- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jenazah Nenek Hindun Tak Diurus Serius, Ini Jawaban Ketua RT


TS
aghilfath
Jenazah Nenek Hindun Tak Diurus Serius, Ini Jawaban Ketua RT
Spoiler for Jenazah Nenek Hindun Tak Diurus Serius, Ini Jawaban Ketua RT:

Quote:
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Rukun Tetangga 09 Rukun Warga 02 Karet Setiabudi, Jakarta Selatan, Abdul Rahman membantah anggapan bahwa dirinya tidak serius mengurus jenazah nenek Hindun binti Raisman.
Menurut Abdul, ia telah mengeluarkan surat kematian atas meninggalnya Hindun pada hari kematian nenek Hindun, Selasa, 7 Maret 2017. Namun, karena terdapat kesalahan, surat harus dibuat ulang.
"Kalau enggak diurusin, ya enggak ada stempel saya dong? Tetap diurusinlah orang meninggal," kata Abdul Rahman kepada Tabloidbintang.com.
Abdul menmbahkan bahwa kabar kematian nenek Hindun diperolehnya saat ia berada di jalan. "Saya langsung pulang. Saya juga yang keliling ke 9 RT, 1 RW dan LMK untuk minta dana santunan," ungkapnya.
Jenazah nenek Hindun binti Raisman, warga Jalan Karet Karya 2, RT 009 RW 02, Karet Setiabudi, Jakarta Selatan, disalatkan di ruang sempit berukuran 3X2 meter di rumah kontrakannya, pada Selasa, 7 Maret 2017 lalu.
Keluarga kecewa lantaran jenazah Hindun tidak disalatkan di musala Al Mu'minun yang lokasinya tidak jauh dari rumah duka. Neneng, putri bungsu Hindun menduga hal itu terjadi karena pilihan politik sang ibu dalam Pilkada DKI Jakarta 15 Februari 2017 lalu.
"Sehari setelah ibu saya meninggal, di musala dipasang spanduk 'musala ini tidak mensholatkan jenazah pendukung penista agama'," kata Neneng kepada Tabloidbintang.com, Kamis, 9 Maret 2017.
Meski akhirnya almarhumah hanya disalatkan di rumah, tetangga tak banyak yang ikut melaksanakan salat jenazah. Lagi-lagi alasannya karena almarhumah memilih Ahok. "Akhirnya anak cucunya aja yang salatin," ujar Neneng.
Pernyataan berbeda disampaikan tokoh Karet Setiabudi Ustaz Ahmad Syafi'ie. Dia mengatakan jenazah Hindun tidak disalatkan di musala Al Mu'minun karena situasinya sedang hujan deras dan jenazah akan buru-buru mau dimakamkan.
Neneng tidak menolak jika pada Selasa sempat turun hujan. Tapi bukan saat jenazah ibunda mau disalatkan, melainkan ketika hampir tiba di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Selain mengeluhkan tak disalatkan di musala, keluarga Hindun juga kecewa RT setempat dinilai kurang memberi respons. Urusan administrasi sempat terbengkalai dan diurus sendiri oleh keluarga.
"Akhirnya kami lapor ke Puskesmas keesokan harinya. Harusnya pas hari meninggalnya. Biasanya dari Puskesmas datang ke rumah untuk memastikan penyebab (meninggalnya) apa," katanya.
"Orang Puskesmas tanya, kok baru lapor? Saya bilang, banyak yang diurus. Orang Puskesmas-nya bilang, kan ada RT," lanjutnya. "Administrasi di TPU juga diurus keesokan harinya," ujar Neneng.
Menanggapi soal pernolakan mensalatkan jenazah pendukung pemimpin non-Muslim, Calon Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyayangkan adanya ancaman terhadap masyarakat yang mendukung pemimpin non-Muslim.
“Aksi mengancam bisa menghasilkan reaksi mengancam pula. Menjawab ancaman dengan ancaman seperti ini, walau atas inisiatif pribadi secara independen, bisa membuat suasana jadi makin tidak sehat,” kata Anies dalam siaran tertulisnya yang diterima Tempo, Sabtu, 11 Maret 2017.
Menurut Abdul, ia telah mengeluarkan surat kematian atas meninggalnya Hindun pada hari kematian nenek Hindun, Selasa, 7 Maret 2017. Namun, karena terdapat kesalahan, surat harus dibuat ulang.
"Kalau enggak diurusin, ya enggak ada stempel saya dong? Tetap diurusinlah orang meninggal," kata Abdul Rahman kepada Tabloidbintang.com.
Abdul menmbahkan bahwa kabar kematian nenek Hindun diperolehnya saat ia berada di jalan. "Saya langsung pulang. Saya juga yang keliling ke 9 RT, 1 RW dan LMK untuk minta dana santunan," ungkapnya.
Jenazah nenek Hindun binti Raisman, warga Jalan Karet Karya 2, RT 009 RW 02, Karet Setiabudi, Jakarta Selatan, disalatkan di ruang sempit berukuran 3X2 meter di rumah kontrakannya, pada Selasa, 7 Maret 2017 lalu.
Keluarga kecewa lantaran jenazah Hindun tidak disalatkan di musala Al Mu'minun yang lokasinya tidak jauh dari rumah duka. Neneng, putri bungsu Hindun menduga hal itu terjadi karena pilihan politik sang ibu dalam Pilkada DKI Jakarta 15 Februari 2017 lalu.
"Sehari setelah ibu saya meninggal, di musala dipasang spanduk 'musala ini tidak mensholatkan jenazah pendukung penista agama'," kata Neneng kepada Tabloidbintang.com, Kamis, 9 Maret 2017.
Meski akhirnya almarhumah hanya disalatkan di rumah, tetangga tak banyak yang ikut melaksanakan salat jenazah. Lagi-lagi alasannya karena almarhumah memilih Ahok. "Akhirnya anak cucunya aja yang salatin," ujar Neneng.
Pernyataan berbeda disampaikan tokoh Karet Setiabudi Ustaz Ahmad Syafi'ie. Dia mengatakan jenazah Hindun tidak disalatkan di musala Al Mu'minun karena situasinya sedang hujan deras dan jenazah akan buru-buru mau dimakamkan.
Neneng tidak menolak jika pada Selasa sempat turun hujan. Tapi bukan saat jenazah ibunda mau disalatkan, melainkan ketika hampir tiba di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Selain mengeluhkan tak disalatkan di musala, keluarga Hindun juga kecewa RT setempat dinilai kurang memberi respons. Urusan administrasi sempat terbengkalai dan diurus sendiri oleh keluarga.
"Akhirnya kami lapor ke Puskesmas keesokan harinya. Harusnya pas hari meninggalnya. Biasanya dari Puskesmas datang ke rumah untuk memastikan penyebab (meninggalnya) apa," katanya.
"Orang Puskesmas tanya, kok baru lapor? Saya bilang, banyak yang diurus. Orang Puskesmas-nya bilang, kan ada RT," lanjutnya. "Administrasi di TPU juga diurus keesokan harinya," ujar Neneng.
Menanggapi soal pernolakan mensalatkan jenazah pendukung pemimpin non-Muslim, Calon Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyayangkan adanya ancaman terhadap masyarakat yang mendukung pemimpin non-Muslim.
“Aksi mengancam bisa menghasilkan reaksi mengancam pula. Menjawab ancaman dengan ancaman seperti ini, walau atas inisiatif pribadi secara independen, bisa membuat suasana jadi makin tidak sehat,” kata Anies dalam siaran tertulisnya yang diterima Tempo, Sabtu, 11 Maret 2017.
Spoiler for Mencoblos Ahok, Jenasah Nenek Hindun Tak Disalatkan di Musala:
Mencoblos Ahok, Jenasah Nenek Hindun Tak Disalatkan di Musala

Quote:
TEMPO.CO, Jakarta - Perempuan paruh baya itu, Sunengsih, 46 tahun, bersandar di dinding triplek penuh mural, buah imajinasi anak dan cucunya. Kepalanya disandarkan, kakinya bersila, duduk di lantai rumah. Dia menceritakan apa yang ia alami kepada dua wartawan yang bertandang ke rumahnya.
“Saya kecewa dengan warga seperti ini,” kata Sunengsih di rumahnya, RT 09 RW 05, Jalan Karet Karya III nomor 2, Kelurahan Karet, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, Sabtu, 11 Maret 2017.
Sunengsih adalah anak bungsu dari almarhumah Hindun, 77 tahun, perempuan renta yang tak disalati warga di musala. Hindun diduga didiskriminasi warga setempat hanya karena mencoblos penista agama yang mencalonkan diri menjadi gubernur, Basuki Tjahaja Purnama. Hindun meninggal pada Selasa, 6 Maret lalu sekitar pukul 14.00 WIB.
Saat Hindun meninggal, jenasahnya tak dipekenankan disalatkan di musala. Padahal, Sunengsih sempat meminta ustad setempat agar jenazah ibunya disalatkan di musala Al-Mu'minun yang berada di RT 08, berjarak 50 meter dari rumahnya. “Saya tanya gimana pak? Pak Ustad Syafii bilang jangan, karena orang tidak ada, jadi disuruh disalatkan di rumah saja,” tutur Sunengsih menirukan ucapan ustad Syafii.
Suningsih mengaku bingung dengan alasan Ustad Syafii, tapi dia menurut saja. Karena Sunengsih belum paham bahwa warga setempat menolak Ahok sebagai gubernur lagi, akhirnya ibunya disalatkan di rumah, dipimpin oleh Ustad Syafii bersama keluarga Sunengsih. Warga setempat tidak banyak yang datang.
Setelah disalatkan, jenasah Hindun dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo sekitar pukul 18.30. Esok harinya ia mendengar cerita bahwa ibunya sengaja tak boleh disalatkan di musala karena mendukung Ahok. Sunengsih tak tahu maksud warga, karena selama ini dia dan keluarganya juga tak paham dengan pilkada DKI Jakarta.
Sunengsih membenarkan bahwa saat pemilihan gubernur putaran pertama ibunya memilih pasangan Ahok-Djarot. Kata dia, ibunya mencoblos di rumah karena sedang sakit. Petugas dari Panitia Pemungutan Suara menanyakan pilihan Hindun yang akan dicoblos, kemudian Hindun mencoblos surat suara bergambar Ahok-Djarot.
Di Tempat Pemungutan Surata (TPS) di sana, pasangan Ahok-Djarot kalak telak. Pilkada putaran pertama di tempat Hindun dimenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Meski begitu keluarga Sunengsih tak begitu peduli dengan kontes politik Jakarta.
“Saya tidak mau memperbesar ini, saya khawatir dengan keluarga kami ke depannya. Kami semua perempuan, suami saya sudah meninggal,” ujar Sunengsih. Sunengsih ingin melupakan kekecewaan itu. Saat ini ia menggelar tahlil sendiri bersama keluarganya.
Kata Sunengsih, selama tiga bulan terakhir ibunya menderita sakit komplikasi, pengapuran sendi, dan lainnya. Sunengsih sempat membawa Hindun ke klinik 24 jam, tapi ibunya menolak dirawat. Akhirnya keluarganya merawat Hindun di rumah.
Terakhir sebelum meninggal, kondisi Hindun sangat kurus. Tulang-tulang iga, kaki, dan lengannya terlihat menonjol. Hingga akhirnya Hindun mengembuskan nafas terakhir pada Selasa lalu. “Sebelum meninggal ia minta semua anaknya dipanggil, dia juga ingin melihat cucunya,” kata Sunengsih.
Menurut Sunengsih, saat jenasah disemayamkan di rumah, warga sekitar tidak banyak yang datang. Seorang warga setempat yang enggan disebutkan namanya mengatakan Ustad Syafii sudah berbaik hati mensalati Hindun, tapi difitnah keluarganya. “Saat itu kami tidak ada di rumah, karena kerja,” ujar tetangga Syafii itu.
Syafii sendiri tidak berada di rumah saat dikonfirmasi Tempo. Kata warga setempat, Syafii pergi ke luar kota karena urusan keluarga. Mereka juga menjelaskan perihal spanduk penolakan mensalati jenasah pendukung Ahok. Menurut warga spanduk itu dipasang oleh orang tak dikenal setelah kematian Hindun. Kemudian siang tadi, mereka mencopot spanduk tersebut.
“Saya kecewa dengan warga seperti ini,” kata Sunengsih di rumahnya, RT 09 RW 05, Jalan Karet Karya III nomor 2, Kelurahan Karet, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, Sabtu, 11 Maret 2017.
Sunengsih adalah anak bungsu dari almarhumah Hindun, 77 tahun, perempuan renta yang tak disalati warga di musala. Hindun diduga didiskriminasi warga setempat hanya karena mencoblos penista agama yang mencalonkan diri menjadi gubernur, Basuki Tjahaja Purnama. Hindun meninggal pada Selasa, 6 Maret lalu sekitar pukul 14.00 WIB.
Saat Hindun meninggal, jenasahnya tak dipekenankan disalatkan di musala. Padahal, Sunengsih sempat meminta ustad setempat agar jenazah ibunya disalatkan di musala Al-Mu'minun yang berada di RT 08, berjarak 50 meter dari rumahnya. “Saya tanya gimana pak? Pak Ustad Syafii bilang jangan, karena orang tidak ada, jadi disuruh disalatkan di rumah saja,” tutur Sunengsih menirukan ucapan ustad Syafii.
Suningsih mengaku bingung dengan alasan Ustad Syafii, tapi dia menurut saja. Karena Sunengsih belum paham bahwa warga setempat menolak Ahok sebagai gubernur lagi, akhirnya ibunya disalatkan di rumah, dipimpin oleh Ustad Syafii bersama keluarga Sunengsih. Warga setempat tidak banyak yang datang.
Setelah disalatkan, jenasah Hindun dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo sekitar pukul 18.30. Esok harinya ia mendengar cerita bahwa ibunya sengaja tak boleh disalatkan di musala karena mendukung Ahok. Sunengsih tak tahu maksud warga, karena selama ini dia dan keluarganya juga tak paham dengan pilkada DKI Jakarta.
Sunengsih membenarkan bahwa saat pemilihan gubernur putaran pertama ibunya memilih pasangan Ahok-Djarot. Kata dia, ibunya mencoblos di rumah karena sedang sakit. Petugas dari Panitia Pemungutan Suara menanyakan pilihan Hindun yang akan dicoblos, kemudian Hindun mencoblos surat suara bergambar Ahok-Djarot.
Di Tempat Pemungutan Surata (TPS) di sana, pasangan Ahok-Djarot kalak telak. Pilkada putaran pertama di tempat Hindun dimenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Meski begitu keluarga Sunengsih tak begitu peduli dengan kontes politik Jakarta.
“Saya tidak mau memperbesar ini, saya khawatir dengan keluarga kami ke depannya. Kami semua perempuan, suami saya sudah meninggal,” ujar Sunengsih. Sunengsih ingin melupakan kekecewaan itu. Saat ini ia menggelar tahlil sendiri bersama keluarganya.
Kata Sunengsih, selama tiga bulan terakhir ibunya menderita sakit komplikasi, pengapuran sendi, dan lainnya. Sunengsih sempat membawa Hindun ke klinik 24 jam, tapi ibunya menolak dirawat. Akhirnya keluarganya merawat Hindun di rumah.
Terakhir sebelum meninggal, kondisi Hindun sangat kurus. Tulang-tulang iga, kaki, dan lengannya terlihat menonjol. Hingga akhirnya Hindun mengembuskan nafas terakhir pada Selasa lalu. “Sebelum meninggal ia minta semua anaknya dipanggil, dia juga ingin melihat cucunya,” kata Sunengsih.
Menurut Sunengsih, saat jenasah disemayamkan di rumah, warga sekitar tidak banyak yang datang. Seorang warga setempat yang enggan disebutkan namanya mengatakan Ustad Syafii sudah berbaik hati mensalati Hindun, tapi difitnah keluarganya. “Saat itu kami tidak ada di rumah, karena kerja,” ujar tetangga Syafii itu.
Syafii sendiri tidak berada di rumah saat dikonfirmasi Tempo. Kata warga setempat, Syafii pergi ke luar kota karena urusan keluarga. Mereka juga menjelaskan perihal spanduk penolakan mensalati jenasah pendukung Ahok. Menurut warga spanduk itu dipasang oleh orang tak dikenal setelah kematian Hindun. Kemudian siang tadi, mereka mencopot spanduk tersebut.
tempo
Setelah viral dan banyak dimuat media pada klarifikasi dan cuci tangan bahkan sok bijak, pak RT pun mungkin sedang menunjukkan loyalitasnya untuk bisa menerima janji dana RT/RW 3 M/tahun dari salah satu paslon, padahal dianya menikmati hasil intimidasi untuk tak mensholati jenazah pendukung penista agama, bahkan RMOL membuat berita yg seakan peristiwa itu tidak pernah terjadi

Diubah oleh aghilfath 12-03-2017 05:55
0
6.5K
Kutip
80
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan