- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tarif Impor Bisa Memperkuat Penerimaan Negara


TS
sukhoivsf22
Tarif Impor Bisa Memperkuat Penerimaan Negara
Tarif Impor Bisa Memperkuat Penerimaan Negara
Jumat 24/2/2017 | 00:01

Foto : istimewa
A A A Pengaturan Font
Pendapatan dari tarif impor bisa digunakan untuk mendukung kemandirian nasional.
Jadi sumber korupsi, sistem kuota impor tidak efektif menekan kebergantungan impor.
JAKARTA – Pemerintah diminta segera mengambil langkah taktis guna menekan kebergantungan pada impor, terutama komoditas pangan, barang konsumsi, dan energi.
Sebab, di tengah situasi ketidakpastian ekonomi global saat ini, negara dengan tingkat impor tinggi dan kurs mata uang yang cenderung terdepresiasi dinilai berisiko menghadapi inflasi yang dipicu oleh barang impor atau imported inflation.
Untuk itu, rencana pemerintah mengubah sistem kuota menjadi tarif impor, untuk mengurangi dorongan mengimpor, patut didukung. Apalagi, penerimaan dari tarif impor bisa digunakan untuk memperkuat APBN. Selanjutnya, dana tersebut bisa digunakan untuk mengembangkan kemandirian nasional, misalnya memperkuat industri substitusi impor.
Peneliti Indef, Eko Listyanto, mengatakan kebergantungan terhadap barang impor ibarat pisau bermata dua, karenakebutuhan dollar AS yang selalu tinggi akan mengganggu stabilitas kurs rupiah. Selain itu, saat rupiah terdepresiasi maka harga barang impor akan semakin mahal sehingga mendorong inflasi.
“Artinya, pekerjaan menjaga rupiah menjadi pekerjaan sangat berat. Saat rupiah jatuh, potensi inflasi dari barang impor makin besar karena untuk mengimpor barang dalam jumlah yang sama diperlukan dollar lebih banyak,” jelas dia saat dihubungi, Kamis (23/2).
Oleh karena itu, Eko menilai rencana pemerintah untuk mengganti sistem kuota dengan sistem tarif impor guna menekan impor yang masif dinilai sebagai langkah yang tepat. Pasalnya, sistem kuota selama ini rawan penyelewengan akibat maraknya praktik perburuan rente (rent seeking) dan menjadi sumber korupsi, sehingga tidak efektif menekan impor.
“Maka sistem tarif impor merupakan satu-satunya cara untuk menekan impor. Kuncinya, penerimaan tarif impor masuk kas negara sehingga memperkuat APBN,” jelas dia.
Eko juga mengungkapkan Amerika Serikat (AS) sebagai raksasa ekonomi dunia pun merasa tidak nyaman dengan meningkatnya defisit perdagangan, terutama dengan Meksiko dan Tiongkok. Makanya, Presiden Donald Trump sempat mengancam untuk menerapkan tarif impor yang tinggi kepada dua negara itu untuk menekan impornya.
Apalagi, Indonesia yang hanya mengandalkan ekspor komoditas primer dan tidak memiliki struktur industri nasional yang kokoh dan berdaya saing tinggi.
Menurut Eko, dalam situasi global yang tidak menentu, pemerintah semestinya fokus kepada kemandirian nasional. Negara sebesar AS pun saat ini mengusung isu America First, mendahulukan kepentingan dalam negeri. Maka Indonesia semestinya juga mulai mendorong industri substitusi impor. Selain akan mengurangi kebergantungan pada impor, hal itu juga akan menggerakkan ekonomi domestik dan menciptakan lapangan pekerjaan.
“Kita punya kemampuan untuk mandiri, apa saja kita punya, hanya komitmen politik yang setia pada visi kemandirian yang tidak ada. Hasil penerimaan tarif impor bisa untuk mendukung upaya mengurangi impor,” kata dia.
Substitusi Impor
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, Rachmi Hertanti, mengatakan jika pemerintah tidak melakukan perubahan paradigma pengembangan tiga industri, yakni pangan, barang konsumen bernilai tambah, dan energi, maka sama saja akan melemahkan diri sendiri. “Untuk mengejar ketertinggalan daya saing perlu puluhan tahun, dan harus bebas dari kebergantungan pada impor,” tukas dia.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Karyadi Mintaroem, menambahkan yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah melakukan pembenahan dan mengajak semua elemen untuk mendorong tumbuhnya industri bernilai tambah dalam negeri yang bisa menghasilkan produk subtitusi impor. “Luncurkan paket kebijakan yang aplikatif untuk menumbuhkan industri baru penghasil barang subtitusi dan bernilai tambah,” kata dia.
Masalahnya, lanjut Karyadi, adalah sumberdaya manusia (SDM) dan penguasaan teknologi. “Untuk ini investor dari luar harus bisa diajak kooperatif dalam alih teknologi, jangan semua tenaganya dari luar negeri,” jelas dia.
Ia berpendapat kurangnya pengetahuan soal teknologi dan inovasi memang membutuhkan intervensi untuk mendorong munculnya pelaku bisnis industri.
“Untuk masalah pangan, bea masuk impor bisa diterapkan untuk menekan monopoli dan impor, karena selama ini jelas hal itu merupakan pangkal awal tumpulnya pertanian dan industri olahan makanan kita,” tukas Karyadi. YK/SB/ahm/WP
https://www.koran-jakarta.com/tarif-...erimaan-negara
Pemerintah sudah cerdas dan tahu apa yang perlu dilakukan jadi ga perlu ada nastak nasbung yang repot-repot bersuara,,,kalian cuma buat gaduh saja.
Mantap,,,
Jumat 24/2/2017 | 00:01

Foto : istimewa
A A A Pengaturan Font
Pendapatan dari tarif impor bisa digunakan untuk mendukung kemandirian nasional.
Jadi sumber korupsi, sistem kuota impor tidak efektif menekan kebergantungan impor.
JAKARTA – Pemerintah diminta segera mengambil langkah taktis guna menekan kebergantungan pada impor, terutama komoditas pangan, barang konsumsi, dan energi.
Sebab, di tengah situasi ketidakpastian ekonomi global saat ini, negara dengan tingkat impor tinggi dan kurs mata uang yang cenderung terdepresiasi dinilai berisiko menghadapi inflasi yang dipicu oleh barang impor atau imported inflation.
Untuk itu, rencana pemerintah mengubah sistem kuota menjadi tarif impor, untuk mengurangi dorongan mengimpor, patut didukung. Apalagi, penerimaan dari tarif impor bisa digunakan untuk memperkuat APBN. Selanjutnya, dana tersebut bisa digunakan untuk mengembangkan kemandirian nasional, misalnya memperkuat industri substitusi impor.
Peneliti Indef, Eko Listyanto, mengatakan kebergantungan terhadap barang impor ibarat pisau bermata dua, karenakebutuhan dollar AS yang selalu tinggi akan mengganggu stabilitas kurs rupiah. Selain itu, saat rupiah terdepresiasi maka harga barang impor akan semakin mahal sehingga mendorong inflasi.
“Artinya, pekerjaan menjaga rupiah menjadi pekerjaan sangat berat. Saat rupiah jatuh, potensi inflasi dari barang impor makin besar karena untuk mengimpor barang dalam jumlah yang sama diperlukan dollar lebih banyak,” jelas dia saat dihubungi, Kamis (23/2).
Oleh karena itu, Eko menilai rencana pemerintah untuk mengganti sistem kuota dengan sistem tarif impor guna menekan impor yang masif dinilai sebagai langkah yang tepat. Pasalnya, sistem kuota selama ini rawan penyelewengan akibat maraknya praktik perburuan rente (rent seeking) dan menjadi sumber korupsi, sehingga tidak efektif menekan impor.
“Maka sistem tarif impor merupakan satu-satunya cara untuk menekan impor. Kuncinya, penerimaan tarif impor masuk kas negara sehingga memperkuat APBN,” jelas dia.
Eko juga mengungkapkan Amerika Serikat (AS) sebagai raksasa ekonomi dunia pun merasa tidak nyaman dengan meningkatnya defisit perdagangan, terutama dengan Meksiko dan Tiongkok. Makanya, Presiden Donald Trump sempat mengancam untuk menerapkan tarif impor yang tinggi kepada dua negara itu untuk menekan impornya.
Apalagi, Indonesia yang hanya mengandalkan ekspor komoditas primer dan tidak memiliki struktur industri nasional yang kokoh dan berdaya saing tinggi.
Menurut Eko, dalam situasi global yang tidak menentu, pemerintah semestinya fokus kepada kemandirian nasional. Negara sebesar AS pun saat ini mengusung isu America First, mendahulukan kepentingan dalam negeri. Maka Indonesia semestinya juga mulai mendorong industri substitusi impor. Selain akan mengurangi kebergantungan pada impor, hal itu juga akan menggerakkan ekonomi domestik dan menciptakan lapangan pekerjaan.
“Kita punya kemampuan untuk mandiri, apa saja kita punya, hanya komitmen politik yang setia pada visi kemandirian yang tidak ada. Hasil penerimaan tarif impor bisa untuk mendukung upaya mengurangi impor,” kata dia.
Substitusi Impor
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, Rachmi Hertanti, mengatakan jika pemerintah tidak melakukan perubahan paradigma pengembangan tiga industri, yakni pangan, barang konsumen bernilai tambah, dan energi, maka sama saja akan melemahkan diri sendiri. “Untuk mengejar ketertinggalan daya saing perlu puluhan tahun, dan harus bebas dari kebergantungan pada impor,” tukas dia.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Karyadi Mintaroem, menambahkan yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah melakukan pembenahan dan mengajak semua elemen untuk mendorong tumbuhnya industri bernilai tambah dalam negeri yang bisa menghasilkan produk subtitusi impor. “Luncurkan paket kebijakan yang aplikatif untuk menumbuhkan industri baru penghasil barang subtitusi dan bernilai tambah,” kata dia.
Masalahnya, lanjut Karyadi, adalah sumberdaya manusia (SDM) dan penguasaan teknologi. “Untuk ini investor dari luar harus bisa diajak kooperatif dalam alih teknologi, jangan semua tenaganya dari luar negeri,” jelas dia.
Ia berpendapat kurangnya pengetahuan soal teknologi dan inovasi memang membutuhkan intervensi untuk mendorong munculnya pelaku bisnis industri.
“Untuk masalah pangan, bea masuk impor bisa diterapkan untuk menekan monopoli dan impor, karena selama ini jelas hal itu merupakan pangkal awal tumpulnya pertanian dan industri olahan makanan kita,” tukas Karyadi. YK/SB/ahm/WP
https://www.koran-jakarta.com/tarif-...erimaan-negara
Pemerintah sudah cerdas dan tahu apa yang perlu dilakukan jadi ga perlu ada nastak nasbung yang repot-repot bersuara,,,kalian cuma buat gaduh saja.
Mantap,,,
Diubah oleh sukhoivsf22 26-02-2017 18:00
0
638
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan