- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Kembang korejat


TS
BeritagarID
Kembang korejat

BEBERAPA waktu lalu, di Bandung, saya ikut serta dalam sebuah upacara sederhana yang kami sebut peureuhan. Upacara ini diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang mengajarkan seni bela diri pencak silat.
Murid-murid yang telah belajar dan berlatih lebih dari setahun mendapat kesempatan. Ini semacam ritus inisiasi bagi "anggota muda" untuk menjadi "warga" lembaga. Upacara ini diharapkan berlangsung setahun sekali, dan waktunya bertepatan dengan tanggal berdirinya lembaga kami.
Guru kami memimpin upacara. Pertama-tama, ia mengajak semua peserta memanjatkan doa dengan cara Islam untuk guru-guru pencak yang telah tiada. Semoga para pendahulu dari aliran Cimande, Cikalong, Sabandar, Sera, Gerak Gulung, Ulin Makao, Timbangan, dan Sanalika mendapat tempat yang baik di alam baqa.
Setelah doa dipanjatkan, tibalah saatnya peureuhan. Peureuh --sebagaimana kecer-- adalah istilah Sunda untuk "tetes mata". Guru meneteskan air bersih ke dalam mata kami, seorang demi seorang. Beberapa kali air itu diteteskan dari ujung daun sirih dan tangkai kembang korejat, yang direndam terlebih dulu. Rasanya pedih sekali.
Rasa pedih itu, selain dari daun sirih (Piper betle), juga terutama dari kembang korejat (Laurentia longiflora). Kembang ini ramping, kecil, dan putih, dengan kelopak terbuka ke lima arah seperti bintang dari kahyangan. Di Tatar Sunda, kembang ini disebut pula kitolod. Kata korejat sendiri adalah onomatope untuk "bangkit seketika".
Dalam bahasa ibu saya, "pedih" dikatakan peurih -- dengan peureuh bertaut bunyi, menjalin purwakanti. Segera terasa adanya siloka, yakni isyarat atau hal simbolis dalam kegiatan itu. Maknanya tertangkap terlebih-lebih ketika guru kami menyampaikan wejangan seusai sesi tetes mata.
Wejangannya meliputi semua rincian upacara, termasuk perlengkapannya. Perlengkapan itu antara lain kain kafan, pisau lipat, balur (minyak) Cimande, lilin, baju pangsi, iket (ikat kepala), sarung, hayam (ayam) jago, tumpeng, dan tentu saja daun sirih serta kembang korejat. Tidak mungkin semua saya petik di sini.
"Penca teh kudu dipigawe ku jalan peurih. Insya Allah, bakal jadi peurah," ujar guru kami.
Kalau saya Indonesiakan, purwakanti alias permainan bunyi dalam kata-kata itu niscaya hilang. Pada intinya, ia menekankan betapa pencak silat mesti dilakoni dengan kesanggupan bersusah payah. Dari penderitaan, lahir kekuatan.
Peureuh --- peurih --- peurah. Kata yang disebutkan belakangan, peurah, sepadan dengan "bisa" dalam arti zat beracun seperti pada hewan berbisa. Dalam pemahaman saya, seni bela diri yang telah dikuasai tak ubahnya dengan bisa, zat berbahaya tapi juga berfaedah.
Waktu guru kami menjelaskan sebabnya kami dipeureuh sambil duduk bersila di atas sehelai kafan putih, saya menangkap hal yang patut segera ditambahkan pada makna "bisa" itu. Kata sang guru, silat mesti dipelajari dengan hati yang tulus, dengan niat yang baik, dan pesilat harus senantiasa ingat pada saat berpulang, berkain kafan.
"Setelah kita berpulang nanti, semoga pencak yang kita pelajari menjadi kebaikan yang abadi," katanya.
Kebaikan yang ditekankan antara lain berupa persaudaraan. Dalam bahasa ibu saya, teman senasib sepenanggungan disebut batur sakapeurih. Dalam kaitan dengan upacara ini, teman demikian bisa juga disebut batur sapeureuhan.
Kian saya sadari bahwa seni bela diri dipelajari bukan untuk mengobarkan permusuhan, melainkan justru untuk meluaskan persaudaraan. Sebagaimana galibnya seni, ia membangun solidaritas, bukan saja di antara sesama pegiatnya, melainkan juga di antara sebanyak mungkin orang.
Dalam hal ini, terasa pentingnya apa yang dalam bahasa ibu saya disebut pancakaki, yakni kebiasaan menelusuri semacam titik persaudaraan antara diri kita dan siapa saja yang bertemu dengan kita.
Di lingkungan budaya tempat saya tumbuh, lazim orang bertukar tanya-jawab seputar asal-usul, tempat tinggal, keluarga, dan seterusnya. Begitulah pancakaki dalam prakteknya, bukan karena kita begitu kepo, melainkan karena kita merasakan adanya keperluan untuk memastikan titik persaudaraan. Biar hilang rasa canggung, biar lenyap syakwa sangka.
Sewaktu guru menutup upacara dengan do'a, saya mensyukuri pertemuan itu. Kami kemudian makan tumpeng bersama-sama.
Hawe Setiawan, budayawan, kolumnis bebas, mengajar di Universitas Pasundan, Bandung
Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...embang-korejat
---
Baca juga dari kategori EDITORIAL :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
1.5K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan