan tinggal di rumah pandai besi tersebut. Dalam waktu singkat ia mampu mempelajari ilmu menempa besi, bahkan melunakkan besi dengan jari-jarinya atau menggunakan lutut sebagai alas menempa logam.

Pada suatu hari Siyung Wanara masuk ke dalam istana Pajajaran dan memamerkan kesaktiannya. Sri Pamekas tertarik dan menjadikannya sebagai petugas pengadilan. Kesaktian dan prestasi Siyung Wanara membuatnya semakin disayang raja, bahkan ia pun diakui sebagai anak oleh Sri Pamekas, serta diberi nama baru : Banyak Wide.

Pada suatu hari Sri Pamekas menang perang. Banyak Wide alias Siyung Wanara memberikan hadiah berupa tempat tidur besi yang dilengkapi pintu. Ia mengatakan bahwa, barangsiapa tidur di dalamnya akan mendapatkan kesegaran dan kesehatan. Sri Pamekas percaya dan mencobanya. Banyak Wide tiba-tiba mengunci pintu tempat tidur tersebut dan menenggelamkannya di Sungai Krawang sebagai balas dendam atas peristiwa yang dialaminya semasa bayi dahulu.

Mengetahui ayahnya tewas, Raden Sesuruh datang menyerang Banyak Wide. Dalam pertempuran itu Raden Sesuruh kalah dan melarikan diri ke timur. Ia lalu ditampung seorang janda bernama Nyai Randa Kaligunting. Sementara itu, Banyak Wide alias Siyung Wanara yang telah menjadi raja mengumumkan akan menghukum mati siapa saja warga Pajajaran yang berani melindungi Raden Sesuruh. Nyai Randa Kaligunting ketakutan, lalu mengajak Raden Sesuruh pindah ke timur, keluar dari wilayah Pajajaran.

Dalam perjalanannya, Raden Sesuruh berjumpa petapa sakti bernama Ki Ajar Cemaratunggal di Gunung Kombang. Petapa itu meramalkan bahwa Raden Sesuruh akan menjadi raja besar jika menemukan pohon maja berbuah satu di wilayah timur yang rasanya pahit. Setelah meramalkan demikian, Ki Ajar Cemaratunggal berubah menjadi wanita cantik. Raden Sesuruh terpesona dan ingin menjadikannya istri. Wanita cantik itu musnah dan berkata bahwa ia sesungguhnya putri Pajajaran yang hidup di zaman Prabu Mundingwangi (kakek Raden Sesuruh). Kini ia akan pindah ke Laut Selatan dan menjadi ratu segenap makhluk halus di sana.

Raden Sesuruh meminta maaf atas kelancangannya dan ia pun melanjutkan perjalanan ke timur hingga memasuki wilayah Kerajaan Singasari. Di sana ia menemukan pohon maja berbuah satu yang rasanya pahit. Maka, ia segera membangun sebuah pedukuhan bernama Majapahit di tempat itu dan mengganti namanya menjadi Jaka Sesuruh.

Pada suatu hari Jaka Sesuruh menerima kedatangan kakaknya, yaitu Arya Bangah yang melaporkan bahwa Banyak Wide alias Siyung Wanara telah merebut Kerajaan Galuh dari tangannya. Jaka Sesuruh dan Arya Bangah lalu bergabung menggempur Kerajaan Pajajaran. Banyak Wide dapat dikalahkan. Jaka Sesuruh pun menjadi raja Pajajaran dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Majapahit.

SASTRA KERATON SEBAGAI SARANA LEGITIMASI RAJA

Kitab Babad Tanah Jawi yang memuat riwayat Jaka Sesuruh ditulis pertama kali tahun 1718 oleh Pangeran Adilangu II, pujangga Keraton Kartasura. Dengan demikian, naskah ini disusun setelah Majapahit runtuh hampir dua abad. Itu sebabnya jalan ceritanya sangat berbeda dengan naskah Pararaton, Nagarakretagama, ataupun prasasti Kudadu. Misalnya, tokoh Banyak Wide dalam Pararaton adalah sekutu pendiri Majapahit, sedangkan dalam Babad Tanah Jawi justru disebut sebagai musuh Majapahit.

Begitulah, pada abad ke-18 belum ada studi tentang prasasti dan kakimpoi, sehingga sejarah Majapahit menjadi kabur dan gelap. Maka, disusunlah kitab sejarah berdasarkan fantasi pujangga yang bermakna simbolis, bukan berdasarkan hasil studi arkeologi ataupun filologi.

G. Moedjanto dalam bukunya “Konsep Kekuasaan Raja Jawa” tahun 1987 menyebutkan bahwa penulisan Babad Tanah Jawi bertujuan untuk menciptakan wibawa Dinasti Mataram yang keturunan kaum petani agar bisa mendapatkan legitimasi sebagai penguasa resmi Tanah Jawa. Untuk itu, disusunlah silsilah bahwa Mataram adalah keturunan Majapahit, sedangkan Majapahit adalah kelanjutan Pajajaran, Pajajaran adalah kelanjutan Jenggala, Jenggala adalah kelanjutan Medang Koripan, Medang Koripan adalah kelanjutan Pengging, Pengging adalah kelanjutan Kediri, dan Kediri adalah keturunan Arjuna (Pandawa) yang sudah “dijawakan”. Tujuannya ialah untuk “pencitraan” bahwa raja-raja Mataram adalah penguasa sah Tanah Jawa karena memiliki darah Majapahit, darah Pajajaran, darah Jenggala, darah Pengging, darah Kediri, bahkan darah Pandawa dari kisah Mahabharata segala.

Babad Tanah Jawi dan turunannya dengan cerdik menyusun silsilah ke atas dengan cara merangkai legenda-legenda Tanah Jawa menjadi satu kesatuan yang urut. Misalnya, cerita Panji, legenda Anglingdarma, kisah Watugunung, dan juga dongeng Pakukuhan. Bahkan, para pujangga juga “meminjam” legenda-legenda dari Tatar Sunda. Mengapa demikian? Karena pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kerajaan Galuh telah menjadi kadipaten bawahan Mataram, sehingga secara otomatis terjadilah pertukaran budaya Jawa – Sunda. Banyak sekali cerita legenda dari Tatar Sunda yang kemudian diadopsi pujangga Jawa untuk memperkaya khasanah sastra keraton.

Mengapa saya berkata demikian? Karena nama-nama seperti Siyung Wanara, Arya Bangah, dan Jaka Sesuruh yang telah kita baca di atas sesungguhnya adalah nama-nama tokoh cerita tradisional Sunda. Siyung Wanara adalah versi Jawa untuk Ciung Wanara; Arya Bangah adalah versi Jawa untuk Hariang Banga; sedangkan Jaka Sesuruh mengadopsi tokoh legenda dari Kabupaten Ciamis, yaitu Jaka Susuru.

Dengan kata lain, penulis Babad Tanah Jawi tidak mengetahui fakta historis berdirinya Kerajaan Majapahit sehingga meminjam beberapa cerita tradisional Sunda untuk melengkapinya. Hal ini dapat dimaklumi, karena naskah-naskah kakimpoi seperti Nagarakretagama dan Pararaton telah “diamankan” ke Pulau Bali pasca runtuhnya Majapahit tahun 1527. Hal ini sempat disinggung Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, The History of Java.

Bagaimana cerita-cerita tradisional dari Sunda tersebut, marilah kita simak rangkumannya berikut ini …

LEGENDA CIUNG WANARA DAN HARIANG BANGA VERSI SUNDA

Prabu Permanadikusumah raja Medangkamulyan di Bumi Galuh pergi bertapa dan menyerahkan takhta kepada Patih Aria Kebonan. Sebelum berangkat, sang raja berpesan bahwa Patih Aria Kebonan boleh menjadi raja tetapi tidak boleh menyentuh kedua permaisuri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Patih Aria Kebonan menyanggupi dan ia pun naik takhta bergelar Prabu Barma Wijaya. Akan tetapi, raja baru tersebut mengingkari janji, karena ia berani berselingkuh dengan Dewi Pangrenyep hingga mengandung.

Pada suatu hari terdengar kabar adanya petapa sakti di Gunung Padang bernama Ajar Sukaresi. Prabu Barma Wijaya penasaran ingin menguji kesaktian petapa itu. Dewi Naganingrum pun didandani seperti orang hamil untuk kemudian dibawa ke Gunung Padang. Prabu Barma Wijaya lalu bertanya kepada Ajar Sukaresi kelak Dewi Naganingrum melahirkan laki-laki atau perempuan. Ajar Sukaresi menjawab laki-laki. Mendengar itu, Prabu Barma Wijaya tertawa senang dan menuduh Ajar Sukaresi seorang petapa palsu.

Tak disangka, ternyata Dewi Naganingrum benar-benar hamil, dan bukan kehamilan palsu. Prabu Barma Wijaya murka dan membunuh Ajar Sukaresi. Adapun Ajar Sukaresi tidak lain adalah Prabu Permanadikusumah yang telah menjadi petapa. Sebelum meninggal ia mengutuk bahwa kelak bayi yang dikandung Dewi Naganingrum akan mengalahkan Prabu Barma Wijaya. Setelah mengutuk demikian, arwah Ajar Sukaresi alias Prabu Permanadikusumah berubah wujud menjadi seekor naga bernama Nagawiru.

Ketika waktunya tiba, Dewi Pangrenyep melahirkan putra hasil perselingkuhannya dengan Prabu Barma Wijaya yang diberi nama Hariangbanga. Sementara itu, Dewi Naganingrum juga melahirkan bayi laki-laki namun segera ditukar Dewi Pangrenyep dengan anak anjing. Kemudian Prabu Barma Wijaya menghanyutkan bayi tersebut dalam keranjang di Sungai Citanduy dengan disertai sebutir telur, karena ia takut pada kutukan Ajar Sukaresi.

Prabu Barma Wijaya lalu mengumumkan kepada rakyat bahwa Dewi Naganingrum telah melahirkan anak anjing yang merupakan kutukan dewa, sehingga pantas untuk dihukum mati. Penasihat raja yaitu Ki Lengser ditugasi membunuh Dewi Naganingrum tetapi tidak tega melakukannya. Dewi Naganingrum pun disembunyikan dalam hutan, kemudian Ki Lengser melapor kepada Prabu Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep bahwa tugasnya telah dilaksanakan.

Sementara itu, bayi laki-laki yang dilahirkan Dewi Naganingrum ditemukan pencari ikan bernama Aki Balagantrang dan istrinya di Desa Gegersunten. Mereka sangat senang dan menjadikan bayi itu sebagai anak angkat. Adapun telur yang menyertai si bayi diserahkan kepada Nagawiru di Gunung Padang untuk dierami.

Waktu berlalu, si bayi telah tumbuh menjadi pemuda, sedangkan si telur telah menetas menjadi seekor ayam jantan. Pada suatu hari Aki Balagantrang mengajak anak angkatnya itu berburu di hutan dan mereka melihat seekor burung ciung dan seekor wanara (monyet). Karena tertarik melihat kedua binatang tersebut, si pemuda pun menamakan dirinya sendiri, Ciung Wanara.

Ciung Wanara kemudian membawa ayamnya pergi ke ibu kota Medangkamulyan. Kedatangannya menarik perhatian dua orang patih bernama Purawesi dan Puragading yang juga memelihara ayam. Mereka pun menantang Ciung Wanara menyabung ayam. Namun, dalam adu jago tersebut, ayam milik kedua patih itu tewas melawan ayam milik Ciung Wanara.

Berita ini sampai kepada Prabu Barma Wijaya. Ia pun tertarik untuk menyabung ayam dengan Ciung Wanara. Jika ayam miliknya kalah, maka Ciung Wanara akan diangkat sebagai anak dan mendapatkan setengah wilayah kerajaan. Sebaliknya, jika ayam milik Ciung Wanara kalah, maka pemuda itu harus dibunuh sebagai hukuman atas kelancangannya.

Pertandingan sabung ayam pun berlangsung seru. Mula-mula ayam milik Ciung Wanara terdesak. Tiba-tiba Nagawiru datang dan diam-diam merasuki ayam tersebut sehingga kekuatannya pulih dan berhasil mengalahkan ayam milik Prabu Barma Wijaya.

Prabu Barma Wijaya terpaksa menepati janjinya. Ia pun memberikan setengah Kerajaan Medangkamulyan kepada Ciung Wanara. Sedikit demi sedikit riwayat masa lalu Ciung Wanara terkuak pula oleh Ki Lengser. Ia lalu mempertemukan Ciung Wanara dengan ibu kandungnya, yaitu Dewi Naganingrum yang disembunyikan di dalam hutan.

Ciung Wanara lalu membalas kejahatan Prabu Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep. Keduanya dijebak sehingga masuk ke dalam penjara besi yang dibangun oleh Ciung Wanara. Mendengar kedua orang tuanya dikurung, Hariangbanga pun datang menyerang Ciung Wanara. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Ciung Wanara berhasil menangkap Hariangbanga lalu melemparkan tubuhnya hingga menyeberangi Sungai Cipamali.

LEGENDA JAKA SUSURU VERSI SUNDA

Demikianlah kisah Ciung Wanara dan Hariangbanga menurut versi Sunda. Lalu bagaimana dengan kisah Jaka Susuru? Ternyata Jaka Susuru adalah tokoh lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan Ciung Wanara dan Hariangbanga. Berikut mari kita simak rangkumannya.

Prabu Siliwangi VII raja Pakuan Pajajaran memberikan sebidang tanah di Hutan Pasagi Wetan kepada putranya yang bernama Raden Munding Mintra Kasiringan Wangi. Maka berangkatlah sang pangeran dengan ditemani dua punggawa, yaitu Tumenggung Sewana Guru dan Tumenggung Sewana Giri. Setelah mencipta istana megah lengkap dengan prajuritnya di hutan tersebut menggunakan pusaka Jimat Makuta Siger Kencana, sang pangeran lalu melapor kepada ayahnya di Pakuan Pajajaran.

Prabu Siliwangi VII berkenan mendengarnya dan mengangkat Raden Munding Mintra Kasiringan Wangi sebagai raja di istana baru tersebut, bergelar Prabu Jaka Susuru, sedangkan negaranya disebut Tanjung Singuru. Adapun kedua tumenggung tadi diangkat pula sebagai patih di sana.

Setelah menjadi raja, Prabu Jaka Susuru menikahi dua orang putri Prabu Jungjang Buana dari Kerajaan Bitung Wulung, yaitu Sekar Jayanti dan Jayanti Kembang. Berita ini terdengar oleh Raja Gunung Gumuruh yang dulunya ingin menikahi Sekar Jayanti tetapi ditolak. Raja Gunung Gumuruh lalu datang ke Tanjung Singuru dan pura-pura mengundang Prabu Jaka Susuru untuk melihat intan sebesar kepala kerbau yang ia simpan di dasar Kawah Domas.

Prabu Jaka Susuru menerima undangan tersebut dengan disertai Patih Sewana Guru dan Patih Sewana Giri. Ketika mereka menengok ke dalam Kawah Domas, Raja Gunung Gumuruh menendang sehingga ketiganya pun jatuh tercebur ke dalam kawah. Raja Gunung Gumuruh lalu menutup kawah itu dengan batu besar sehingga Prabu Jaka Susuru dan kedua patihnya terkurung di dalam.

Sekar Jayanti dan Jayanti Kembang yang masing-masing telah mengandung anak Prabu Jaka Susuru melarikan diri dari kejaran Raja Gunung Gumuruh. Kedua wanita itu lalu melahirkan di dalam hutan. Sekar Jayanti melahirkan putra bernama Heulang Boengbang Legantara Lungguh Tapa Jaya Perang, sedangkan Jayanti Kembang melahirkan putra bernama Kebo Keremay Sakti Pangeran Giringsing Wyang.

Sepuluh tahun kemudian kedua wanita itu beserta anak-anak mereka mengungsi ke Kerajaan Tanjung Sumbara, meminta perlindungan Prabu Gajah Karumasakti. Mengetahui bahwa mereka adalah menantu Prabu Siliwangi VII, Prabu Gajah Karumasakti pun bersedia membantu. Ia lalu menyerang Kerajaan Tanjung Singuru dan berhasil mengalahkan Raja Gunung Gumuruh.

Raja Gunung Gumuruh bertobat dan ia kemudian membebaskan Prabu Jaka Susuru beserta kedua patihnya dari dalam penjara Kawah Domas. Prabu Jaka Susuru kembali bertakhta dan membawahi Prabu Gajah Karumasakti serta Raja Gunung Gumuruh.

Lanjutan dibawah









0
13.2K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan