- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pertemuan Ulama NU di Rembang, Apa yang dibicarakan?


TS
aghilfath
Pertemuan Ulama NU di Rembang, Apa yang dibicarakan?
Spoiler for Pertemuan Ulama NU di Rembang, Apa yang dibicarakan?:

Quote:
TEMPO.CO, Surabaya - Para ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengadakan pertemuan di Rembang, Jawa Tengah, pada Kamis, 16 Maret 2017. Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, Hasan Mutawakkil Alallah, mengatakan pertemuan tersebut membahas mengenai dua persoalan yang saat ini terjadi di Indonesia, yaitu kebangsaan dan kesenjangan ekonomi.
“[ini]Kami para kiai sangat prihatin terhadap dua persoalan itu[/i],” kata Hasan saat dihubungi Tempo, Jumat, 17 Maret 2017.
Hasan menuturkan Indonesia saat ini sedang mengalami persoalan yang cukup serius dalam konteks kebangsaan. Persoalan terkait politik identitas dan agama juga semakin kuat. Menurut dia, tidak sedikit gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama dengan tujuan politik kekuasaan. Hal tersebut, Hasan menambahkan, didalangi oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.
“Jadi gerakan politik tapi dibungkus dengan gerakan Islam,” ujar Hasan.
Lebih parahnya, Hasan menambahkan, gerakan-gerakan tersebut sudah sampai pada klaim kebenaran yang tidak sesuai dengan pilar kebangsaan. Misalnya, suatu kelompok dianggap kafir atau murtad apabila tidak sepemahaman dengan gerakan mereka.
“Terkadang gerakan mereka itu malah melanggar prinsip-prinsip Islam itu sendiri", kata Hasan.
Selain membahas persoalan kebangsaan, pertemuan tersebut juga membahas soal kesenjangan ekonomi. Hasan menuturkan, Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat sedang berada pada kompetisi makro global. Menurut dia, negara kompetitor menganggap Indonesia sebagai negara yang potensial untuk pasar mereka. Dia sangat menyayangkan hal tersebut, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki cakupan wilayah cukup luas dengan sumber daya alam yang melimpah.
“Ada tausiah dari para kiai untuk pemegang amanah, baik itu di lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun tokoh agama dan organisasi agar benar-benar memegang amanah yang didapat,” tutur Hasan.
Ketika disinggung soal intoleransi dan politisasi agama yang sedang marak terjadi di Indonesia, Hasan mengatakan, peran pemerintah dan penegak hukum sangat penting. Menurut dia, harus ada ketegasan dari pemerintah dalam menjaga kedaulatan bangsa. Dia menambahkan, organisasi maupun gerakan-gerakan yang bertentangan dengan pilar kebangsaan hendaknya dilarang.
“Jangan ragu-ragu itu dilarang saja, pasti rakyat juga berada di belakang pemerintah,” kata Hasan.
Dia menambahkan, para ulama juga sudah memberikan pernyataan bahwa NU tidak bisa dipisahkan dari NKRI. Sebab, ujar dia, tokoh-tokoh NU telah ikut serta mendirikan negeri ini sejak proklamasi dan pascakemerdekaan.
“Sehingga harga mati bagi para ulama untuk mempertahankan kesatuan negeri ini beserta pilar kebangsaannya,” Hasan berujar.
“[ini]Kami para kiai sangat prihatin terhadap dua persoalan itu[/i],” kata Hasan saat dihubungi Tempo, Jumat, 17 Maret 2017.
Hasan menuturkan Indonesia saat ini sedang mengalami persoalan yang cukup serius dalam konteks kebangsaan. Persoalan terkait politik identitas dan agama juga semakin kuat. Menurut dia, tidak sedikit gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama dengan tujuan politik kekuasaan. Hal tersebut, Hasan menambahkan, didalangi oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.
“Jadi gerakan politik tapi dibungkus dengan gerakan Islam,” ujar Hasan.
Lebih parahnya, Hasan menambahkan, gerakan-gerakan tersebut sudah sampai pada klaim kebenaran yang tidak sesuai dengan pilar kebangsaan. Misalnya, suatu kelompok dianggap kafir atau murtad apabila tidak sepemahaman dengan gerakan mereka.
“Terkadang gerakan mereka itu malah melanggar prinsip-prinsip Islam itu sendiri", kata Hasan.
Selain membahas persoalan kebangsaan, pertemuan tersebut juga membahas soal kesenjangan ekonomi. Hasan menuturkan, Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat sedang berada pada kompetisi makro global. Menurut dia, negara kompetitor menganggap Indonesia sebagai negara yang potensial untuk pasar mereka. Dia sangat menyayangkan hal tersebut, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki cakupan wilayah cukup luas dengan sumber daya alam yang melimpah.
“Ada tausiah dari para kiai untuk pemegang amanah, baik itu di lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun tokoh agama dan organisasi agar benar-benar memegang amanah yang didapat,” tutur Hasan.
Ketika disinggung soal intoleransi dan politisasi agama yang sedang marak terjadi di Indonesia, Hasan mengatakan, peran pemerintah dan penegak hukum sangat penting. Menurut dia, harus ada ketegasan dari pemerintah dalam menjaga kedaulatan bangsa. Dia menambahkan, organisasi maupun gerakan-gerakan yang bertentangan dengan pilar kebangsaan hendaknya dilarang.
“Jangan ragu-ragu itu dilarang saja, pasti rakyat juga berada di belakang pemerintah,” kata Hasan.
Dia menambahkan, para ulama juga sudah memberikan pernyataan bahwa NU tidak bisa dipisahkan dari NKRI. Sebab, ujar dia, tokoh-tokoh NU telah ikut serta mendirikan negeri ini sejak proklamasi dan pascakemerdekaan.
“Sehingga harga mati bagi para ulama untuk mempertahankan kesatuan negeri ini beserta pilar kebangsaannya,” Hasan berujar.
tempo
NU akan selalu menjadi batu sandungan buat kelompok khilafah dan khawarij dalam perjuangannya merebut sendi2 kekuasaan dimari

Nih contohnya :
Quote:
[3/17, 17:05] +62 856-4087-7271: PERNYATAAN SIKAP
HAI’AH ASH-SHOFWAH AL-MALIKIYYAH
Tentang
Hasil Halaqoh Bahtsul Masa’il Kiai Muda
Pimpinan Pusat GP. Ansor “Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia”
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين، أما بعد:
Kami dari alumnus Hai’ah Ash-Shofwah (Lajnatu Syari’ah) dengan ini menyatakan bahwa keputusan Halaqoh Bahtsul Masa’il GP. Ansor tentang “Kepemimpinan non-Muslim” sangat menyakiti hati seluruh Abna Abuya al-Maliki. Karena keputusan tersebut memakai dawuhnya Abuya al-Maliki dari kitab Beliau yang berjudul Muhammad al-Insan al-Kamil. Seolah-olah memberi kesan bahwa guru kami Abuya al-Maliki Rahimahullah selaras dengan keputusan GP. Ansor yang sesat-menyesatkan dalam agama, karena:
1. Kami seluruh Abna Abuya bersaksi bahwa Beliau tidak pernah membolehkan kepemimpinan non-Muslim atas umat Islam. Jadi, Kiai-kiai Muda GP. Ansor telah lancang dan khianat mencatut ibarat dari kitab Beliau, Muhammad al-Insan al-Kamil. Semoga mereka dibalas setimpal oleh Allah SWT atas kelancangan dan افتراء tersebut (mendapat kualat besar), Amin.
2. Mereka mengatakan ada khilaf dalam memilih pemimpin non-Muslim. Sebenarnya yang dikatakan khilaf oleh mereka itu bukan “khilaf ulama” yang ditutur dalam kutub mutabarah, akan tetapi khilaf antara organisator-organisator dalam Jamiyyah NU dan Muhammadiyah yang tidak berlandaskan kutub mutabarah, padahal dasar NU adalah Madzahibul Arbaah. Para organisator sekarang rentan dilemahkan imannya dengan uang. Walaupun Said Aqil membawa Harry Tanoe ke pondok-pondok, ini jelas sesat menyesatkan, dan tidak bisa dianggap khilafiyah mutabarah.
3. Para ulama ahli tafsir yang berbeda pendapat mengenai makna Auliya itu hanya dalam koridor “pemaknaan” lafadz Auliya saja, tidak ada yang sampai melegitimasi kepemimpinan non-Muslim. Karena memang mengamalkan kaidah ilmu tafsir Al-Ibroh bi Umumil lafdzi la bikhususissabab, jadi praktis tidak ada kontradiksi antara mereka.
Adapun ibarat kutub mutabarah yang dibuat landasan keputusan Muktamar NU di Lirboyo itu bahasanya memakai kata Tauliyatul Kafir (Menguasakan urusan kenegaraan kepada non-Muslim Ahl Dzimmah dengan mekanisme kontrol efektif, ketika dari pihak muslim tidak ada yang kompeten, dan ini menjadi hak prerogatif Imam Azhom) dan “Istianah bil kafir alal muslim” (meminta pertolongan kafir untuk menguasai muslim, hal ini diperbolehkan ketika dharurat). Jadi sekali lagi kami tegaskan dalam ibarat-ibarat tersebut tidak ada yang memberi pemahaman legalnya seorang muslim Memilih pemimpin non-Muslim. Jika GP. Ansor tetap saja beristidlal dengan perkhilafan ulama ahli tafsir padahal hanya bohong belaka atau bahkan mengikuti pendapatnya Quraisy Syihab, maka semakin memperjelas keberadaan mereka semua (GP. Ansor, Quraisy Syihab dan para pengikutnya) yang tidak tahu menahu fakta adanya Al-Ghazwu as-Siyasi wa ats-Tsaqofi wa al-Iqtishodi bada Ghazwil Fikri, dan tidak paham Mafhum Aula-Qiyas Aulawi.
4. Mereka mengatakan: GP Ansor melalui kiai-kiai muda bermaksud merumuskan istinbath hukum Islam yang dapat menjadi referensi bagi masyarakat muslim untuk menunaikan hak politiknya dalam memilih pemimpin”. Bahasa seperti ini bukan bahasa kiai-kiai NU kuno, justru ini bahasanya orang-orang moderen yang berlagak mujtahid. Sebab kiai-kiai kuno dahulu menjawab permasalahan keagamaan dengan ibarat-ibarat kutub mutabarah, semisal ketika membahas kepemimpinan, para kiai kuno tersebut menyebutkan ibarat ulil amri, syuruthul imam, khilafah dst. Bukan malah pakai tabir urusan Muasyarah Jamilah maal Kuffar atau Shulh Hudaibiyah yang keduanya jelas tidak nyambung dengan permasalahan yang dibahas. Perlu kami terangkan Muasyarah Jamilah maal Kuffar itu hanya sebatas interaksi sosial seperti bertetangga, tidak sampai memberi dukungan kepada non-Muslim dalam pencalonan, buktinya dalam terusan ibaratnya menggunakan kalimat Bihasabi azh-Zhahir", yang kemungkinan redaksi benarnya "Min Haitzu azh Zhahir.
HAI’AH ASH-SHOFWAH AL-MALIKIYYAH
Tentang
Hasil Halaqoh Bahtsul Masa’il Kiai Muda
Pimpinan Pusat GP. Ansor “Kepemimpinan Non Muslim di Indonesia”
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين، أما بعد:
Kami dari alumnus Hai’ah Ash-Shofwah (Lajnatu Syari’ah) dengan ini menyatakan bahwa keputusan Halaqoh Bahtsul Masa’il GP. Ansor tentang “Kepemimpinan non-Muslim” sangat menyakiti hati seluruh Abna Abuya al-Maliki. Karena keputusan tersebut memakai dawuhnya Abuya al-Maliki dari kitab Beliau yang berjudul Muhammad al-Insan al-Kamil. Seolah-olah memberi kesan bahwa guru kami Abuya al-Maliki Rahimahullah selaras dengan keputusan GP. Ansor yang sesat-menyesatkan dalam agama, karena:
1. Kami seluruh Abna Abuya bersaksi bahwa Beliau tidak pernah membolehkan kepemimpinan non-Muslim atas umat Islam. Jadi, Kiai-kiai Muda GP. Ansor telah lancang dan khianat mencatut ibarat dari kitab Beliau, Muhammad al-Insan al-Kamil. Semoga mereka dibalas setimpal oleh Allah SWT atas kelancangan dan افتراء tersebut (mendapat kualat besar), Amin.
2. Mereka mengatakan ada khilaf dalam memilih pemimpin non-Muslim. Sebenarnya yang dikatakan khilaf oleh mereka itu bukan “khilaf ulama” yang ditutur dalam kutub mutabarah, akan tetapi khilaf antara organisator-organisator dalam Jamiyyah NU dan Muhammadiyah yang tidak berlandaskan kutub mutabarah, padahal dasar NU adalah Madzahibul Arbaah. Para organisator sekarang rentan dilemahkan imannya dengan uang. Walaupun Said Aqil membawa Harry Tanoe ke pondok-pondok, ini jelas sesat menyesatkan, dan tidak bisa dianggap khilafiyah mutabarah.
3. Para ulama ahli tafsir yang berbeda pendapat mengenai makna Auliya itu hanya dalam koridor “pemaknaan” lafadz Auliya saja, tidak ada yang sampai melegitimasi kepemimpinan non-Muslim. Karena memang mengamalkan kaidah ilmu tafsir Al-Ibroh bi Umumil lafdzi la bikhususissabab, jadi praktis tidak ada kontradiksi antara mereka.
Adapun ibarat kutub mutabarah yang dibuat landasan keputusan Muktamar NU di Lirboyo itu bahasanya memakai kata Tauliyatul Kafir (Menguasakan urusan kenegaraan kepada non-Muslim Ahl Dzimmah dengan mekanisme kontrol efektif, ketika dari pihak muslim tidak ada yang kompeten, dan ini menjadi hak prerogatif Imam Azhom) dan “Istianah bil kafir alal muslim” (meminta pertolongan kafir untuk menguasai muslim, hal ini diperbolehkan ketika dharurat). Jadi sekali lagi kami tegaskan dalam ibarat-ibarat tersebut tidak ada yang memberi pemahaman legalnya seorang muslim Memilih pemimpin non-Muslim. Jika GP. Ansor tetap saja beristidlal dengan perkhilafan ulama ahli tafsir padahal hanya bohong belaka atau bahkan mengikuti pendapatnya Quraisy Syihab, maka semakin memperjelas keberadaan mereka semua (GP. Ansor, Quraisy Syihab dan para pengikutnya) yang tidak tahu menahu fakta adanya Al-Ghazwu as-Siyasi wa ats-Tsaqofi wa al-Iqtishodi bada Ghazwil Fikri, dan tidak paham Mafhum Aula-Qiyas Aulawi.
4. Mereka mengatakan: GP Ansor melalui kiai-kiai muda bermaksud merumuskan istinbath hukum Islam yang dapat menjadi referensi bagi masyarakat muslim untuk menunaikan hak politiknya dalam memilih pemimpin”. Bahasa seperti ini bukan bahasa kiai-kiai NU kuno, justru ini bahasanya orang-orang moderen yang berlagak mujtahid. Sebab kiai-kiai kuno dahulu menjawab permasalahan keagamaan dengan ibarat-ibarat kutub mutabarah, semisal ketika membahas kepemimpinan, para kiai kuno tersebut menyebutkan ibarat ulil amri, syuruthul imam, khilafah dst. Bukan malah pakai tabir urusan Muasyarah Jamilah maal Kuffar atau Shulh Hudaibiyah yang keduanya jelas tidak nyambung dengan permasalahan yang dibahas. Perlu kami terangkan Muasyarah Jamilah maal Kuffar itu hanya sebatas interaksi sosial seperti bertetangga, tidak sampai memberi dukungan kepada non-Muslim dalam pencalonan, buktinya dalam terusan ibaratnya menggunakan kalimat Bihasabi azh-Zhahir", yang kemungkinan redaksi benarnya "Min Haitzu azh Zhahir.
0
2.2K
Kutip
24
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan