- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Saat wartawan MetroTV jadi sasaran massa di berbagai aksi bela Islam


TS
kajongg
Saat wartawan MetroTV jadi sasaran massa di berbagai aksi bela Islam

Merdeka.com - Reporter Desi Fitriani dan kameramen Ucha Fernandes sedang mengambil gambar di depan pintu masuk Al Fatah Masjid Istiqlal saat aksi 112. Belum sempat masuk, terdengar suara dari belakang
Usir Metro TV... usir Metro TV," teriak massa, Sabtu (11/2).
Keduanya digiring oleh massa dan dicaci maki. Mereka disuruh keluar dari lingkungan masjid. Ucha Fernandes dipukuli di bagian perut, leher, dan kaki. Sedangkan kepala Desi sempat dipukul pakai bambu hingga memar.
Tak cuma Metro, wartawan Global TV juga diteriaki karena tak menyebut gelar 'Habib' Rizieq Shihab. Sebelumnya, mobil liputan milik Kompas juga disoraki massa di Istiqlal.

Kapolda Irjen M Iriawan berjanji mengusut kasus pengeroyokan ini. Polisi menilai kekerasan pada wartawan saat peliputan seharusnya tak terjadi. Dia memastikan ke depan tak ada lagi kejadian serupa.
"Tentu ini evaluasi bagi kami dan semua elemen menahan diri karena jurnalistik dilindungi karena tujuannya menyiarakan berita-berita yang ada. Kami evaluasi kegiatan berikutnya agar tak dilakukan hal seperti ini lagi," kata Irjen Iriawan.
Intimidasi pada wartawan MetroTV bukan yang pertama terjadi. Saat aksi 212 sebelumnya, reporter MetroTV yang sedang laporan langsung disoraki. Massa berteriak-teriak. "Metro Tipu.. Metro Tipu..." Namun tak ada aksi kekerasan yang terjadi. Massa hanya berteriak-teriak.
Pada Aksi 4 November 2016 atau yang dikenal dengan 411 di Medan, ratusan pengunjuk rasa mengusir Satellite News Gathering (SNG) milik MetroTV. Peristiwa itu terjadi di halaman Masjid Agung, Medan.

Padahal MetroTV mengaku tak pernah memelintir berita soal demo anti- Ahok di Medan. Mereka mengaku selalu melakukan cek dan ricek. MetroTV meminta jika ada keberatan soal pemberitaan bisa mengajukan protes sesuai aturan melalui Dewan Pers.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakartamengecam keras intimidasi dan kekerasan pada wartawan saat melakukan peliputan.
Menurut Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung, selain bisa dijerat dengan pasal pidana KUHP, pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis bisa dijerat Pasal 18 UU karena mereka secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik. Ancamannya hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.
"Kekerasan terhadap jurnalis berulang karena pelaku dalam kasus sebelumnya tidak diadili," kata Erick.
Anggota masyarakat seharusnya tidak main hakim sendiri. Bila keberatan dengan pemberitaan di media, gunakan mekanisme protes secara beradab dengan cara melaporkan media ke Dewan Pers. AJI mengimbau jurnalis mentaati kode etik jurnalistik dan bekerja profesional.
Selain itu, AJI Jakarta mendorong pemimpin redaksi memperhatikan keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang meliput aksi massa yang berpotensi konflik dan mengancam kerja-kerja jurnalistik. Perusahaan media harus bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang sedang bertugas.
Kasus kekerasan serupa juga dilakukan oleh peserta aksi pada 4 November dan 2 Desember 2016 lalu terhadap beberapa jurnalis. Sampai detik ini, pengaduan di Kepolisian Jakarta Pusat yang disampaikan oleh jurnalis Kompas TV pada awal November belum jelas pengusutannya.
Dalam kesempatan ini, AJI Jakarta mendorong Polres Jakarta Pusat untuk serius mengusut pelaku kekerasan yang memukuli jurnalis Kompas TV pada awal November tahun lalu.
(mdk/ian)
https://m.merdeka.com/peristiwa/saat...ela-islam.html

0
4.4K
49


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan