Kaskus

Story

MuhadenAvatar border
TS
Muhaden
MUTIARA DI JAZIRAH BUTON
(Sebuah Novel Online 'Mutiara Di Jazirah Buton')


KIOS CAHAYA

Tiba tiba hujan turun dengan derasnya, seolah ini hujan terakhir untuk kotaku, terlihat dari tetesan yang begitu lebat seperti butiran jagung yang ditumpahkan terhamburan dari langit dan menghantam bumbungan rumah, genting, seng, asbes, rumbia, sirap, sudung, tarup, sengkuap, menghadirkan simfoni orkestra melayu yang di aransemen ulang dengan musik heavy metal. Ada juga jalanan yang kesakitan ingin melepaskan diri dari lapisan permukaan tanah untuk sejenak berteduh bersama aku dan beberapa pengendara yang sedari awal berhimpitan di selasar kios kecil 'Cahaya', sedang trotoar yang begitu tegar sembari membujuk jalanan untuk selalu sabar.

Beberapa kendaraan tampak mulai melaju di jalanan, menandakan hujan mulai reda, hanya sedikit gerimis sisa pengaduan alam. Aku dan beberapa pengendara tadi mulai mendekati sepeda motor kami, sejenak pandanganku mencoba mengamati kios tempat berteduh kami tadi, dinding yang agak sedikit ke kanan 18 derajat dan atap seng yang sudah tak muda lagi terlihat tidak simetris dengan kokoh pilar kayu dari batang jati di selasar, pada bagian kaca etalase tertulis 'Maaf tidak terima bon,' bahkan tulisan itu pun sepertinya sudah tak mampu menahan deritanya bersandar pada etalase yang pada sisi kirinya terbuat dari plastik bening tebal. Betapa runyamnya kehidupan ini, hingga nama kios seringkali bertolak belakang dari nasib yang terlihat.

"Beli apa pak!" suara merdu terdengar dari balik etalase, yang sekiranya suara itu berasal dari balik meja resepsionis hotel atau pramugari yang menawarkan permen di pesawat.
"Tisu nya ada dek?" ujar si bapak yang tadi bersama aku berteduh di situ.
"Ada pak, dua ribu, satu pak," makin merdu dan indah ku dengar suara itu, tapi pandanganku tak dapat menjangkau wajah di balik toples toples di atas etalase yang berdesakkan seperti antrian di awal pembuatan KTP elektrik.
"Satu, kalau gitu dek tisunya" ujar si bapak sambil menyerahkan uang dua ribu
"Ini pak tisunya" aaiiihhh kali ini makin merinding aku mendengar keanggunan suara itu, seolah ku mendengar lantunan azan legendaris di TVRI jadul tahun sembilan puluhan oleh Drs. Muammar, seingatku beliau lah yang pertama kali membuatku merinding karena lantunan azan indah itu, padahal saat itu aku sendiri belum mengerti makna merinding itu, tapi kali ini benar benar aku dibuat tak berdaya oleh suara dibalik etalase setengah kaca itu.

Aku yang harusnya sudah beranjak dari tempat itu, mencoba menunda hanya untuk mengetahui siapa gerangan yang mencuri perhatian indera pendengaranku yang agak kurang peka oleh nasihat ibu apalagi suara adzan subuh, tapi suara itu membuat indera pendengaranku lebih peka dari biasanya.

Aku mencoba melakukan manuver 1001, manuver yang sering aku lakukan ketika berada di tempat asing, atau mengalami kejadian yang hampir serupa dengan kejadian sekarang, yaitu manuver membeli sesuatu dengan uang seribu hanya untuk mengetahui informasi atau sekedar ingin tahu dan membuang jenuh pada keadaan, aku menamainya manuver 1001.

Aku berjalan tegak seperti seorang model pria di atas catwalk yang memakai busana jaket kulit dengan celana jeans dan dalaman kaos berbahan katun dari New Zealend dan di rancang oleh perancang busana Christian Dior, padahal pada saat itu aku hanya memakai baju kaos oblong rombengan dan celana jeans lusuh yang ku lipat dua kali menghindari isbal atau juga untuk mengantisipasi efek hujan terakhir, juga rambut yang acak acakan tak tentu arah seperti baru saja terjadi badai topan haiyan di atas kepalaku.

Kudekati etalase setengah kaca itu, dan aku sedikit menundukan pandangan berlagak seperti seorang pria sholeh yang baru menebus dosa setinggi gunung Jaya Wijaya, ketika ku mengangkat pandangan tiba tiba kejadian yang tak pernah aku duga terjadi, mataku benar benar silau melihat keindahan yang ada di hadapanku, seperti aku melihat cahaya kembang api di malam pergantian tahun yang berbentuk hati, seperti cahaya rembulan pada malam nuzul qur'an, yang membuat mata dan hatiku terasa hanya berjarak jari manis dan kelingking dan tak mampu bertahan dengan keindahan yang ada dihadapanku, silau cahaya yang terpancar dari kerudung biru bermotif kembang musim semi, membuat aku mengerti mengapa kios tersebut dinamakan 'Kios Cahaya'.

#Bersambung
#MutiaraDiJazirahButon
-Adn Al Bathniy-
Diubah oleh Muhaden 26-01-2017 18:35
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
2K
18
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan