Kinerja Ekonomi I Gejala Deindustrialisasi Harus Segera Dicarikan Solusi
TS
sukhoivsf22
Kinerja Ekonomi I Gejala Deindustrialisasi Harus Segera Dicarikan Solusi
Sabtu 11/2/2017 | 00:01
Kinerja Ekonomi I Gejala Deindustrialisasi Harus Segera Dicarikan Solusi
Perlu Reformasi Kebijakan Industri secara Mendasar
Spoiler for BUKA:
Butuh insentif total bagi industri ekspor, padat karya, dan bernilai tambah tinggi.
Bergantung impor, industriawan dalam negeri banyak yang berubah menjadi pedagang.
JAKARTA - Sejumlah kalangan mengemukakan tren penurunan peran sektor industri atau gejala deindustrialisasi mesti segera dicarikan jalan keluarnya. Pemerintah perlu segera membuat reformasi kebijakan industri yang sangat mendasar. Paket kebijakan harus lebih menyeluruh dan tidak parsial berada di Kementerian Perindustrian.
“Pemerintah juga perlu memberi insentif fiskal dan nonfiskal bagi industri yang banyak menyerap tenaga kerja, pencipta nilai tambah tinggi, dan berorientasi ekspor, baik berupa fasilitas pajak, kawasan khusus, dan kemudahan perijinan,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Mudrajad Kuncoro, ketika dihubungi, Jumat (10/2).
Dia menambahkan rencana aksi yang jelas untuk menggenjot hilirisasi dan hulunisasi industri mesti menjadi bagian dari strategi substitusi impor. Ini, lanjut Mudrajad, masih perlu difokuskan untuk industri yang masih memiliki kandungan impor yang tinggi dan pengembangan industri hilir di bidang agribisnis memiliki potensi besar seperti perikanan, kakao, dan kelapa sawit.
“Pengembangan penyebaran dan pemerataan industri di luar Pulau Jawa juga perlu dipercepat sesuai arahan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan Indonesia sentris, bukan Jawa sentris,” tukas dia.
Menurut dia, perspektif spasial pembangunan industri, dengan berbasis kluster, merupakan salah satu faktor kunci yang dapat membantu pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan industri yang tepat dan berdaya saing.
Sebelumnya, peneliti Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan bila melihat profil pertumbuhan ekonomi 2016 secara lebih detail, kurang lebih ada sembilan sektor usaha di Indonesia yang kinerjanya turun pada tahun lalu.
“Paling mengkhawatirkan adalah penurunan kinerja sektor industri dari 4,52 persen di triwulan III menjadi 3,36 persen di triwulan IV-2016, sedangkan secara tahunan pertumbuhan sektor industri anjlok di angka 4,29 persen dibanding tahun 2015 yakni 4,33 persen,” papar dia.
Menurut Bhima, penurunan sektor industri sudah masuk ke dalam kondisi darurat. “Fakta ini juga dikuatkan oleh fenomena deindustrialisasi yang sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Porsi industri terhadap PDB (produk domestik bruto) menurun hingga di bawah 20 persen,” jelas dia.
Mudrajad juga mengungkapkan gejala deindustrialisasi yang terjadi sejak 2001 ternyata belum terlihat ada jalan keluar hingga kini. Nilai tambah yang disumbangkan sektor industri mencapai 19,9 persen dari PDB juga masih jauh dari yang ditetapkan pemerintah sekitar 21 persen terhadap PDB selama 2015–2016. “Indikasi deindustrialisasi tersebut harus segera dilihat akar masalah dan dicarikan jalan keluarnya,” tegas dia.
Tidak Diantisipasi
Menurut Mudrajad, hengkangnya pabrik industri dari Indonesia karena mengejar upah buruh lebih murah di Tiongkok tidak diantisipasi pemerintah atau dicari substitusinya.
Produk Tiongkok yang paling murah, membanjiri seluruh dunia sehingga membuat impor Indonesia meningkat.
“Ditambah dengan berbagai kebutuhan lainnya seperti pangan yang produk dalam negeri kalah bersaing dengan barang impor membuat negara ini menjadi makin konsumtif. Hal itu bisa dilihat dari porsi konsumsi rumah tangga terhadap PDB yang berkisar 55–58 persen selama 10 tahun terakhir,” papar dia.
Mudrajad pun menilai Indonesia makin bergantung kepada negara pengekspor barang manufaktur. Industriawan dalam negeri banyak yang berubah menjadi pedagang, sebab skema pemerintah untuk mengatasi hal itu tidak cukup menarik bagi pebisnis.
Selain itu, lanjut dia, relasi universitas dan lembaga riset serta industri juga tidak berjalan dengan baik sebagaimana di negara-negara industri. Hak paten dan riset yang berorientasi industri sangat rendah. Akibatnya, sektor industri di Tanah Air jauh ketinggalan dari negara pesaing.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, menambahkan minimnya kontribusi sektor industri pada pertumbuhan ekonomi disebabkan bidang tersebut didominasi oleh industri padat modal yang sahamnya dikuasai asing.
“Masalahnya sektor ini 60 persen didominasi industri besar, yang secara modal maupun teknologi, sahamnya dari luar seperti industri pengolahan hasil tambang dan industri berteknologi tinggi,” jelas dia. YK/SB/ahm/WP
http://www.koran-jakarta.com/perlu-r...ecara-mendasar
Kabar bagus sekaligus kabar buruk,,,,
bagusnya
nastak nasbung silahkan jadi petani peternak industri wisata industri keuangan industri jasa.
jeleknya
negara yang terlalu mengandalkan argobisnis dan wisata yang terlalu besar biasanya rapuh terhadap perubahan iklim.