ep95Avatar border
TS
ep95
The Whisperer
Sebelumnya, perkenalkan saya anak yang masih newbie di kaskus. Hehehe. Dalam membuat thread pun saya masih belum becus, jadi untuk kategorinya saya sengaja pilih Stories from the Heart, entah itu kategori apa, namun saya akan sedikit bercerita disini, mengenai kelebihan atau mungkin hal yang seharusnya saya tidak miliki, karena hal yang saya miliki mungkin sedikit berbeda dari orang kebanyakan.

Quote:


Panggil saya saya Puput, seorang mahasiswa mendekati semester akhir yang hidup dengan hal yang biasa saja, namun semua berubah, semenjak aku, menginjak kelas 2 SMP, aku bisa melihat kematian. Ya... hal yang seharusnya tak aku lihat, harus kulihat dan siapapun yang mendekati kematian berada di dekatku, aku tahu siapa yang akan menjemput mereka, sosok yang sama sejak saat itu. disinilah, akan ku mulai ceritaku...

The Hospital


Kelas 2 SMP, aku ingat saat itu masih sekitar tahun 2009 awal, saat UTS akan dilaksanakan, entah UTS atau UAS aku merasa lupa, yang ku ingat, saat itu temanku, Nisa tak bisa masuk sekolah karena neneknya sakit. Dia harus membantu ibunya merawat neneknya, ya aku ingat, hubungan Nisa dan neneknya tak bisa dianggap baik, mereka selalu cekcok, oh aku lupa bilang, nenek dan kakek nisa tinggal bersamanya. Sehingga bukan pemandangan asing lagi bagi kami yang kadang belajar kelompok di rumahnya melihat ia cekcok dengan neneknya. Kembali ke 2 hari sebelumnya...
Hari ini, hari yang mungkin menjemukan bagi kami, tugas membuat peta Pulau Sulawesi dari guru IPS kami membuat kami menekuk muka saat itu.Bagaimana tidak? Peta itu harus di kumpulkan 3 hari lagi, sedangkan kami membeli karton putih saja belom. Dengan berat hati, ku telpon ayahku untuk menjemputku sekitar jam 5 sore, karena setidaknya hari ini, peta itu sudah harus selesai digambar, dan hari berikutnya kami bisa mencicilnya untuk mewarnai dan memberi "aksesoris" peta lainnya, kalian tahu? Seperti tanda sungai, gunung, dll.
"Put, kamu pulang jam 3 aja nggak apa-apa. Rumahmu kan jauh..." ujar Lisa padaku. Aku menggeleng.
"Gak apa-apa, biar sekalian pulang sama bapak sama ibu, lagi pula kantor mereka deket kan dari sini" ujarku sambil memilih pensil 2b di toko kelontong dekat sekolahku.
"Yaelah, Put... ga masalah, kasian ntar ayahmu, harus balikin mobil kantor lagi..."sambung Nisa. Aku terdiam...
"Bapakku ada lembur malam ini..." sambungku lagi, yang kemudian berjalan menuju bapak penjaga toko yang sedang melayani siswa sekolah kami yang membeli perlengkapan untuk tugas sekolahnya.
Setelah kami membeli apa yang kami butuhkan, kami berjalan sekitar 10 menit ke rumah Nisa, kami disambut dengan hangat oleh ibunya dan di sambut dengan teriakan jahil adik nisa yang kala itu masih SD kelas 2? Mungkin?
Waktu berjalan, kami mulai mengerjakan tugas kami, tak ada masalah selama mungkin 3 jam berkutat dengan atlas dan karton yang kami beri pemberat buku agar tidak mengggulung lagi, hingga...
"Nisa! Nisa! Niiisaaa!!" Nenek Nisa berteriak. Nisa dengan refleks berlari kearah kamar neneknya. Nenek Nisa kemudian dengan nada marah mengomel tak jelas, aku pun tak menangkap apa yang beliau ributkan kala itu, yang jelas, perkataan Nisa setelah keluar dari kamar beliau masih menempel di kepalaku.
"Aku gak gelem! Aku iki lagi sinau! Dikiro aku mek ngurusi wong iku tha?! (Aku ga mau! Aku ini lagi belajar, dikira aku cuma ngurusin orang itu aja?!)" Dia kembali duduk bersama kami. Kami melihatnya dengan heran, aku tak pernah melihat Nisa semarah ini, dia tak pernah marah setau kami. Dia orang yang sabar. Hingga detik ini, kami melihatnya marah.
"Nis..." ujarku.
Nisa terdiam, kemudian ia meletakan pensilnya dan menatapku.
"Iya, Put? Ada apa?" Ujarnya. Aku terdiam dan kemudian aku menggeleng.
"Nggak deh, nggak apa" Ujarku sambil tersenyum. Nisa kemudia membalas senyumku dan mulai mengerjakan tugasnya. Hingga
"Nenek pergi... ga lama.... nenek pergi... gak lama...."
Aku terperanjat, ku arahkan pandangan ku keseluruh ruangan. tak ada yang bilang apapun, semua terfokus pada tugas dan buku pelajaran kami. Namun suara itu terdengar seperti membisiki ku. Tak ada seorang pun di ruangan itu yang berbicara. Hingga Lisa menyadarkanku.
"Put, kamu kok kelihatannya pucet banget? kenapa?"
"Aaa... Nggak... nggak apa, ta--tadi ada... uh...."
"Jangan bilang kamu tadi liat kecoak? hahhahaha" Nisa tertawa. Aku hanya tertawa miris, benar mungkin aku hanya berhalusinasi. Aku pun kembali mengerjakan tugasku.
*****

Esoknya, aku berjalan gontai ke kelas, memang the power of kepepet itu hebat, tetapi mengerjakan satu tugas dan 3 PR lainya dalam satu malam adalah hal bodoh. Aku hanya tidur selama 4 jam dan sudah harus berangkat jam 6 jika tak ingin terlambat. Aku meletakan tasku diatas meja dan kemudian duduk, memeluk tasku, kemudian berharap sang kantuk masih memberiku waktu tidur walau hanya 30 menit, sebelum bel pelajaran pertama berbunyi. Sesaat sebelum aku terjatuh dalam alam bawah sadar, tepukan seseorang membangunkanku.
"Put. Puput...." aku melihat kearah orang yang menepuk bahuku. Ku usap mataku malas. Lisa.
"Ah... apa lis?" Ujarku sambil menguap. Lisa sedikit menggaruk belakang kepalanya dengan ragu.
"Umm... neneknya Nisa masuk RS, Kritis, Put." Aku tertegun. Saat itu juga kantukku hilang.
"Masuk rs? Kapan?!" Ujarku dengan nada kaget yang belum hilang.
"Semalem katanya. Udah masuk UGD, sekarang di ICU, jadi kita cuma bisa lihat dari kaca aja. Kamu mau besok ikut kita jenguk? Kalo hari ini keliatannya mustahil banget kan, Put?" Ujar Lisa sambil memandangku penuh harap.
"Iya deh, aku cari alasan dulu. Biar besok bisa besuk." Aku melihat kearah pintu kelas, satu persatu anak-anak mulai masuk dan mulai ramai, hingga bel pelajaran berbunyi.
*****

Hari yang kami nanti tiba, aku ingat itu hari jumat. Kami ke rumah sakit tempat nenek nisa dirawat setelah naik bemo dari sekolah selama 15 menit. Namun hal yang terus mengganjal hatiku adalah, bisikan itu masih tetap ada.
"Kalau neneknya mau pergi, ngapain di jenguk sih? Udah bentar lagi nenek ga ada..."
Aku mengesampingan semua itu dan mulai fokus pada tujuanku saat ini. Tiba di lorong utama rumah sakit itu, kami disambut oleh senyuman dari Ayahnya Nisa dengan ramah, beliau menuntun kami ke kamar neneknya nisa dirawat. Sesampainya disana, aku melihat Nisa yang duduk diam, letih terpancar diwajahnya. Namun saat kami panggil, dia memaksakan diri tersenyum.
"Nis..." ujarku padanya. Nisa kemudian memelukku. kemudian memeluk Lisa, Yuwa, dan Nuri.
"Makasih udah jenguk nenek ku." Ujar Nisa.
Kemudian, semua menjadi sedikit blur buatku. Dan kemudian semua kembali ke realita awal.
aku melihat kaya pembatas antara tempat nenek nisa dirawat dan di mana kami berdiri, gorden hijau yang menutupi kaca itu dibuka oleh suster dari dalam, aku melihat badan nenek nisa sudah dipasangin banyak alat, termasuk alat bantu pernafasan. Aku memegang kaca pembatas itu. Kemudian aku melihat alat pendeteksi jantung itu, menunjukan garis panjang tanpa putus, tanpa naik turun.
"Sudah kubilang... dia bakal ga ada lagi...."
"Put, puput! Kamu kenapa melamun?" ujae Yuwa sambil menggoyangkan lengan kananku secara cepat.
"Eh?!" Aku tersadar, tak mungkin, kaca pembatas itu masih tertutup gorden hijau dan belum terbuka. Aku menelan ludah.
"Maaf ya, rek, kalian belum bisa lihat nenekku hari ini... mungkin kalian bisa besuk besok." Ujar Nisa. Aku memandangnya heran.
"Nis, bukannya tadi..." aku menutup mulutku dengan cepat. Nisa melihatku.
"Tadi apa?" tanyanya heran.
"Jadi... dari tadi... kacanya belum... maksudku... gordennya masih belum..."
"Dibuka? Iya, belum dibuka sama susternya. Jadi kita kan ga boleh masuk, cuma susternya aja yang boleh ngebuka gordennya dari dalam..." ujar Nisa sambil memandang kaca tersebut.
Aku semakin merinding. Aku terdiam, jika tadi gordennya masih belum dibuka, kenapa... kenapa aku tau kondisi neneknya?
Kami berempat pamit pulang.
"Sayang banget ya, guys. Kita ga bisa lihat neneknya.."
"Haa... iya... bener... tapi lihat Nisa udah baik-baik aja bagus deh"
"Udalah guys, udah mulai malem nih... cepet pulang, besok guru killer kasih kita kuis sebelum uts... kan ngeri..."
Aku berjalan paling belakang dan memandang tanah, aku diam, aku tak habis pikir dengan apa yang kulihat tadi. Semacam flashback kah? entahlah...
"Puput, kamu kenapa? dari tadi diem aja..." Yuwa menatapku khawatir. Aku menatapnya balik.
"Aku... dilep.. biasa tamu bulanan..." Ujarku cepat. Yuwa mengangguk.
Aku tetap diam dan hanya bisa memandangi tanah yang kupijak. apakah yang terjadi barusan? Ntahlah, aku tak dapat menjawabnya.
3 hari berselang, saat hari senin, semua bersiap untuk upacara bendera.
"Hoaaammm...." Aku menguap lebar, Yuwa menepuk bahuku.
"Hayo, begadang lagi ngerjain PRnya ya?" Aku mengangguk, sejurus kemudian, Lisa menepuk bahuku. Apakah bahuku tepuk-able? batinku.
"Put, neneknya Nisa meninggal, kemarin minggu sore"
Sejenak, waktu berhenti. Aku tertegun. Aku melihat kearah Lisa dengan tatapan horor.
"Maksudmu?"
"Iya meninggal... udah ga ada."
hingga bisikan itu datang lagi.
"Kini... kau percaya apa yang aku katakan? Pecayalah, aku ada...."
Aku pun izin tidak mengikuti upacara, dan karena muka ku pucat pasi. Guruku memperbolehkanku.

Sekian part satu dari cerita ini... mungkin cerita ini akan seperti cerpen-cerpen karena jarak dari kejadian ini sekitar 3 bulan yang paling cepat. Insha Allah, akan di update cerita ini. Mengapa saya menceritakan kisah ini? Karena saya nggak tau harus bercerita kepada siapa. Terimakasih, sampai jumpa di part dua emoticon-Big Grin
Polling
0 suara
Apakah agan-sista pernah mengalami hal semacam ini?
Diubah oleh ep95 14-03-2017 12:13
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
4K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan