BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Skema gross split lebih adil untuk negara

Menteri ESDM Ignasius Jonan (kanan) bersama Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, (tengah) serta Dirut Pertamina Dwi Soetjipto (kiri) memaparkan kerjasama pengelolaan wilayah kerja bidang migas, di Jakarta, Rabu (18/1/2017).
Untuk pertama kalinya, skema bagi hasil gross split digunakan pada proyek pengelolaan blok minyak dan gas. Proyek tersebut adalah pengelolaan Blok Offshore North West Java (ONJW) oleh PT Pertamina (Persero) yang akan berlaku hingga 20 tahun ke depan.

Dalam kontrak bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) proyek ini, pemerintah akan mendapat bagian sebesar 37,5 persen untuk produksi gas, sedangkan 62,5 persen akan menjadi hak Kontraktor Kerja Sama (KKKS), yang dalam hal ini adalah PT Pertamina Hulu Energi (PHE).

Sementara untuk pembagian minyak, pemerintah akan mendapat jatah sebesar 42,5 persen dan 57,5 persen sisanya adalah milik KKKS.

Secara pembagian, bagi hasil produksi memang terlihat jumlah yang sangat jauh berbeda dengan skema PSC yang sebelumnya digunakan, yakni cost recovery. Dalam skema cost recovery, pemerintah mendapatkan produksi minyak sebesar 85 persen dan gas sebesar 70 persen.

Akan tetapi, dengan gross split negara tidak perlu menanggung lagi biaya operasi yang dikeluarkan untuk memproduksi migas tersebut. Karena, seluruhnya menjadi tanggungan kontraktor. Sehingga, bagian yang diterima negara adalah bersih 42,5 persen tanpa harus dipotong lagi untuk biaya-biaya lainnya.

"Sekarang kita bagi hasil di awal, biaya produksi ya terserah kontraktor," ujar Menteri ESDM, Ignasius Jonan, dalam situs resmi Kementerian ESDM, Jumat (20/1/2017).

Memang, dalam skema ini kontraktor akan mendapatkan jatah yang lebih banyak dari negara. Namun, sebagai bagian dari kontrak gross split, Pertamina juga harus memberikan signature bonus sebesar USD5 juta dan investasi (berupa komitmen pasti) sebesar USD8,23 juta dalam waktu tiga tahun mendatang.

Pertamina masih diperkenankan membagi hak partisipasi (Participating Interest/PI) kepada mitra Pertamina yang turut menggarap blok tersebut. Meski begitu, nantinya, share down kepada mitra Pertamina itu akan dibatasi maksimal 25 persen.

Pertamina juga harus menyerahkan 10 persen hak partisipasi kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jawa Barat, sesuai Permen ESDM Nomor 37 Tahun 2016. Sebelumnya, hak partisipasi Pertamina di Blok ONWJ adalah 58,28 persen, PT Energi Mega Persada ONWJ (BUMD) sebesar 36,72 persen, dan mitra asing, Kuwait Foreign Petroleum Exploration Company (Kufpec) sebesar 5 persen.

Dengan skema kontrak bagi hasil tersebut, dalam 20 tahun mendatang, pemerintah mengestimasikan penerimaan negara yang bisa diraup adalah USD5,7 miliar.

Perkembangan wilayah kerja migas konvensional dan nonkonvensional
Gross split bukan jaminan, tapi...

Perlu ditekankan, skema bagi hasil gross split bukanlah obat mujarab yang bisa langsung membuat eksplorasi dan produksi migas di Indonesia jadi bergairah.

Dalam industri minyak, harga minyak adalah faktor utama yang menentukan investasi hulu migas. Selama harga minyak dunia rendah, investasi hulu migas tetap akan sulit bertambah. "Mau dibikin split kayak apapun, orang enggak tertarik," sebut Jonan dalam Detikcom.

Apalagi di industri minyak harga tidak dapat dikontrol siapa pun, karena semuanya berjalan melalui mekanisme pasar. Sehingga, siapa yang dapat mengefisienkan cost (biaya) maka mereka yang akan menjadi pemenang.

Bagian untuk negara maupun kontraktor juga belum tentu bertambah bila menggunakan skema gross split.

Tapi menurut Jonan, satu yang pasti adalah skema ini akan jauh lebih adil bagi negara dibandingkan skema cost recovery. Kontraktor juga memperoleh kemudahan dengan penggunaan skema gross split, sebab mereka kini bebas menentukan sendiri biaya operasinya, tak perlu prosedur untuk pengadaan barang dan jasa, dan persetujuan untuk setiap biaya yang dikeluarkan.

Selain itu, Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar menyebut skema ini juga dapat memangkas waktu sejak penemuan sumber cadangan minyak sampai produksi, hingga tiga tahun. Pasalnya, empat dekade, proses ini bisa berjalan kurang dari lima tahun, namun sejak tahun 2000, durasinya membengkak hingga 16 tahun.

Risiko bisnis dalam skema bagi hasil gross split juga dapat dimitigasi dengan insentif bagi hasil. Arcandra berujar, pemerintah tetap memiliki panduan pemberian insentif dan disinsentif, misalnya soal komponen tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), kedalaman sumur, kandungan karbondioksida (CO2), serta status blok.

Setidaknya, sambung Arcandra, penerapan skema ini bakal membuat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas lebih stabil. Karena, pendapatannya sudah pasti, yakni dari gross (pendapatan kotor), meski komposisinya lebih rendah dari skema pengembalian biaya.

Meski begitu, pemerintah baru menerapkan skema gross split ini pada kontrak-kontrak baru. Sementara, untuk kontrak perpanjangan, kontraktor masih bisa memilih skema bagi hasil gross split atau cost recovery. Begitu juga proyek yang sudah berjalan masih akan tetap menggunakan skema cost recovery.

Perlu menjadi catatan, meski tak ada cost recovery, seluruh barang dan peralatan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu migas yang dibeli kontraktor menjadi milik negara. Begitu juga tanah yang dibebaskan kontraktor. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 21 dan Pasal 22 Permen ESDM 08/2017.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...l-untuk-negara

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Investasi tanah bakal kena pajak progresif

- Makna ucapan selamat Jokowi untuk Trump

- Sanksi untuk penoda lambang negara

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.2K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan