Ini untukmu, Nad. Semoga kamu punya akun Kaskus dan sempet baca ini. Kusertakan juga lagu yang dulu pernah kita dengarkan bersama...
Spoiler for Lagu Kita, Nad:

Quote:
Dear Nadirani,
Sama seperti setiap luka yang kita sembunyikan satu sama lain, begitupun aku yang tak pernah bisa mengakui di hadapanmu, tentang bagaimana rasanya menatap punggungmu yang menjauh. Semakin jauh. Lalu hilang tertelan malam. Lalu tak pernah kembali.
Jika kau bertanya, apakah ada yang salah; aku tak tahu harus menjawab apa. Mungkin kita yang tak pernah mau belajar tentang bagaimana mengeja sepatah selamat tinggal. Mungkin kita yang membutakan hati, bahwa cinta hakikatnya sekejam perang. Aku mencintaimu, hingga tak hentinya membilur. Aku menyayangimu, hingga berkerak melewati tahun-tahun.
Tapi semuanya tak pernah cukup, kau pun tahu. Setiap kecupan yang menjelma liar ketika malam datang hanya terpahat di ujung hari yang akan kau lupakan pertama kali setiap pagi tiba. Karena seperti yang pernah kau bisikkan, terlalu lara! Terlalu lara untuk terus mencinta!
Nad,
pada akhirnya kita akan mati di atas ranjang yang berbeda. Kau akan melewati ribuan pagi dengan menyeduh kopi panas tanpa tahu bagaimana mengakhirinya tanpa tetesan air mata. Aku akan mengais-ngais senja, sambil menata not-not minor tentang siluet tubuhmu yang pernah kupeluk dalam suka cita. Dulu.
Ah, andai saja kau percaya tentang terlahir kembali, kau tentu tak akan bosan mendengar monolog soreku. Tentang aku yang akan mencari sosokmu setelah usai kita terusir dari surga. Layaknya Adam dan Hawa.
Tapi kau lebih suka kisah-kisah fantasi tentang kuda poni, astronot, antariksa atau pantai abadi di tebing Himalaya. Dan aku tertawa, selalu tertawa, sambil menyebutmu pemimpi gila. Tapi kau marah dan berucap bahwa itu bukanlah bualan surealis belaka.
Lalu masa-masa itu pergi. Semua usai terpahat di waktu yang lalu.
Nad,
jika kita pernah saling membenci, jika kita pernah saling mengadu punggung dan menciptakan sepi, maka ada saatnya kau boleh mentertawakan semua itu. Anggaplah opera di antara kita adalah sekelumit komedi penuh anomali yang sakitnya membuatmu selalu ingin tertawa. Aku suka melihatmu tertawa. Selalu membuatku mensyukuri, bahwa tawa paling riang itu dulu pernah sebegitu dekat dengan telingaku.
Atau, jika kau ingin aku menceritakannya kembali, tentang setiap tetes air matamu yang selalu kau tumpahkan di bahuku. Seingatku, kau redam isakmu agar aku tak tahu. Tapi aku tahu. Aku tahu bahwa tak semua hulu tangis itu adalah tentangku. Aku tahu. Aku sadari bahwa terkadang aku memang terlalu rumit untuk kau tangisi.
Ah, ya!
Aku memang serumit itu.
Aku masokis yang mengkhianati tuhan lalu mengemis berkatnya ketika aku bermandi bilur.
Aku pria senja yang selalu percaya bahwa pagi hari tak akan pernah tiba.
Aku aktor di atas panggung kosong.
Aku pemuja paradoks.
Aku penghardik takdir.
Aku destruktif jenius.
Aku serigala.
Aku bertakdir mewabahkan lara.
Bahkan kepadamu.
Jadi, aku tak akan pernah meminta maaf untuk sebuah kado berisi akhir ini. Seperti yang pernah kau katakan bukan, bahwa kebahagiaan terkadang berwarna hitam? Bahwa kita saja yang tolol, yang terkadang tak tahu bagaimana cara menerimanya.
Aku tak akan pernah meminta maaf karena pada akhirnya kita harus memilih jalan yang berbeda.
Aku tak akan pernah meminta maaf karena tak bisa lagi membuatmu menangis dan tertawa di detik yang sama.
Aku tak akan pernah meminta maaf karena tak bisa lagi menunggumu datang.
Aku tak akan pernah meminta maaf karena tak bisa lagi mengantarkanmu pulang.
Aku tak akan pernah meminta maaf karena ini semua, seberdarah-darah apapun kita mempertarungkannya, akan berakhir di ujung yang sama. Tak akan ada yang berubah. Tak akan ada yang bisa dirubah. Inilah kita. Berdiri di persimpangan. Berdiri, diam, dan menghayati tujuan kita yang lalu berbeda.
Tapi akan kumohonkan sejuta maaf kepadamu, Nad, karena telah mencintaimu terlalu lama.
Sama seperti setiap luka yang kita sembunyikan satu sama lain, begitupun aku yang tak pernah bisa mengakui di hadapanmu, tentang bagaimana rasanya menatap punggungmu yang menjauh. Semakin jauh. Lalu hilang tertelan malam. Lalu tak pernah kembali.
Jika kau bertanya, apakah ada yang salah; aku tak tahu harus menjawab apa. Mungkin kita yang tak pernah mau belajar tentang bagaimana mengeja sepatah selamat tinggal. Mungkin kita yang membutakan hati, bahwa cinta hakikatnya sekejam perang. Aku mencintaimu, hingga tak hentinya membilur. Aku menyayangimu, hingga berkerak melewati tahun-tahun.
Tapi semuanya tak pernah cukup, kau pun tahu. Setiap kecupan yang menjelma liar ketika malam datang hanya terpahat di ujung hari yang akan kau lupakan pertama kali setiap pagi tiba. Karena seperti yang pernah kau bisikkan, terlalu lara! Terlalu lara untuk terus mencinta!
Nad,
pada akhirnya kita akan mati di atas ranjang yang berbeda. Kau akan melewati ribuan pagi dengan menyeduh kopi panas tanpa tahu bagaimana mengakhirinya tanpa tetesan air mata. Aku akan mengais-ngais senja, sambil menata not-not minor tentang siluet tubuhmu yang pernah kupeluk dalam suka cita. Dulu.
Ah, andai saja kau percaya tentang terlahir kembali, kau tentu tak akan bosan mendengar monolog soreku. Tentang aku yang akan mencari sosokmu setelah usai kita terusir dari surga. Layaknya Adam dan Hawa.
Tapi kau lebih suka kisah-kisah fantasi tentang kuda poni, astronot, antariksa atau pantai abadi di tebing Himalaya. Dan aku tertawa, selalu tertawa, sambil menyebutmu pemimpi gila. Tapi kau marah dan berucap bahwa itu bukanlah bualan surealis belaka.
Lalu masa-masa itu pergi. Semua usai terpahat di waktu yang lalu.
Nad,
jika kita pernah saling membenci, jika kita pernah saling mengadu punggung dan menciptakan sepi, maka ada saatnya kau boleh mentertawakan semua itu. Anggaplah opera di antara kita adalah sekelumit komedi penuh anomali yang sakitnya membuatmu selalu ingin tertawa. Aku suka melihatmu tertawa. Selalu membuatku mensyukuri, bahwa tawa paling riang itu dulu pernah sebegitu dekat dengan telingaku.
Atau, jika kau ingin aku menceritakannya kembali, tentang setiap tetes air matamu yang selalu kau tumpahkan di bahuku. Seingatku, kau redam isakmu agar aku tak tahu. Tapi aku tahu. Aku tahu bahwa tak semua hulu tangis itu adalah tentangku. Aku tahu. Aku sadari bahwa terkadang aku memang terlalu rumit untuk kau tangisi.
Ah, ya!
Aku memang serumit itu.
Aku masokis yang mengkhianati tuhan lalu mengemis berkatnya ketika aku bermandi bilur.
Aku pria senja yang selalu percaya bahwa pagi hari tak akan pernah tiba.
Aku aktor di atas panggung kosong.
Aku pemuja paradoks.
Aku penghardik takdir.
Aku destruktif jenius.
Aku serigala.
Aku bertakdir mewabahkan lara.
Bahkan kepadamu.
Jadi, aku tak akan pernah meminta maaf untuk sebuah kado berisi akhir ini. Seperti yang pernah kau katakan bukan, bahwa kebahagiaan terkadang berwarna hitam? Bahwa kita saja yang tolol, yang terkadang tak tahu bagaimana cara menerimanya.
Aku tak akan pernah meminta maaf karena pada akhirnya kita harus memilih jalan yang berbeda.
Aku tak akan pernah meminta maaf karena tak bisa lagi membuatmu menangis dan tertawa di detik yang sama.
Aku tak akan pernah meminta maaf karena tak bisa lagi menunggumu datang.
Aku tak akan pernah meminta maaf karena tak bisa lagi mengantarkanmu pulang.
Aku tak akan pernah meminta maaf karena ini semua, seberdarah-darah apapun kita mempertarungkannya, akan berakhir di ujung yang sama. Tak akan ada yang berubah. Tak akan ada yang bisa dirubah. Inilah kita. Berdiri di persimpangan. Berdiri, diam, dan menghayati tujuan kita yang lalu berbeda.
Tapi akan kumohonkan sejuta maaf kepadamu, Nad, karena telah mencintaimu terlalu lama.
10 Juni 2013