BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menanti percepatan Mahkamah Agung benahi peradilan

Ketua MA M. Hatta Ali: Momentum ke-2 untuk mereformasi kaarut marut dunia peradilan
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta -beserta segenap urusan politik lain yang menyelimutinya- sungguh menyita perhatian kita. Pers lebih berhasrat memfokuskan matanya kepada segala sisik melik dan peristiwa yang terkait dengan Pilkada DKI Jakarta itu.

Akibatnya, akui saja, sejumlah peristiwa dan kegiatan penting kurang kurang mendapatkan ekspose yang memadai. Salah satunya adalah pemilihan Ketua MA (Mahkamah Agung) yang berlangsung Selasa (14/02/2017) lalu.

Mengingat penting dan strategisnya posisi Ketua MA, publik merasa pengumuman pemilihan Ketua MA tersebut terkesan serba mendadak. Oleh karena itu, beberapa hari menjelang pemilihan tersebut, kelompok masyarakat sipil menyampaikan kekhawatiran proses pemilihan akan berjalan tidak transparan.

Padahal MA saat ini justru membutuhkan pemimpin yang, selain bersih, mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Itu sebabnya kelompok masyarakat sipil juga meminta agar pemilihan tersebut melibatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk memberikan gambaran integritas para Calon Ketua MA.

Merespon kekhawatiran tersebut, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial M. Syarifuddin memastikan proses pemilihan Ketua MA akan berlangsung secara terbuka. Namun sampai sehari menjelang pemilihan, belum ada nama yang disebut-sebut akan menjadi Calon Ketua MA.

Merujuk ke Surat Keputusan Ketua MA No 19/KMA/SK/II/2012 tentang Tata Tertib Pemilihan Ketua MA, Ketua MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung.

"Siapa yang nulis nama siapa kan belum tahu sekarang. Jadi kalau ditanya siapa yang mencalonkan, ya pasti tidak ada. Enggak bisa maju kalau enggak dicalonin," kata Syarifuddin sehari sebelum pemilihan.

Bagi warga negara yang mengharapkan percepatan reformasi peradilan dan pencapaian MA yang lebih baik, pemilihan Ketua MA adalah ajang yang memungkinkan hadirnya regenerasi di tubuh MA. Regenerasi itu diharapkan memberikan energi baru, memungkinkan pendekatan-pendekatan baru dalam reformasi hukum dan peradilan.

Harapan itu tidak berlebihan. Terlebih, kasus suap dan korupsi di lembaga peradilan selama ini telah membuat masyarakat meragukan integritas sistem peradilan di negeri ini.

MA memang bukan tidak pernah berbuat apa-apa untuk melakukan pembaruan di tubuhnya. MA tercatat pernah merancang cetak biru pembaruan yang dimulai pada tahun 2003 untuk bebenah diri.

Setelah cetak biru tersebut diluncurkan, masyarakat masih mencatat sejumlah kasus mafia perkara di lembaga peradilan itu. Sebut saja kasus yang melibatkan Harini Wijoso. Mantan hakim tinggi yang menjadi advokat itu ditangkap oleh KPK pada tahun 2005 karena berupaya menyuap Ketua MA saat itu, Bagir Manan yang kebetulan menjadi hakim ketua kasus penyimpangan Dana Reboisasi.

Pada 2013 kasus mafia peradilan terjadi lagi. Dalam sebuah OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK menangkap advokat Mario C Bernado dan pegawai di pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA bernama Djodi Supratman. Keduanya ditangkap atas dugaan suap dalam pengurusan kasasi perkara penipuan atas nama Hutomo Wijaya Ongowarsito..

Dan sepanjang tahun 2016 lalu, di tengah pencapaian akuntabilitas kinerja Mahkamah Agung (MA) yang mendapat peringkat B dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, KPK menangkap sejumlah oknum pengadilan.

Kepala Subdirektorat Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna terjaring OTT KPK pada Februari 2016. Penangkapan Andri terkait kasus suap untuk penundaan salinan kasasi dalam perkara korupsi proyek pembangunan Pelabuhan Labuhan Haji di Lombok Timur.

Pada April 2016 KPK menangkap tangan Edy Nasution, panitera di PN Jakarta Jakarta Selatan, yang kedapatan menerima suap terkait pendaftaran Peninjauan Kembali (PK) perkara perdata 2 perusahaan. Kasus ini menyeret Sekretaris MA Nurhadi Abdurachman sampai akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya.

OTT KPK juga berlangsung di Bengkulu pada Mei 2016. Dalam operasi itu, KPK menangkap Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Janner Purba, hakim PN Kota Bengkulu Toton, Panitera PN Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy. Penangkapan ketiganya terkait suap untuk putusan bebas kepada terdakwa korupsi penyelewengan honor dewan pembina Rumah Sakit M. Yunus Bengkulu

Berkat penangkapan yang dilakukan oleh KPK pada Juni 2016, nama Rohadi mencuat ke media dengan julukan "PNS Tajir". Julukan itu terkait dengan jumlah kekayaan Rohadi yang sangat besar, yang dianggap tidak wajar dimiliki oleh seorang panitera pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Rohadi ditangkap terkait suap untuk meringankan putusan atas Saiful Jamil sebagai terdakwa kasus pencabulan.

Pada akhir Juni itu, KPK kembali menangkap seorang panitera pengganti. Santoso, nama panitera pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu, ditangkap karena menerima suap terkait perkara perdata yang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Rentetan penangkapan para pegawai di lembaga peradilan tersebut bisa membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan kepada sistem peradilan negeri kita. Kekecewaan masyarakat tak bisa terobati hanya dengan pernyataan-pernyataan, janji-janji, dan program-program tanpa tindakan yang jelas.

Pada saat ada OTT terhadap mereka yang bekerja di lembaga peradilan, masyarakat sebenarnya menaruh harapan MA segera dengan cepat dan serius bebenah diri. Namun yang disaksikan oleh para pembayar pajak adalah penangkapan-penangkapan atas mereka yang menerima suap di lembaga peradilan.

Dalam pemilihan Ketua MA perioda 2017-2022 Selasa (14/02/2017) lalu, Hatta Ali terpilih untuk kedua kalinya memimpin MA. Ia harus menyadari harapan dan kekecewaan masyarakat tadi.

Manajemen perkara harus dibenahi sehingga tidak memberikan celah untuk tumbuhnya mafia perkara. Selain itu, koordinasi dengan Komisi Yudisial harus lebih erat dalam semangat saling percaya untuk membenahi dan menyehatkan sistem peradilan. Tak bisa ditawar, MA sudah seharusnya lebih membuka diri terhadap Komisi Yudisial.

Sebagai pejabat yang dua kali terpilih memimpin MA, sudah seharusnya Hatta menunjukkan kegesitan, kelincahan dan kecepatan yang lebih baik untuk membenahi MA ketimbang perioda sebelumnya. Para pembayar pajak tentu sulit menerima jika reformasi peradilan tak bisa dilangsungkan dengan tempo yang lebih cepat pada perioda sekarang.

Tentu tidak mudah, namun hal itu bukanlah hal yang mustahil jika kita semua sungguh bertekad mewujudkannya.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...nahi-peradilan

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Berharap Pilkada 2017 yang damai

- Kekerasan terhadap jurnalis harus ditindak

- Menengok kembali hukuman cambuk

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.1K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan