- Beranda
- Komunitas
- News
- Sains & Teknologi
[Serial Edukasi Nuklir] MITOS-MITOS SEPUTAR RADIASI NUKLIR


TS
dic.thorium
[Serial Edukasi Nuklir] MITOS-MITOS SEPUTAR RADIASI NUKLIR
Spoiler for Quote:
“We simply don’t know how body responds to weaker radiation. But society, of course, demands conclusions from us. So to be safe, we pretend to be able to calculate the danger down to the smallest dosage.”
–Werner Ruehm
–Werner Ruehm
Spoiler for Pendahuluan:
Jika ada ketakutan yang paling overdosis di dunia ini, yang keberadaannya dianggap sebagai ancaman padahal itu cuma delusi orang-orang belaka, maka itu adalah ketakutan terhadap radiasi.
Meski tidak selalu berasal dari nuklir, radiasi seringkali diasosiasikan sebagai produk dari teknologi nuklir. Radiasi yang dimaksud adalah radiasi pengion, yaitu radiasi yang mampu melakukan ionisasi pada sel, yang sederhananya mampu ‘menendang’ elektron keluar dari atom sel. Perubahan susunan elektron ini bisa memengaruhi sifat sebuah sel.
Umumnya, publik mengenal radiasi itu berasal dari tiga sumber: PLTN, kedokteran nuklir dan bom nuklir. Sebagaimana halnya teknologi nuklir secara umum, radiasi dianggap oleh sebagian besar merupakan momok yang menakutkan. Informasi berkembang simpang siur di masyarakat, tapi sebagian besar (kalau bukan semuanya) negatif. Khususnya di Indonesia, radiasi dianggap sebagai salah satu hal paling menakutkan dari PLTN, selain limbah.
Namun, tentu saja, sebagaimana aspek-aspek lain dari nuklir, persepsi masyarakat mengenai radiasi lebih banyak yang sesat ketimbang akurat. “Bahaya” yang dianggap ada dan mengancam sebenarnya tidak lebih dari ketakutan delusional. Wajar saja, publik terlalu banyak menelan cerita-cerita fantasi mengenai nuklir dan radiasi (Hulk?). Ini diperparah dengan propaganda menyesatkan dari LSM-LSM anti-nuklir dan, dalam skala lebih rendah, para pejabat serta tokoh publik yang punya pengetahuan nol mengenai nuklir tapi berlagak seolah mereka adalah yang paling paham.
Menelan informasi dari sembarang sumber memang tidak pernah berakibat baik. Karena itu, perlu kiranya publik mengetahui mana yang mitos dan mana yang fakta mengenai radiasi.
Spoiler for Mitos 1: Radiasi Itu BERBAHAYA:
Oh, ya ampun, yang ini sederhana sekali.
Jawabannya sebenarnya sederhana saja: sinar matahari yang sampai ke bumi, yang membuat siang hari terang dan menyokong kehidupan, itu bentuknya radiasi. Apakah lantas secara otomatis berbahaya? Tidak, kan?
Tapi, baiklah, kita jawab lebih lengkap sedikit.
Bumi ini merupakan lautan radiasi. Secara otomatis, radiasi ada di mana saja. Setiap saat, manusia dihujani radiasi. Dari matahari, dari luar angkasa, dari tanah, bahkan dari dalam tubuh sekalipun! Kadar radiasi di planet ini tinggal kurang lebih sepersepuluh dari radiasi yang ada ketika bumi baru terbentuk.
Radiasi dari matahari, tentu saja, sinar matahari sendiri. Dari luar angkasa, radiasi kosmik secara konstan menghantam bumi dalam bentuk sinar-gamma. Demikian pula dari dalam tanah, radiasi memancar dari material radioaktif alami seperti uranium, thorium dan radon. Dari dalam tubuh? Well, ini memang serius. Setidaknya ada dua unsur radioaktif dalam tubuh, yaitu karbon-14 dan kalium-40. Unsur terakhir banyak pula ditemukan di pisang. Ya, pisang. Serius. Kedua unsur ini secara konstan memancarkan radiasi dalam tubuh, menghantam jutaan sel tiap jamnya.
Lantas, apa ada efek buruk terhadap manusia karena semua itu? Tidak ada, tuh.
Wajar saja, karena dosisnya kecil. Sebagian radiasi mampu merusak sel, tapi tidak cukup banyak untuk memengaruhi fungsi organ tertentu. Lagipula, tubuh manusia juga memiliki kemampuan untuk memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Kemampuan perbaikan sel ini melampaui kemampuan perusakan dari radiasi.
Jadi, poin penting apakah radiasi nuklir itu berbahaya atau tidak bergantung pada dosis radiasi. Jika seseorang terkena dosis radiasi sangat tinggi, maka bisa saja berbahaya. Apapun yang berlebihan memang tidak baik. Tapi kalau dosis radiasinya normal, kenapa juga harus takut?
Seberapa batasan berbahayanya dosis radiasi? Menurut data, efek radiasi itu baru mulai tampak pada dosis radiasi 100 miliSievert(mSv) dalam waktu paparan singkat, sekitar sebulan. Bagaimana kalau 100 mSv dalam waktu setahun? Ya berarti tidak ada masalah, karena dosis bulanannya lebih rendah. Di bawah 100 mSv per bulan, tidak ada dampak biologis yang bisa dideteksi sebagai akibat paparan radiasi pada tubuh manusia.
Sekadar komparasi, penduduk Kerala, India, terpapar radiasi nuklir hingga 70 mSv/tahun, karena pantainya mengandung sejumlah besar thorium. Apakah kemudian mereka jadi banyak yang kena kanker atau apalah? Tidak. Mereka baik-baik saja. Malah kanker yang menimpa penduduk Kerala hanya sepertiga kasus kanker di Australia!
Jadi, ada apa sebenarnya dengan berbagai ketakutan irasional ini? Tidak usah berlebihan menyikapi radiasi, perlakukan saja seperti kita memperlakukan obat. Selama tidak berlebihan, tidak ada yang patut dikhawatirkan. Apalagi, radiasi berlebihan itu bukan sesuatu yang bisa lepas begitu saja ke tengah masyarakat.
Jawabannya sebenarnya sederhana saja: sinar matahari yang sampai ke bumi, yang membuat siang hari terang dan menyokong kehidupan, itu bentuknya radiasi. Apakah lantas secara otomatis berbahaya? Tidak, kan?
Tapi, baiklah, kita jawab lebih lengkap sedikit.
Bumi ini merupakan lautan radiasi. Secara otomatis, radiasi ada di mana saja. Setiap saat, manusia dihujani radiasi. Dari matahari, dari luar angkasa, dari tanah, bahkan dari dalam tubuh sekalipun! Kadar radiasi di planet ini tinggal kurang lebih sepersepuluh dari radiasi yang ada ketika bumi baru terbentuk.
Radiasi dari matahari, tentu saja, sinar matahari sendiri. Dari luar angkasa, radiasi kosmik secara konstan menghantam bumi dalam bentuk sinar-gamma. Demikian pula dari dalam tanah, radiasi memancar dari material radioaktif alami seperti uranium, thorium dan radon. Dari dalam tubuh? Well, ini memang serius. Setidaknya ada dua unsur radioaktif dalam tubuh, yaitu karbon-14 dan kalium-40. Unsur terakhir banyak pula ditemukan di pisang. Ya, pisang. Serius. Kedua unsur ini secara konstan memancarkan radiasi dalam tubuh, menghantam jutaan sel tiap jamnya.
Lantas, apa ada efek buruk terhadap manusia karena semua itu? Tidak ada, tuh.
Wajar saja, karena dosisnya kecil. Sebagian radiasi mampu merusak sel, tapi tidak cukup banyak untuk memengaruhi fungsi organ tertentu. Lagipula, tubuh manusia juga memiliki kemampuan untuk memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Kemampuan perbaikan sel ini melampaui kemampuan perusakan dari radiasi.
Jadi, poin penting apakah radiasi nuklir itu berbahaya atau tidak bergantung pada dosis radiasi. Jika seseorang terkena dosis radiasi sangat tinggi, maka bisa saja berbahaya. Apapun yang berlebihan memang tidak baik. Tapi kalau dosis radiasinya normal, kenapa juga harus takut?
Seberapa batasan berbahayanya dosis radiasi? Menurut data, efek radiasi itu baru mulai tampak pada dosis radiasi 100 miliSievert(mSv) dalam waktu paparan singkat, sekitar sebulan. Bagaimana kalau 100 mSv dalam waktu setahun? Ya berarti tidak ada masalah, karena dosis bulanannya lebih rendah. Di bawah 100 mSv per bulan, tidak ada dampak biologis yang bisa dideteksi sebagai akibat paparan radiasi pada tubuh manusia.
Sekadar komparasi, penduduk Kerala, India, terpapar radiasi nuklir hingga 70 mSv/tahun, karena pantainya mengandung sejumlah besar thorium. Apakah kemudian mereka jadi banyak yang kena kanker atau apalah? Tidak. Mereka baik-baik saja. Malah kanker yang menimpa penduduk Kerala hanya sepertiga kasus kanker di Australia!
Jadi, ada apa sebenarnya dengan berbagai ketakutan irasional ini? Tidak usah berlebihan menyikapi radiasi, perlakukan saja seperti kita memperlakukan obat. Selama tidak berlebihan, tidak ada yang patut dikhawatirkan. Apalagi, radiasi berlebihan itu bukan sesuatu yang bisa lepas begitu saja ke tengah masyarakat.
Spoiler for Mitos 2: Radiasi Latar Berbeda Dengan Radiasi Nuklir:
Mari kita lihat perbandingan berikut.
Intinya: sama saja.
Dari segi potensi, tidak ada bedanya antara radiasi latar dengan radiasi nuklir (yang dianggap buatan manusia). Mengingat bentuk keduanya sama saja. Dalam dosis radiasi yang sama, efeknya tidak ada beda.
Radiasi latar: sinar-gamma, radiasi-alfa, radiasi-beta.
Radiasi pengion: sinar-gamma, radiasi-alfa, radiasi-beta.
Radiasi pengion: sinar-gamma, radiasi-alfa, radiasi-beta.
Intinya: sama saja.
Dari segi potensi, tidak ada bedanya antara radiasi latar dengan radiasi nuklir (yang dianggap buatan manusia). Mengingat bentuk keduanya sama saja. Dalam dosis radiasi yang sama, efeknya tidak ada beda.
Spoiler for Mitos 3: PLTN memancarkan radiasi berbahaya ke lingkungan:
Faktanya, tinggal di area sekitar PLTN selama setahun cuma membuat seseorang menerima paparan radiasi 200 kali lebih kecil ketimbang sekali terbang naik pesawat dari Jakarta ke Vienna. Hei, penerbangan pesawat itu berada di ketinggian ribuan meter dari permukaan laut. Radiasi kosmiknya jelas lebih tinggi. Bahkan, kalau seseorang makan satu pisang tiap hari selama setahun, itu kira-kira memberikan dosis radiasi ke tubuh kita yang sama dengan tinggal di area PLTN.
Ini bukan lelucon.
Ada ratusan hal yang mungkin membuat tubuh kita menyerap dosis radisi lebih tinggi daripada PLTN. Terbang pakai pesawat dari Jakarta ke Dubai, pemeriksaan organ dalam pakai sinar-X, pemeriksaan tubuh pakai CT-Scan, jadi pramugari/a, jadi pilot, bahkan merokok. Ya, perokok, apalagi perokok berat, paru-parunya menerima dosis radiasi ribuan kali lebih tinggi daripada pekerja di PLTN. Substansi rokok mengandung unsur polonium-210 dan timbal-210, keduanya memancarkan radiasi alfa yang merusak sel-sel di organ dalam, seperti paru-paru Wajarlah perokok sering sekali kena kanker paru-paru.
Benar, PLTN memancarkan radiasi ke lingkungan, tetapi sangat kecil. US Nuclear Regulatory Commissionmenunjukkan bahwa orang yang tinggal di area sekitar PLTN hanya mendapat dosis tambahan sekitar 0,01 mSv/tahun. Untuk perbandingan, dosis rerata radiasi yang diterima publik tiap tahun adalah 2,4 mSv/tahun. Bahkan di beberapa tempat, seperti sebagian kota di Finlandia, bisa lebih dari 10 mSv/tahun bahkan 35 mSv/tahun!
Lihat perbandingannya?
Kenapa radiasi yang dipancarkan PLTN ke lingkungan sangat kecil? Jawabannya adalah sistem keselamatan dalam PLTN itu sendiri. Kalau seseorang berdiri di samping teras reaktor (tempat terjadinya reaksi fisi nuklir untuk menghasilkan panas), dalam hitungan detik orang itu pasti mati. Untungnya, berdiri di sana adalah mustahil. Sebagai gantinya, teras reaktor dikungkung oleh bejana baja yang tebalnya sekitar 25 cm. Itu ditambah dengan beton baja yang digunakan sebagai pengungkung reaktor, yang kira-kira tebalnya 3 meter.
Itu, beserta beberapa sistem pendukung lainnya, cukup untuk meminimalisir radiasi yang keluar dari bangunan PLTN menuju lingkungan seminimal mungkin. Semuanya dikendalikan dengan sangat baik oleh operator sehingga tidak ada satupun warga sekitar yang terkena dampak akibat radiasi PLTN.
Meski sama-sama tidak cukup berbahaya bagi kesehatan, nyatanya PLTU batubara justru memancarkan lebih banyak radiasi ke lingkungan daripada PLTN (kira-kira 100 kali lebih tinggi). Kok bisa? Batubara mengandung banyak sekali material, termasuk dalam jumlah kecil, uranium dan thorium. Ya, dua material radioaktif ini ikut terlepas ke udara bersama asap pembuangan PLTU, sehingga lebih banyak radiasi yang terpapar pada masyarakat di sekitar PLTU.
Semua klaim mengenai radiasi dari PLTN memberi efek berbahaya pada kesehatan sudah ditolak oleh United Nations Scientific Committee of the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR), National Research Council’s BEIR VII Study Group, National Cancer Society, dan berbagai lembaga kredibel lainnya. Mereka tersusun dari orang-orang di bidang Epidemiologi dan Kesehatan Publik, Kedokteran, Onkologi Radiasi, Biologi Molekuler, Pengukuran Radiasi, Fisika Radiasi, Biostatistik, Statistik Matematik, Biofisika, Bionukleon, Penilaian dan Manajemen Risiko, Kimia dan Toksikologi, serta bidang-bidang lainnya. Jadi, bukan sebatas nuclear engineer saja, melainkan berbagai bidang kepakaran.
Ini bukan lelucon.
Ada ratusan hal yang mungkin membuat tubuh kita menyerap dosis radisi lebih tinggi daripada PLTN. Terbang pakai pesawat dari Jakarta ke Dubai, pemeriksaan organ dalam pakai sinar-X, pemeriksaan tubuh pakai CT-Scan, jadi pramugari/a, jadi pilot, bahkan merokok. Ya, perokok, apalagi perokok berat, paru-parunya menerima dosis radiasi ribuan kali lebih tinggi daripada pekerja di PLTN. Substansi rokok mengandung unsur polonium-210 dan timbal-210, keduanya memancarkan radiasi alfa yang merusak sel-sel di organ dalam, seperti paru-paru Wajarlah perokok sering sekali kena kanker paru-paru.
Benar, PLTN memancarkan radiasi ke lingkungan, tetapi sangat kecil. US Nuclear Regulatory Commissionmenunjukkan bahwa orang yang tinggal di area sekitar PLTN hanya mendapat dosis tambahan sekitar 0,01 mSv/tahun. Untuk perbandingan, dosis rerata radiasi yang diterima publik tiap tahun adalah 2,4 mSv/tahun. Bahkan di beberapa tempat, seperti sebagian kota di Finlandia, bisa lebih dari 10 mSv/tahun bahkan 35 mSv/tahun!
Lihat perbandingannya?
Kenapa radiasi yang dipancarkan PLTN ke lingkungan sangat kecil? Jawabannya adalah sistem keselamatan dalam PLTN itu sendiri. Kalau seseorang berdiri di samping teras reaktor (tempat terjadinya reaksi fisi nuklir untuk menghasilkan panas), dalam hitungan detik orang itu pasti mati. Untungnya, berdiri di sana adalah mustahil. Sebagai gantinya, teras reaktor dikungkung oleh bejana baja yang tebalnya sekitar 25 cm. Itu ditambah dengan beton baja yang digunakan sebagai pengungkung reaktor, yang kira-kira tebalnya 3 meter.
Itu, beserta beberapa sistem pendukung lainnya, cukup untuk meminimalisir radiasi yang keluar dari bangunan PLTN menuju lingkungan seminimal mungkin. Semuanya dikendalikan dengan sangat baik oleh operator sehingga tidak ada satupun warga sekitar yang terkena dampak akibat radiasi PLTN.
Meski sama-sama tidak cukup berbahaya bagi kesehatan, nyatanya PLTU batubara justru memancarkan lebih banyak radiasi ke lingkungan daripada PLTN (kira-kira 100 kali lebih tinggi). Kok bisa? Batubara mengandung banyak sekali material, termasuk dalam jumlah kecil, uranium dan thorium. Ya, dua material radioaktif ini ikut terlepas ke udara bersama asap pembuangan PLTU, sehingga lebih banyak radiasi yang terpapar pada masyarakat di sekitar PLTU.
Semua klaim mengenai radiasi dari PLTN memberi efek berbahaya pada kesehatan sudah ditolak oleh United Nations Scientific Committee of the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR), National Research Council’s BEIR VII Study Group, National Cancer Society, dan berbagai lembaga kredibel lainnya. Mereka tersusun dari orang-orang di bidang Epidemiologi dan Kesehatan Publik, Kedokteran, Onkologi Radiasi, Biologi Molekuler, Pengukuran Radiasi, Fisika Radiasi, Biostatistik, Statistik Matematik, Biofisika, Bionukleon, Penilaian dan Manajemen Risiko, Kimia dan Toksikologi, serta bidang-bidang lainnya. Jadi, bukan sebatas nuclear engineer saja, melainkan berbagai bidang kepakaran.
Spoiler for Mitos 4: Radiasi bisa mengakibatkan mutasi genetik:
Agak ironis bahwa pernyataan yang dilontarkan puluhan tahun lalu ini sampai sekarang belum pernah ditemukan buktinya pada manusia (kecuali pada Bruce Banner a.k.a. Hulk).
Ya, kalau sebatas pada hewan kecil atau tumbuhan, memang bisa saja. Sekitar 80 tahun lalu, para ilmuwan menemukan bahwa dosis radiasi yang cukup tinggi pada lalat buah mengakibatkan mutasi genetik pada keturunannya. Namun, meski hal yang sama diprediksi akan terjadi juga pada manusia, tapi sampai sekarang tidak pernah ditemukan buktinya.
Bagaimana bisa dikatakan seperti itu? Mari kita tengok dari korban ledakan bom Hiroshima-Nagasaki. Bom plutonium dan uranium yang diledakkan di kedua kota itu sangat dahsyat dan mengakibatkan ratusan ribu orang tewas. Kedua bom itu tentu saja memancarkan radiasi dosis tinggi. Walau begitu, studi ekstensif pada 75 ribu anak dari orangtua yang terpapar radiasi bom nuklir Hiroshima-Nagasaki tidak menemukan adanya efek pada genetik mereka.
Demikian pula di Chernobyl. Kecelakaan PLTN terparah (dengan korban paling mentok 50 orang) ini memancarkan radiasi ke area sekitar kota Pripyat bahkan Belarusia. Namun, lagi-lagi, tidak ditemukan bukti apapun bahwa radiasi dari material nuklir yang lepas ke lingkungan itu mengakibatkan perubahan genetik pada orang-orang yang terkena paparan. Sekitar 500 ribu orang dikerahkan untuk membersihkan sisa-sisa kecelakaan Chernobyl, yang konsekuensinya membuat para pekerja itu menerima dosis radiasi yang lebih tinggi daripada publik secara umum. Walau begitu, tidak ditemukan adanya defek genetik pada mereka dan keturunannya.
Jadi, kalau ada yang mau wisata ke Pripyat atau Chernobyl, jangan harap akan bertemu keluarga yang punya mata tiga atau ikan yang bisa hidup di darat dan punya kaki. Semua itu hanya mitos. Khayalan. Imajinasi. Sebaliknya, alam tumbuh secara liar, pepohonan menutupi lahan, hewan-hewan hidup di dalamnya dengan damai karena ketiadaan manusia yang menghabisi spesies mereka.
Ya, kalau sebatas pada hewan kecil atau tumbuhan, memang bisa saja. Sekitar 80 tahun lalu, para ilmuwan menemukan bahwa dosis radiasi yang cukup tinggi pada lalat buah mengakibatkan mutasi genetik pada keturunannya. Namun, meski hal yang sama diprediksi akan terjadi juga pada manusia, tapi sampai sekarang tidak pernah ditemukan buktinya.
Bagaimana bisa dikatakan seperti itu? Mari kita tengok dari korban ledakan bom Hiroshima-Nagasaki. Bom plutonium dan uranium yang diledakkan di kedua kota itu sangat dahsyat dan mengakibatkan ratusan ribu orang tewas. Kedua bom itu tentu saja memancarkan radiasi dosis tinggi. Walau begitu, studi ekstensif pada 75 ribu anak dari orangtua yang terpapar radiasi bom nuklir Hiroshima-Nagasaki tidak menemukan adanya efek pada genetik mereka.
Demikian pula di Chernobyl. Kecelakaan PLTN terparah (dengan korban paling mentok 50 orang) ini memancarkan radiasi ke area sekitar kota Pripyat bahkan Belarusia. Namun, lagi-lagi, tidak ditemukan bukti apapun bahwa radiasi dari material nuklir yang lepas ke lingkungan itu mengakibatkan perubahan genetik pada orang-orang yang terkena paparan. Sekitar 500 ribu orang dikerahkan untuk membersihkan sisa-sisa kecelakaan Chernobyl, yang konsekuensinya membuat para pekerja itu menerima dosis radiasi yang lebih tinggi daripada publik secara umum. Walau begitu, tidak ditemukan adanya defek genetik pada mereka dan keturunannya.
Jadi, kalau ada yang mau wisata ke Pripyat atau Chernobyl, jangan harap akan bertemu keluarga yang punya mata tiga atau ikan yang bisa hidup di darat dan punya kaki. Semua itu hanya mitos. Khayalan. Imajinasi. Sebaliknya, alam tumbuh secara liar, pepohonan menutupi lahan, hewan-hewan hidup di dalamnya dengan damai karena ketiadaan manusia yang menghabisi spesies mereka.
Spoiler for Mitos 5: Radiasi Bisa Mengakibatkan Kanker:
Ini benar di satu sisi, tapi pemahamannya seringkali kurang lengkap.
Saya belum lama ini membaca artikel bagus di Kompasiana tulisan pak Bob S. Effendi mengenai kekacauan politik energi Jerman. Namun, yang menggelitik, ada komentar aneh dari akun yang pakai pseudonym Relativitas, yang berkoar-koar bahwa PLTN berbahaya karena “dampak PLTN dimulai dari tingkat elemental atom… dst”. Sehingga, katanya, efeknya bisa berujung pada masalah metabolisme dan akhirnya kanker, sembari membawa-bawa teori fisika kuantum yang entah dia sendiri paham atau tidak.
Ah, mungkin dia sedang kumur-kumur.
Menanggapi komentar lelucon seperti itu tidak perlu serius-serius amat. Di Mitos 3 sudah disampaikan bahwa radiasi yang dipancarkan PLTN ke lingkungan itu sangat kecil, hanya 1/240 dari dosis radiasi yang diterima rerata manusia tiap tahunnya. Logikanya, kalau dosis 2,4 mSv/tahun saja tidak memberi dampak sama sekali pada tubuh, apa yang bisa dilakukan dosis radiasi yang hanya 1/240 dari dosis itu?
Benar, radiasi nuklir bisa menyebabkan kanker. Begitu pula gaya hidup tidak sehat. Masalahnya lagi-lagi kembali pada dosis radiasi. Ini yang seringkali orang gagal paham. Seolah-olah radiasi nuklir sekecil apapun dapat menyebabkan kanker.
Kalau misal mau meningkatkan risiko terkena kanker pada manusia akibat radiasi, ada batas minimum dosis ketika efek terhadap sel-sel tubuh bisa tampak. Minimal 100 mSv/bulan, seperti disebutkan sebelumnya. Belum tentu pasti akan menyebabkan kanker juga, sih, tapi peluang terjadinya kanker memang meningkat.
Kalau di bawah 100 mSv/bulan? Biasa saja, tidak usah ketakutan begitu.
Berita baiknya, fasilitas nuklir apapun diatur sehingga dosis radiasi yang diterima masyarakat jauh di bawah 100 mSv/bulan. Regulasi Bapeten malah mengharuskan di bawah 1 mSv/tahun untuk masyarakat umum. Terlalu ketat, saya kira... Padahal mau dipapari dosis 100x lipat dalam rentang waktu yang sama pun tidak menyebabkan apa-apa, dari data yang ada.
Jadi, benar bahwa radiasi nuklir berpotensi menyebabkan kanker, tapi butuh dosis radiasi ratusan hingga ribuan kali lebih tinggi dari yang mungkin diterima publik dari berbagai fasilitas nuklir, termasuk PLTN. Dalam taraf kekinian, asal tidak sembarangan bermain-main dengan perangkat CT-scan atau radioterapi di rumah sakit, tidak perlu takut kena kanker akibat radiasi.
Saya belum lama ini membaca artikel bagus di Kompasiana tulisan pak Bob S. Effendi mengenai kekacauan politik energi Jerman. Namun, yang menggelitik, ada komentar aneh dari akun yang pakai pseudonym Relativitas, yang berkoar-koar bahwa PLTN berbahaya karena “dampak PLTN dimulai dari tingkat elemental atom… dst”. Sehingga, katanya, efeknya bisa berujung pada masalah metabolisme dan akhirnya kanker, sembari membawa-bawa teori fisika kuantum yang entah dia sendiri paham atau tidak.
Ah, mungkin dia sedang kumur-kumur.
Menanggapi komentar lelucon seperti itu tidak perlu serius-serius amat. Di Mitos 3 sudah disampaikan bahwa radiasi yang dipancarkan PLTN ke lingkungan itu sangat kecil, hanya 1/240 dari dosis radiasi yang diterima rerata manusia tiap tahunnya. Logikanya, kalau dosis 2,4 mSv/tahun saja tidak memberi dampak sama sekali pada tubuh, apa yang bisa dilakukan dosis radiasi yang hanya 1/240 dari dosis itu?
Benar, radiasi nuklir bisa menyebabkan kanker. Begitu pula gaya hidup tidak sehat. Masalahnya lagi-lagi kembali pada dosis radiasi. Ini yang seringkali orang gagal paham. Seolah-olah radiasi nuklir sekecil apapun dapat menyebabkan kanker.
Kalau misal mau meningkatkan risiko terkena kanker pada manusia akibat radiasi, ada batas minimum dosis ketika efek terhadap sel-sel tubuh bisa tampak. Minimal 100 mSv/bulan, seperti disebutkan sebelumnya. Belum tentu pasti akan menyebabkan kanker juga, sih, tapi peluang terjadinya kanker memang meningkat.
Kalau di bawah 100 mSv/bulan? Biasa saja, tidak usah ketakutan begitu.
Berita baiknya, fasilitas nuklir apapun diatur sehingga dosis radiasi yang diterima masyarakat jauh di bawah 100 mSv/bulan. Regulasi Bapeten malah mengharuskan di bawah 1 mSv/tahun untuk masyarakat umum. Terlalu ketat, saya kira... Padahal mau dipapari dosis 100x lipat dalam rentang waktu yang sama pun tidak menyebabkan apa-apa, dari data yang ada.
Jadi, benar bahwa radiasi nuklir berpotensi menyebabkan kanker, tapi butuh dosis radiasi ratusan hingga ribuan kali lebih tinggi dari yang mungkin diterima publik dari berbagai fasilitas nuklir, termasuk PLTN. Dalam taraf kekinian, asal tidak sembarangan bermain-main dengan perangkat CT-scan atau radioterapi di rumah sakit, tidak perlu takut kena kanker akibat radiasi.
Spoiler for Mitos 6: Radiasi Dapat Menyebabkan Kemandulan:
Ini juga tidak sepenuhnya salah. Tapi stereotip yang diterima publik juga tidak benar-benar akurat. Seolah-olah terkena radiasi nuklir sedikit saja kemudian orang bisa tiba-tiba mandul.
Kembali ke Mitos 5, peluang terjadinya kemandulan itu tergantung dosis radiasi, khususnya pada organ ‘anu’. Dosis tinggi meningkatkan peluang kemandulan, kira-kira 250-350 mSv. Itu juga cuma kemandulan sementara, tidak permanen. Dosis radiasi 2000 mSvbaru bisa mengakibatkan mandul permanen.
Bagaimana di perempuan? Dosis radiasi 3000 mSv bisa mengakibatkan fertilitas di sekitar 30% perempuan usia muda, tapi bisa 100% di usia lebih dari 40 tahun. Efek radiasi memang tergantung usia, mengingat kondisi organ berubah seiring bertambah tuanya seseorang.
Jadi, secara teoretis, radiasi nuklir bisa membuat seseorang mandul, jika dan hanya jika dosis radiasi yang mengenai organ ‘anu’ sangat tinggi.
Bagaimana peluangnya orang-orang bisa terkena radiasi setinggi itu?
Ada beberapa kemungkinan. Pertama, terkena radiasi dosis tinggi dari ledakan bom nuklir. Tapi ada peluang kalau orang yang kena radiasi itu sudah mati duluan, saking tingginya level radiasi. Kedua, terkena radiasi dosis tinggi dari kecelakaan PLTN selevel Chernobyl. Hanya saja, lebih besar kemungkinan terkena kanker tiroid daripada kemandulan.
Ketiga, kalau sedang radioterapi, karena menderita kanker prostat, misalnya. Organ ‘anu‘ pasti kena radiasi dosis tinggi, dan bisa jadi terkena kemandulan sementara. Beberapa waktu berselang, organ ‘anu’ berfungsi normal lagi. Kalau dosis radiasinya terlalu tinggi, kemandulannya bisa permanen. Keempat, kalau bermain-main dengan perangkat radioterapi/sinar-X/CT-scan yang kemudian memapari diri sendiri dengan radiasi yang levelnya tidak terkontrol. Kemungkinan bukan cuma kemandulan, tapi komplikasi masalah di organ-organ lain hingga, mungkin saja, mati.
Selama tidak bermain-main dengan perangkat radioterapi, sumber radiasi dengan aktivitas tinggi atau bebas dari kanker prostat, praktis tidak ada peluang terkena kemandulan karena radiasi nuklir. Sementara, karena kecelakaan Chernobyl tidak mungkin terjadi lagi dan bom nuklir tidak pernah diledakkan di tengah-tengah manusia pasca 1945, dua kemungkinan ini abaikan saja.
Kembali ke Mitos 5, peluang terjadinya kemandulan itu tergantung dosis radiasi, khususnya pada organ ‘anu’. Dosis tinggi meningkatkan peluang kemandulan, kira-kira 250-350 mSv. Itu juga cuma kemandulan sementara, tidak permanen. Dosis radiasi 2000 mSvbaru bisa mengakibatkan mandul permanen.
Bagaimana di perempuan? Dosis radiasi 3000 mSv bisa mengakibatkan fertilitas di sekitar 30% perempuan usia muda, tapi bisa 100% di usia lebih dari 40 tahun. Efek radiasi memang tergantung usia, mengingat kondisi organ berubah seiring bertambah tuanya seseorang.
Jadi, secara teoretis, radiasi nuklir bisa membuat seseorang mandul, jika dan hanya jika dosis radiasi yang mengenai organ ‘anu’ sangat tinggi.
Bagaimana peluangnya orang-orang bisa terkena radiasi setinggi itu?
Ada beberapa kemungkinan. Pertama, terkena radiasi dosis tinggi dari ledakan bom nuklir. Tapi ada peluang kalau orang yang kena radiasi itu sudah mati duluan, saking tingginya level radiasi. Kedua, terkena radiasi dosis tinggi dari kecelakaan PLTN selevel Chernobyl. Hanya saja, lebih besar kemungkinan terkena kanker tiroid daripada kemandulan.
Ketiga, kalau sedang radioterapi, karena menderita kanker prostat, misalnya. Organ ‘anu‘ pasti kena radiasi dosis tinggi, dan bisa jadi terkena kemandulan sementara. Beberapa waktu berselang, organ ‘anu’ berfungsi normal lagi. Kalau dosis radiasinya terlalu tinggi, kemandulannya bisa permanen. Keempat, kalau bermain-main dengan perangkat radioterapi/sinar-X/CT-scan yang kemudian memapari diri sendiri dengan radiasi yang levelnya tidak terkontrol. Kemungkinan bukan cuma kemandulan, tapi komplikasi masalah di organ-organ lain hingga, mungkin saja, mati.
Selama tidak bermain-main dengan perangkat radioterapi, sumber radiasi dengan aktivitas tinggi atau bebas dari kanker prostat, praktis tidak ada peluang terkena kemandulan karena radiasi nuklir. Sementara, karena kecelakaan Chernobyl tidak mungkin terjadi lagi dan bom nuklir tidak pernah diledakkan di tengah-tengah manusia pasca 1945, dua kemungkinan ini abaikan saja.
Spoiler for Mitos 7: Radiasi bisa ‘menempel’ di materi:
Radiasi alfa merupakan partikel hidrogen dengan nomor atom 2 dan nomor massa 4. Radiasi beta merupakan elektron. Sementara, radiasi gamma lebih berbentuk gelombang elektromagnetik ketimbang partikel. Untuk segala tujuan praktis, tidak mungkin radiasi ini ‘menempel’ dan ‘tersisa’ pada suatu materi seperti debu yang menempel di kulit Apel.
Karena radiasi gamma berbentuk gelombang, jelas tidak mungkin radiasi ini menjadi residu. Seperti cahaya, sinar-gamma hanya sekadar lewat (sembari merusak/mengubah struktur objek yang dilewati). Begitu pula radiasi alfa dan beta, yang merupakan partikel. Interaksi yang terjadi antara radiasi alfa dan beta dengan materi berakibat pada radiasi itu ‘hilang’ atau terbuang. Tentu saja sifat-sifat materinya bisa berubah karena dihantam radiasi, tapi radiasinya sendiri tidak pernah menempel.
Sehingga, kalau misalkan ada makanan yang diawetkan pakai radiasi, tidak perlu khawatir masih ada residu-residu radiasi nuklir di dalamnya yang bisa bikin orang berubah jadi Hulk. Radiasi cuma numpang lewat sembari membunuh patogen di dalam makanan. Itu saja.
Karena radiasi gamma berbentuk gelombang, jelas tidak mungkin radiasi ini menjadi residu. Seperti cahaya, sinar-gamma hanya sekadar lewat (sembari merusak/mengubah struktur objek yang dilewati). Begitu pula radiasi alfa dan beta, yang merupakan partikel. Interaksi yang terjadi antara radiasi alfa dan beta dengan materi berakibat pada radiasi itu ‘hilang’ atau terbuang. Tentu saja sifat-sifat materinya bisa berubah karena dihantam radiasi, tapi radiasinya sendiri tidak pernah menempel.
Sehingga, kalau misalkan ada makanan yang diawetkan pakai radiasi, tidak perlu khawatir masih ada residu-residu radiasi nuklir di dalamnya yang bisa bikin orang berubah jadi Hulk. Radiasi cuma numpang lewat sembari membunuh patogen di dalam makanan. Itu saja.
Spoiler for Khatimah:
Ketakutan terhadap radiasi realitanya tidak ada landasannya secara ilmiah. Seperti obat, potensi baik atau bahaya ditentukan oleh dosis. Dosis berlebih ya bahaya, dosis biasa ya oke-oke saja, malah mungkin bermanfaat. Radiasi nuklir sedikit sekali membunuh manusia, tapi ketakutan irasional terhadap radiasi sukses membunuh banyak manusia, utamanya karena stres (yang seharusnya tidak perlu terjadi, andai orang mau belajar sedikit).
Adanya radiasi nuklir bukan alasan untuk menolak PLTN dan pemanfaatan radiasi nuklir lainnya, karena kehidupan manusia sendiri berada di tengah-tengah samudera radiasi. Lebih-lebih, radiasi dari PLTN justru jauh lebih kecil daripada samudera radiasi di sekeliling kita. Di sisi lain, pemanfaatan radiasi dengan tepat justru malah memberi keuntungan, misalnya untuk mendapatkan bibit beras unggul, mengawetkan makanan tanpa natrium benzoat atau mengobati kanker.
Mari berpikir cerdas dan tidak delusional, jangan menciptakan sendiri masalah yang sebenarnya tidak pernah ada.
Adanya radiasi nuklir bukan alasan untuk menolak PLTN dan pemanfaatan radiasi nuklir lainnya, karena kehidupan manusia sendiri berada di tengah-tengah samudera radiasi. Lebih-lebih, radiasi dari PLTN justru jauh lebih kecil daripada samudera radiasi di sekeliling kita. Di sisi lain, pemanfaatan radiasi dengan tepat justru malah memberi keuntungan, misalnya untuk mendapatkan bibit beras unggul, mengawetkan makanan tanpa natrium benzoat atau mengobati kanker.
Mari berpikir cerdas dan tidak delusional, jangan menciptakan sendiri masalah yang sebenarnya tidak pernah ada.
Spoiler for P.S.:
Kemungkinan besar akan banyak yang bertanya soal realita dan efek radiasi pada kecelakaan Chernobyl dan Fukushima. Saya akan membahasnya secara khusus di tulisan lain, insya Allah.
Spoiler for Referensi:
Amanda L. Ogilvy-Stuart, Stephen M. Shalet. Effect of Radiation on the Human Reproductive System. Environmental Health Perspectives Supplements 101 (Suppl. 2): 109-116, 1993.
Badan Tenaga Nuklir Nasional. Dosis Tinggi – Risiko Tinggi. Diakses dari http://www.batan.go.id/index.php/id/...risiko-tinggi/
Manfred Dworschak. The Chernobyl Conondrum: Is Radiation As Bad As We Thought? Diakses dari http://spiegel.de/international/worl...a-1088744.html
Max Carbon, Nuclear Power: Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of Electricity, 2ndEdition. Pebble Beach Publisher, Madison. 2006.
Mondjo. Proteksi Radiasi. Program Studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013.
Myths About Nuclear Energy. Diakses dari http://www.nuclearconnect.org/know-n...nuclear-energy
Myths and Facts About Radiation. Diakses dari http://nei.org/knowledge-center/back...bout-radiation
Perka Bapeten No. 16 tahun 2013
Pusat Diseminasi Iptek Nuklir. Nuklir di Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Diakses dari http://www.infonuklir.com
Robert Hargraves. Thorium Energy Cheaper Than Coal. CreateSpace Independent Publishing Platform, Hanover, 2012.
US Environmental Protection Agency. Radiation in Tobacco. Diakses dari https://www3.epa.gov/radtown/tobacco.html
Wade Allison. Radiation and Reason. Wade Allison Publishing, York, 2009.
World Nuclear Association. Nuclear Radiation and Health Effects. Diakses dari http://www.world-nuclear.org/informa...h-effects.aspx
Badan Tenaga Nuklir Nasional. Dosis Tinggi – Risiko Tinggi. Diakses dari http://www.batan.go.id/index.php/id/...risiko-tinggi/
Manfred Dworschak. The Chernobyl Conondrum: Is Radiation As Bad As We Thought? Diakses dari http://spiegel.de/international/worl...a-1088744.html
Max Carbon, Nuclear Power: Villain or Victim? Our Most Misunderstood Source of Electricity, 2ndEdition. Pebble Beach Publisher, Madison. 2006.
Mondjo. Proteksi Radiasi. Program Studi Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013.
Myths About Nuclear Energy. Diakses dari http://www.nuclearconnect.org/know-n...nuclear-energy
Myths and Facts About Radiation. Diakses dari http://nei.org/knowledge-center/back...bout-radiation
Perka Bapeten No. 16 tahun 2013
Pusat Diseminasi Iptek Nuklir. Nuklir di Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Diakses dari http://www.infonuklir.com
Robert Hargraves. Thorium Energy Cheaper Than Coal. CreateSpace Independent Publishing Platform, Hanover, 2012.
US Environmental Protection Agency. Radiation in Tobacco. Diakses dari https://www3.epa.gov/radtown/tobacco.html
Wade Allison. Radiation and Reason. Wade Allison Publishing, York, 2009.
World Nuclear Association. Nuclear Radiation and Health Effects. Diakses dari http://www.world-nuclear.org/informa...h-effects.aspx
Diubah oleh dic.thorium 15-03-2017 06:23


nipta1179 memberi reputasi
5
43.9K
Kutip
269
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan