Quote:
Lebih dari satu dasawarsa sudah berlalu, Bi.
Apa kabar?
Setiap hari doa terpanjat, semoga kamu selalu bahagia disana.
Aku juga kirimkan kabar padamu, Bi, meski dalam bait tanpa suara disela-sela doa.
Masih ingat Borobudur kala hujan di Februari 2006 silam, Bi? Saat kita berteduh di balik stupa raksasa?
Tidak benar-benar berteduh, kita hanya ingin berdua tapi malu untuk bertutur pinta, iya kan?
Surat ini aku mulai dari sana ya, Bi, tepatnya satu hari sebelumnya.
Ah aku malu, Bi menggelar layar waktu ke masa itu...
Masa-masa remaja SMA yang malu tapi mau,
yang senyum dalam kulum,
yang rindu namun kelu,
yang teriakkan harap dalam senyap,
dan akhirnya hanya bisa curi pandang di bayang-bayang sendang.
Siang itu, aku sedang menulis sesuatu di atas tisu saat kamu mengejutkan aku dengan sapaan manismu. Aku tahu ada getar dalam suaramu, grogi setiap dekatiku.
“Nulis apa, Nda?” tanyamu.
Aku yang terkejutpun segera meremas tisu itu dan menyambutmu dengan tawa paksa karena jantung sudah terlanjur berdentum dalam talu yang kaku.
“Ga ada, Bi, cuma coret-coret aja!”
Aku ingat aku menjawab itu.
Kamu hanya tersenyum, lalu menatapku satu dua,
tiga empat, kau lempar pandang ke taman depan kelas dua,
lima enam, hati dan mata kita gurindam seirama.
Tetap tanpa kata, kita saling tertawa atas alasan yang nyata dalam hati kita.
Mengapa sulit untuk meraga saat rasa sudah menguasai sukma ya, Bi?
Hari itu, baik aku dan kamu sama-sama tidak sabar menunggu keesokan hari karena esok hari kita akan dalam perjalanan ke candi yang megah, mewah, indah, dan moksa. Prasasti raksasa milik Sang Syailendra.
Aku dan kamu tidak bisa sempurna dengarkan Sang Guru Pemandu Wisata karena aku dan kamu sibuk curi sapa lewat mata. Curi senyum meski dalam kulum.
Apa yang kita dengarkan saat itu selain detak jantung yang terdengar semakin keras, Bi?
Apa yang kita rasakan selain perut yang terasa berlubang sangat dalam dan menghisap habis semua kekuatan kita, Bi?
Apa yang kita bayangkan saat itu selain aku dan kamu yang mungkin akan mencuri kesempatan untuk bertemu meskipun kita tahu kita hanya akan membisu, Bi?
Kamu terus berjalan disampingku saat kita daki tangga demi tangga, membuatku merasa aman tanpa takut terpeleset lalu jatuh.
Kamu tahu tidak Bi, aku membayangkan kamu akan menangkapku jika aku sampai terjatuh karena kakiku terasa sangat lemas berada di sampingmu Bi.
Duh Gusti, malunya mengakui imajinasi ini....
Borobudur yang denawa tak bisa aku ingat detailnya karena kamulah yang bertahta dalam ingatanku saat itu, Bi.
Maha Candi yang sempurna tak lebih dari kumpulan arca dalam stupa karena kamulah ujung layang pandang Inda, Bi.
Lalu gerimis yang merintik seakan menjadi bahasa cinta yang manis ya, Bi.
Aku dan kamu bersamaan menatap ke langit sebelum saling bertatap mata atas sebuah gagasan yang hanya dimengerti oleh aku dan kamu.
Kamu menarikku untuk bersembunyi dari rombongan yang panik turuni tangga-tangga.
Seakan tersadar pada batas yang terlintas, kamu segera lepaskan pegangan tanganmu di tanganku saat kita tiba di balik batu kokoh nan sepi.
Lalu diam memeluk kita dengan kaku. Kelu menggamit lidahku dan lidahmu dan tatap mata hanya mampu terjatuh diujung sepatu.
“Hujan ya, Nda.”
“Iya, Bi.”
Hanya kalimat itu yang terangkum dalam senyum kikuk dan hiruk pikuk rasa yang semrawut dalam hati yang cenat-cenut.
Kita tidak bisa mengalahkan sepi hanya dengan dua baris kalimat itu, Bi.
Aku dan kamu punya mau,
aku dan kamu mau jejerkan hati yang geger, menjadikan Borobudur sebagai saksi akan kepasrahan kita pada kekuatan Dewata Cinta.
Aku dan kamu mau untuk mengukuhkan cinta kita dalam prasasti nan luhur.
Hingga hujan reda, kita tetap diam kan ya, Bi?
Mau yang bisu.
Aku tahu kok Bi. Kamu juga tahu kalau aku tahu. Kita sama-sama tahu.
Aku tahu kamu tidak bisa ucapkan cinta padaku. Aku tahu kenapa aku juga tak berani tumpas batas dan persembahkan hati kepadamu, Prabuku.
Karena kita dipasangi identitas beda agama kan, Bi?
Kamu Sang Pemuja Dewa.
Aku yang bersujud di kaki Ka’bah.
Romomu Sang Pandita.
Biyungku Sang Ustadzah.
Kelu lidah bukan karena terbatasnya kata, tapi karena kiblat kita yang berbeda.
Kamu dalam Dharma, aku dalam Syariah.
Kita tinggalkan Borobudur dalam senyap.
Kita simpan asmara dalam batas ingatan yang tak bersayap.
Canda tawa terbabat habis seiring berakhirnya gerimis.
Berikutnya, temu hanya senyum semu, tatap perih, dan bagiku: tangis.
Tak berselang lama Bi, hanya dua bulan setelah pupusnya asmara tercabik agama,
kamu meninggalkan aku selamanya.
Aku menangisi tubuh kurusmu yang terengkuh Astrea dan Kijang Taruna,
Roda dua yang pernah menjadi saksi perjalanan kita.
Lilanono pamit mulih (Ijinkan aku pergi)
Pesthi kulo yen dede jodhone (Pasti bukan aku yang menjadi jodohmu)
Mugo enggal antuk sulih (Semoga segera mendapatkan pengganti)
Wong sing biso ngladeni slirane (Dia yang lebih mengerti hatimu)
Nanging abot jroning ati (Meskipun berat dalam hati)
Ninggal ndiko wong sing tak tresnani (Meninggalkanmu yang sangat aku cintai)
Nanging badhe kados pundi (Namun bagaimana lagi)
Yen kawulo sadermo nglampahi (Semuanya harus kujalani)
Mung semene atur puji karyo raharjo (Selamat tinggal, kudoakan kau selalu bahagia)
Sak pungkure ojo lali asring kirim warto (Jangan lupa kirimkan kabarmu)
Eman-eman mbenjang ndiko (Bila suatu hari)
Yen to nganti digawe kuciwo (Kamu dibuat kecewa)
Batin kulo mboten lilo (Batin ini tidak rela)
Yen to nganti mung disiyo-siyo (Jika kamu hidup menderita)
Langgam Pamitan milik Gesang yang sering terlantun di warung Bude Janah, kantin sekolah kita, yang biasa kamu nyanyikan padaku sebagai guyonan mewujud jadi nyata, Bi: Kamu benar-benar pergi dariku.
Kepergianmu membungkamku dalam diam, lalu pekur, hingga tangis dalam kamar mandi sekolah.
Subi....
Mengapa tidak kita akui saja siksaan cinta yang membuat hati kita meranggas seperti klaras,
Mengapa tidak kita akui saja cinta kita, padahal kita juga tahu bahwa cinta Tuhan tak pernah berbeda,
Mengapa tidak kita kukuhkan cinta Subi dan Inda dalam diamnya arca-arca padahal kita tahu bahwa Dia adalah Satu dalam Beda Nama,
Agar tak ada jalan yang terbuntal sesal.
Subi,
Tahun lalu kukunjungi lagi Borobudur.
Menelusuri jalan yang pernah menjadi milikku dan milikmu.
Mencari Subi dan Inda remaja yang berlarian di balik arca.
Berpegangan tangan yang tak akan terlepas selamanya.
Kidungkan cinta tanpa peduli kata mereka.
Meraksasa bersama Borobudur yang Moksa.
Mematri kisah kasih yang Suci dan Mukti.
Subi,
Kamu masih ingin tahu apa yang sedang aku tulis di tisu itu?
Aku tembangkan bait demi bait dalam goresan pelepasan ini hanya untuk memberimu sebuah rahasia. Rahasia yang selama ini kusimpan dalam sepi nan pilu.
Aku menulis:
Subi cinta Inda
Inda cinta Subi
Tisu itu meluruh bersama hujan di Borobudur, Bi.
Tintanya luntur bersama luka hati atas cinta yang tak pernah jadi prasasti.
Tapi cinta tetap ada Bi.
Dalam diam.
Dalam marah.
Dalam sedih.
Dalam kesal.
Dalam sesal.
Karena cinta bisa moksa sekalipun tanpa wajah.
Karena cinta bisa bertahta sekalipun tanpa mahkota.
Dari Inda untuk Subi
Jogjakarta kala Hujan
Jogjakarta kala Hujan