

TS
aquamaria
Kong Yiji
Bagi anak kuliahan khususnya yang ngambil jurusan sastra China pasti gak akan asing sama cerpen yang satu ini. Langsung dibaca aja, sumber ane sertakan di akhir cerita
Author : Lu Xun
Translator : V.H.
Kedai anggur di Luchen berbeda dengan kedai minum pada umumnya yang biasa terdapat di daerah-daerah China lainnya. Di keda-kedai tersebut terdapat sebuah konter di sebelah kanan, di situ lah air panas disediakan untuk menghangatkan anggur. Ketika orang-orang sedang istirahat atau telah pulang bekerja pada siang harinya, mereka biasanya membeli semangkuk anggur di sore harinya; Dua puluh tahun yang lalu harganya empat sen, namun kini berharga sepuluh sen. Sambil berdiri di samping konter, mereka bersantai dan menikmati anggur tersebut selagi hangat. Dengan satu sen lagi mereka dapat membeli rebung yang digarami atau kacang polong yang dibumbui adas manis, dan dengan selusin sen mereka dapat membeli sepiring daging. Tetapi kebanyakan pengunjung merupakan masyarakat kelas bawah, sedikit di antara mereka yang dapat membeli menu tersebut. Hanya mereka yang mengenakan jubah panjang yang memasuki ruang sebelah untuk memesan anggur dan hidangan lainnya, mereka duduk dan minum dengan santai.
Pada usia 12 tahun, aku mulai bekerja sebagai pelayan di kedai “Prosperity”, terletak di gerbang masuk kota. Pemilik kedai mengatakan bahwa aku kurang pantas untuk melayani para pengunjung berjubah panjang, jadi aku ditempatkan di luar ruangan tersebut. Walaupun begitu para pembeli dari lapisan bawah yang kini ku layani lebih menyenangkan dan lebih mudah untuk dilayani, ada beberapa di antara mereka yang senang membuat keributan. Mereka bersikeras untuk menyaksikan sendiri ketika anggur kuning dicedok dari dalam tong, melihat apakah masih ada air di dasar tong tersebut, dan melihat ketika teko dicelupkan ke dalam air panas. Diperhatikan dengan begitu cermat, sangat sulit bagiku untuk memasak anggur. Akibatnya setelah beberapa hari pemilik kedai menganggap bahwa aku tidak mampu untuk melakukan pekerjaan tersebut. Untungnya aku tidak dipecat karena saran dari orang yang cukup berpengaruh dan hanya dipindah kerjakan pada pekerjaan yang sangat membosankan, yaitu memanasi anggur.
Sejak saat itu aku berdiri sepanjang hari di belakang konter, terikat dengan pekerjaan baruku. Meskipun aku memberi kepuasaan pada pekerjaan ini, namun bagiku ini monoton dan sia-sia. Pemilik kedai adalah seorang yang berwajah galak sedangkan para pengunjung kebanyakan berwajah murung, jadi sangat sulit untuk terciptanya suasana meriah di kedai tersebut. Hanya ketika Kung I-chi datang ke kedai aku bisa tertawa sedikit. Itulah mengapa aku masih mengingatnya.
Kung adalah satu-satunya pengunjung berjubah panjang yang meminum anggurnya sambil berdiri. Ia adalah seorang pria besar, berwajah pucat dan memiliki luka yang sering terlihat di antara kerut wajahnya. Dagunya ditumbuhi janggut tebal tak terawat yang mulai memutih. Meskipun Ia mengenakan jubah panjang, namun jubah tersebut sangat kotor dan compang-camping. Jubah tersebut terlihat seperti tidak pernah dicuci atau dijahit selama lebih dari sepuluh tahun. Ketika berbicara, Ia menggunakan banyak pepatah-pepatah kuno. Sehingga sangat sulit untuk memahami setengah dari apa yang telah Ia katakan. Karena nama keluarganya adalah Kung, maka Ia dipanggil “Kung I-chi,” yang merupakan tiga huruf pertama dalam buku pelajaran membaca anak-anak. Setiap kali Ia memasuki kedai, orang-orang akan memandanginya sambil tertawa kecil. Dan seseorang akan berseru:
“Hei Kung I-chi! Sepertinya kau mendapat luka baru di wajahmu!”
Kung mengabaikannya dan terus berjalan ke konter untuk memesan dua mangkuk anggur hangat dan sepiring kacang polong yang dibumbui adas manis. Dia membayar Sembilan sen. Lalu seseorang yang lain berseru lagi dengan suara yang sengaja dikeraskan:
“Kau pasti telah mencuri lagi!”
Kung membalas dengan mata melotot dan bertanya: “Mengapa merusak nama baik seseorang tanpa alasan?”
“Cih, nama baik? Kemarin lusa aku melihat kau diikat dan dipukuli karena mencuri buku dari keluarga Ho dengan mata kepalaku sendiri!”
Lalu wajah Kung memerah, pembuluh darah di dahinya timbul menonjol di saat Ia menyanggah:
“Mengambil sebuah buku tidak dapat dianggap sebagai pencurian… Mengambil sebuah buku adalah urusan pendidikan, dan tidak bisa dianggap sebagai pencurian!”
Kemudian keluarlah pepatah-pepatah kuno, seperti “seorang pria harus menjaga kejujurannya meski dalam kemiskinan,” dan pribahasa-pribahasa kuno yang dicampur aduk sehingga membuat se isi kedai gaduh seketika dikarenakan tawa yang tak terbendung dari para penghuni kedai.
Dari gosip yang ku dengar, Kung I-chi pernah belajar klasik tapi tidak pernah lulus ujian Negara. Tanpa keahlian untuk menafkahi dirinya, Ia menjadi miskin dan semakin miskin, sampai akhirnya Ia menjadi pengemis. Tetapi beruntung, Ia adalah seorang yang handal menulis indah sehingga dengan kemampuannya tersebut Ia dapat menyalin buku untuk menghidupinnya. Namun sangat disayangkan, Ia pemalas dan gemar minum-minum. Dengan demikian, setelah beberapa hari Ia seringkali meninggalkan tugasnya dan menghilang membawa buku, kertas, kuas dan tinta bersamanya. Karena terjadi berulang kali, maka tidak ada seorang pun lagi yang mau memperkerjakannya sebagai tukang salin. Maka tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali sesekali melakukan pencurian kecil-kecilan. Di kedai, kebiasaannya dijadikan teladan. Ia jarang sekali berhutang meskipun kadang-kadang namanya ditulis di papan orang-orang yang menunggak, namun dalam kurun waktu kurang dari sebulan Ia selalu melunasinya dan namanya akan dihapus lagi dari papan.
Setelah menenggak setengah mangkuk anggur, Kung mulai tenang kembali. Namun seseorang kembali berseru lagi:
“Kung I-chi, apakah kau benar-benar bisa membaca?”
Ketika Kung menyadari maksud dari pertanyaan tersebut, orang lain mulai menimpali lagi:
“Bagaimana bisa kau tidak pernah lulus bahkan dalam ujian Negara paling mudah sekalipun?”
Seketika Kung terlihat tidak nyaman dan gelisah. Wajahnya berubah pucat dan bibirnya bergerak-gerak melafalkan ungkapan-ungkapan kuno yang tak dapat dipahami. Seketika orang-orang tertawa terbahak-bahak dan kedai menjadi gaduh kembali.
Sesekali aku dapat ikut tertawa tanpa kena omelan oleh bos ku. Sebenarnya Ia seringkali bertanya kepada Kung hanya untuk menyulut gelak tawa. Merasa bahwa akan sia-sia berbicara kepada mereka, maka Kung akan berbicara kepada anak-anak. Ia pernah bertanya kepada ku:
“Pernahkah kau bersekolah?”
Aku mengangguk, lalu Ia melanjutkan:
“Baiklah kalau begitu, aku akan mengujimu. Bagaimana kau menulis huruf hui dalam hui-hsiang (adas manis) kacang polong?”
“Aku tidak mau diuji oleh seorang pengemis!”pikirku. Maka ku hiraukan dia dan berpaling darinya. Setelah menunggu beberapa saat, Ia mulai berbicara lagi dengan sungguh-sungguh:
“Kau tidak dapat menulisnya? Aku akan menunjukan caranya pada mu. Ingatlah ini! Kau harus hafalkan huruf-huruf ini, karena nanti jika kau memiliki kedai sendiri, kau akan membutuhkannya untuk menulis catatanmu.”
Bagiku untuk memiliki kedai sendiri masihlah sangat jauh, disamping itu bos ku juga tidak pernah menulis kacang polong hui-hsiang dalam buku catatannya. Terhibur sekaligus jengkel, aku menjawab dengan setengah hati:
“Siapa yang menginginkan kau sebagai guru? Bukankah itu huruf hui dengan akar rumput?”
Kung gembira mendengar jawaban dariku, dan mengetukan dua kuku jarinya yang panjang ke meja konter. Sambil mengangguk-angguk dia mengatakan:
“Betul, betul! Hanya saja ada empat cara berbeda untuk menulis huruf hui tersebut. Tahukah kau hal tersebut?”
Kesabaranku habis, ku hiraukan dia. Kung I-chi lalu mencelupkan jarinya ke dalam anggur dan menunjukan cara menulis huruf tersebut di meja konter, namun ketika melihat diriku mengacuhkannya, Ia menghela napas dan tampak sangat kecewa.
Kadang-kadang anak-anak di sekitar kedai ketika mendengar suara tertawaan akan masuk ke dalam kedai dan mereka akan mengelilingi Kung I-chi. Kung lalu memberi mereka kacang polong adas manis santapannya satu persatu. Setelah anak-anak tersebut telah habis menyantap makanannya, mereka tetap mengitari Kung I-chi dan mengharapkan yang lain dari piringnya. Karena bingung, Kung lalu menutupi piringya dengan tangannya dan membungkuk agak ke depan sambil berkata:
“Ini tidak banyak. Aku hanya punya sedikit.”
Lalu meluruskan lagi badannya untuk memeriksa sisa kacang polong di piringnya dan berkata: “Ini tinggal sedikit, sungguh tidak banyak!” sambil menggoyangkan kepalanya. Kemudian anak-anak tersebut berlarian sambil tertawa riuh.
Kung I-chi adalah kawan yang baik, tetapi tanpa dia pun kami akan baik-baik saja.
Suatu hari, beberapa hari sebelum festival pertengan musim gugur, pemilik kedai dengan sangat mendetil memeriksa buku catatannya. Sambil menurunkan papan dari dinding, kemudian Ia berkata:
“Kung I-chi sudah sangat lama menunggak, Ia masih berhutang Sembilan belas sen!”
Perkataan itu menyadarkanku, sudah sangat lama kami tidak melihat dirinya.
“Bagaimana mungkin Ia bisa kemari?” kata salah seorang pengunjung. “Kakinya patah ketika Ia dipukuli belum lama ini”
“Ah!”
“Ia mencuri lagi. Kali ini Ia sangatlah bodoh karena mencuri di rumah tuan Ting, seorang sarjana Negara! Tidak ada yang berani melakukan hal itu!”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Pertama-tama dia disuruh menulis pengakuan, lalu dia dipukuli. Pemukulan tersebut hampir semalaman, sampai akhirnya kakinya patah.”
“Kemudian?”
“Ya, kakinya patah.”
“Saya tahu, apa lagi yang terjadi setelah itu?”
“Yang terjadi? Siapa yang tahu, mungkin dia mati.”
Pemilik kedai tidak melanjutkan pertanyaannya, dan terus melanjutkan memeriksa catatannya.
Setelah festival pertengahan musim gugur, hari demi hari angin semakin terasa dingin seiring dengan datangnya musim dingin. Meski sebagian besar waktu ku habiskan di dekat perapian, namun aku masih harus mengenakan jaket tebal. Suatu sore, ketika kedai sedang sepi, aku sedang duduk sambil memejamkan mata sampai aku mendengar suara:
“Panaskan semangkuk anggur.”
Suara tersebut sangatlah pelan namun tidak asing bagiku. Aku pun membuka mata dan melihat-lihat, namun tidak ada seorang pun yang terlihat. Aku berdiri berjalan ke arah pintu untuk memeriksanya, dan di sana di bawah konter ku lihat Kung I-chi sedang duduk menghadap ambang pintu. Wajahnya sangat lesu dan cekung, dan Ia terlihat sangat memilukan. Ia mengenakan jaket musim dinginnya yang sudah robek-robek, dan duduk bersila di atas keset yang diikatkannya pada bahunya dengan tali jerami. Ketika Ia melihatku, Ia mengulang perkataannya lagi:
“Panaskan semangkuk anggur.”
Pada saat itu pemilik kedai membungkuk dan melihat dari atas konter dan berkata:
“Apakah itu Kung I-chi? Kau masih berhutang Sembilan belas sen!”
“Untuk itu… akan ku bayar nanti” balas Kung, sambil melihat ke atas dengan amat sedih. “Ini aku bayar seadanya, anggurnya haruslah enak.”
Seperti biasanya, pemilik kedai tertawa kecil dan berkata:
“Kung I-chi, kau pasti telah mencuri lagi!”
Kali ini Ia tidak menyanggah seperti biasannya, namun hanya membalas dengan enteng:
“Kau suka leluconmu?”
“Lelucon? Jika kau tidak mencuri, bagaimana bisa kedua kakimu patah?”
“Aku terjatuh,” jawab Kung dengan suara pelan. “Aku jatuh dan kakiku patah.” Matanya memohon kepada penjaga kedai untuk tidak meneruskan pembicaraan tersebut. Saat itu juga sejumlah orang telah berkumpul di dalam dan menertawainya. Ku hangatkan anggur lalu ku bawa dan ku letakan di ambang pintu. Ia mengambil uang dari pakaian rombengnya tersebut dan membayar empat sen yang diletakan di telapak tanganku. Ketika Ia menyentuhkan tangannya, dapat ku lihat tangannya dipenuhi lumpur. Dia pasti baru saja merayap untuk sampai ke sini. Tak lama setelah Ia habis meminum anggurnya, segera Ia merangkak keluar menyeret dirinya dengan tangannya meninggalkan kedai yang sedang dilanda kegaduhan karena tawa dan omongan orang tentang dirinya.
Waktu terus berputar dan hari demi hari terus berlalu, Kung tidak pernah terlihat lagi sejak saat itu. Pada akhir tahun ketika pemilik kedai menurunkan papan, Ia berkata: “Kung I-chi masih berhutang Sembilan belas sen!” Pada festival perahu naga tahun berikutnya, penjaga kedai mengatakan hal tersebut lagi. Tetapi ketika festival pertengahan musim gugur tiba, Ia tidak menyinggung hal tersebut lagi. Sampai tahun baru berikutnya kami tidak pernah melihat dirinya lagi.
Aku pun sejak saat itu tidak pernah melihat dirinya lagi, mungkin Kung telah mati sungguhan.
Sumber

Spoiler for Ilustrasi:
Author : Lu Xun
Translator : V.H.
KUNG I-CHI
Kedai anggur di Luchen berbeda dengan kedai minum pada umumnya yang biasa terdapat di daerah-daerah China lainnya. Di keda-kedai tersebut terdapat sebuah konter di sebelah kanan, di situ lah air panas disediakan untuk menghangatkan anggur. Ketika orang-orang sedang istirahat atau telah pulang bekerja pada siang harinya, mereka biasanya membeli semangkuk anggur di sore harinya; Dua puluh tahun yang lalu harganya empat sen, namun kini berharga sepuluh sen. Sambil berdiri di samping konter, mereka bersantai dan menikmati anggur tersebut selagi hangat. Dengan satu sen lagi mereka dapat membeli rebung yang digarami atau kacang polong yang dibumbui adas manis, dan dengan selusin sen mereka dapat membeli sepiring daging. Tetapi kebanyakan pengunjung merupakan masyarakat kelas bawah, sedikit di antara mereka yang dapat membeli menu tersebut. Hanya mereka yang mengenakan jubah panjang yang memasuki ruang sebelah untuk memesan anggur dan hidangan lainnya, mereka duduk dan minum dengan santai.
Pada usia 12 tahun, aku mulai bekerja sebagai pelayan di kedai “Prosperity”, terletak di gerbang masuk kota. Pemilik kedai mengatakan bahwa aku kurang pantas untuk melayani para pengunjung berjubah panjang, jadi aku ditempatkan di luar ruangan tersebut. Walaupun begitu para pembeli dari lapisan bawah yang kini ku layani lebih menyenangkan dan lebih mudah untuk dilayani, ada beberapa di antara mereka yang senang membuat keributan. Mereka bersikeras untuk menyaksikan sendiri ketika anggur kuning dicedok dari dalam tong, melihat apakah masih ada air di dasar tong tersebut, dan melihat ketika teko dicelupkan ke dalam air panas. Diperhatikan dengan begitu cermat, sangat sulit bagiku untuk memasak anggur. Akibatnya setelah beberapa hari pemilik kedai menganggap bahwa aku tidak mampu untuk melakukan pekerjaan tersebut. Untungnya aku tidak dipecat karena saran dari orang yang cukup berpengaruh dan hanya dipindah kerjakan pada pekerjaan yang sangat membosankan, yaitu memanasi anggur.
Sejak saat itu aku berdiri sepanjang hari di belakang konter, terikat dengan pekerjaan baruku. Meskipun aku memberi kepuasaan pada pekerjaan ini, namun bagiku ini monoton dan sia-sia. Pemilik kedai adalah seorang yang berwajah galak sedangkan para pengunjung kebanyakan berwajah murung, jadi sangat sulit untuk terciptanya suasana meriah di kedai tersebut. Hanya ketika Kung I-chi datang ke kedai aku bisa tertawa sedikit. Itulah mengapa aku masih mengingatnya.
Kung adalah satu-satunya pengunjung berjubah panjang yang meminum anggurnya sambil berdiri. Ia adalah seorang pria besar, berwajah pucat dan memiliki luka yang sering terlihat di antara kerut wajahnya. Dagunya ditumbuhi janggut tebal tak terawat yang mulai memutih. Meskipun Ia mengenakan jubah panjang, namun jubah tersebut sangat kotor dan compang-camping. Jubah tersebut terlihat seperti tidak pernah dicuci atau dijahit selama lebih dari sepuluh tahun. Ketika berbicara, Ia menggunakan banyak pepatah-pepatah kuno. Sehingga sangat sulit untuk memahami setengah dari apa yang telah Ia katakan. Karena nama keluarganya adalah Kung, maka Ia dipanggil “Kung I-chi,” yang merupakan tiga huruf pertama dalam buku pelajaran membaca anak-anak. Setiap kali Ia memasuki kedai, orang-orang akan memandanginya sambil tertawa kecil. Dan seseorang akan berseru:
“Hei Kung I-chi! Sepertinya kau mendapat luka baru di wajahmu!”
Kung mengabaikannya dan terus berjalan ke konter untuk memesan dua mangkuk anggur hangat dan sepiring kacang polong yang dibumbui adas manis. Dia membayar Sembilan sen. Lalu seseorang yang lain berseru lagi dengan suara yang sengaja dikeraskan:
“Kau pasti telah mencuri lagi!”
Kung membalas dengan mata melotot dan bertanya: “Mengapa merusak nama baik seseorang tanpa alasan?”
“Cih, nama baik? Kemarin lusa aku melihat kau diikat dan dipukuli karena mencuri buku dari keluarga Ho dengan mata kepalaku sendiri!”
Lalu wajah Kung memerah, pembuluh darah di dahinya timbul menonjol di saat Ia menyanggah:
“Mengambil sebuah buku tidak dapat dianggap sebagai pencurian… Mengambil sebuah buku adalah urusan pendidikan, dan tidak bisa dianggap sebagai pencurian!”
Kemudian keluarlah pepatah-pepatah kuno, seperti “seorang pria harus menjaga kejujurannya meski dalam kemiskinan,” dan pribahasa-pribahasa kuno yang dicampur aduk sehingga membuat se isi kedai gaduh seketika dikarenakan tawa yang tak terbendung dari para penghuni kedai.
Dari gosip yang ku dengar, Kung I-chi pernah belajar klasik tapi tidak pernah lulus ujian Negara. Tanpa keahlian untuk menafkahi dirinya, Ia menjadi miskin dan semakin miskin, sampai akhirnya Ia menjadi pengemis. Tetapi beruntung, Ia adalah seorang yang handal menulis indah sehingga dengan kemampuannya tersebut Ia dapat menyalin buku untuk menghidupinnya. Namun sangat disayangkan, Ia pemalas dan gemar minum-minum. Dengan demikian, setelah beberapa hari Ia seringkali meninggalkan tugasnya dan menghilang membawa buku, kertas, kuas dan tinta bersamanya. Karena terjadi berulang kali, maka tidak ada seorang pun lagi yang mau memperkerjakannya sebagai tukang salin. Maka tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali sesekali melakukan pencurian kecil-kecilan. Di kedai, kebiasaannya dijadikan teladan. Ia jarang sekali berhutang meskipun kadang-kadang namanya ditulis di papan orang-orang yang menunggak, namun dalam kurun waktu kurang dari sebulan Ia selalu melunasinya dan namanya akan dihapus lagi dari papan.
Setelah menenggak setengah mangkuk anggur, Kung mulai tenang kembali. Namun seseorang kembali berseru lagi:
“Kung I-chi, apakah kau benar-benar bisa membaca?”
Ketika Kung menyadari maksud dari pertanyaan tersebut, orang lain mulai menimpali lagi:
“Bagaimana bisa kau tidak pernah lulus bahkan dalam ujian Negara paling mudah sekalipun?”
Seketika Kung terlihat tidak nyaman dan gelisah. Wajahnya berubah pucat dan bibirnya bergerak-gerak melafalkan ungkapan-ungkapan kuno yang tak dapat dipahami. Seketika orang-orang tertawa terbahak-bahak dan kedai menjadi gaduh kembali.
Sesekali aku dapat ikut tertawa tanpa kena omelan oleh bos ku. Sebenarnya Ia seringkali bertanya kepada Kung hanya untuk menyulut gelak tawa. Merasa bahwa akan sia-sia berbicara kepada mereka, maka Kung akan berbicara kepada anak-anak. Ia pernah bertanya kepada ku:
“Pernahkah kau bersekolah?”
Aku mengangguk, lalu Ia melanjutkan:
“Baiklah kalau begitu, aku akan mengujimu. Bagaimana kau menulis huruf hui dalam hui-hsiang (adas manis) kacang polong?”
“Aku tidak mau diuji oleh seorang pengemis!”pikirku. Maka ku hiraukan dia dan berpaling darinya. Setelah menunggu beberapa saat, Ia mulai berbicara lagi dengan sungguh-sungguh:
“Kau tidak dapat menulisnya? Aku akan menunjukan caranya pada mu. Ingatlah ini! Kau harus hafalkan huruf-huruf ini, karena nanti jika kau memiliki kedai sendiri, kau akan membutuhkannya untuk menulis catatanmu.”
Bagiku untuk memiliki kedai sendiri masihlah sangat jauh, disamping itu bos ku juga tidak pernah menulis kacang polong hui-hsiang dalam buku catatannya. Terhibur sekaligus jengkel, aku menjawab dengan setengah hati:
“Siapa yang menginginkan kau sebagai guru? Bukankah itu huruf hui dengan akar rumput?”
Kung gembira mendengar jawaban dariku, dan mengetukan dua kuku jarinya yang panjang ke meja konter. Sambil mengangguk-angguk dia mengatakan:
“Betul, betul! Hanya saja ada empat cara berbeda untuk menulis huruf hui tersebut. Tahukah kau hal tersebut?”
Kesabaranku habis, ku hiraukan dia. Kung I-chi lalu mencelupkan jarinya ke dalam anggur dan menunjukan cara menulis huruf tersebut di meja konter, namun ketika melihat diriku mengacuhkannya, Ia menghela napas dan tampak sangat kecewa.
Kadang-kadang anak-anak di sekitar kedai ketika mendengar suara tertawaan akan masuk ke dalam kedai dan mereka akan mengelilingi Kung I-chi. Kung lalu memberi mereka kacang polong adas manis santapannya satu persatu. Setelah anak-anak tersebut telah habis menyantap makanannya, mereka tetap mengitari Kung I-chi dan mengharapkan yang lain dari piringnya. Karena bingung, Kung lalu menutupi piringya dengan tangannya dan membungkuk agak ke depan sambil berkata:
“Ini tidak banyak. Aku hanya punya sedikit.”
Lalu meluruskan lagi badannya untuk memeriksa sisa kacang polong di piringnya dan berkata: “Ini tinggal sedikit, sungguh tidak banyak!” sambil menggoyangkan kepalanya. Kemudian anak-anak tersebut berlarian sambil tertawa riuh.
Kung I-chi adalah kawan yang baik, tetapi tanpa dia pun kami akan baik-baik saja.
Suatu hari, beberapa hari sebelum festival pertengan musim gugur, pemilik kedai dengan sangat mendetil memeriksa buku catatannya. Sambil menurunkan papan dari dinding, kemudian Ia berkata:
“Kung I-chi sudah sangat lama menunggak, Ia masih berhutang Sembilan belas sen!”
Perkataan itu menyadarkanku, sudah sangat lama kami tidak melihat dirinya.
“Bagaimana mungkin Ia bisa kemari?” kata salah seorang pengunjung. “Kakinya patah ketika Ia dipukuli belum lama ini”
“Ah!”
“Ia mencuri lagi. Kali ini Ia sangatlah bodoh karena mencuri di rumah tuan Ting, seorang sarjana Negara! Tidak ada yang berani melakukan hal itu!”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Pertama-tama dia disuruh menulis pengakuan, lalu dia dipukuli. Pemukulan tersebut hampir semalaman, sampai akhirnya kakinya patah.”
“Kemudian?”
“Ya, kakinya patah.”
“Saya tahu, apa lagi yang terjadi setelah itu?”
“Yang terjadi? Siapa yang tahu, mungkin dia mati.”
Pemilik kedai tidak melanjutkan pertanyaannya, dan terus melanjutkan memeriksa catatannya.
Setelah festival pertengahan musim gugur, hari demi hari angin semakin terasa dingin seiring dengan datangnya musim dingin. Meski sebagian besar waktu ku habiskan di dekat perapian, namun aku masih harus mengenakan jaket tebal. Suatu sore, ketika kedai sedang sepi, aku sedang duduk sambil memejamkan mata sampai aku mendengar suara:
“Panaskan semangkuk anggur.”
Suara tersebut sangatlah pelan namun tidak asing bagiku. Aku pun membuka mata dan melihat-lihat, namun tidak ada seorang pun yang terlihat. Aku berdiri berjalan ke arah pintu untuk memeriksanya, dan di sana di bawah konter ku lihat Kung I-chi sedang duduk menghadap ambang pintu. Wajahnya sangat lesu dan cekung, dan Ia terlihat sangat memilukan. Ia mengenakan jaket musim dinginnya yang sudah robek-robek, dan duduk bersila di atas keset yang diikatkannya pada bahunya dengan tali jerami. Ketika Ia melihatku, Ia mengulang perkataannya lagi:
“Panaskan semangkuk anggur.”
Pada saat itu pemilik kedai membungkuk dan melihat dari atas konter dan berkata:
“Apakah itu Kung I-chi? Kau masih berhutang Sembilan belas sen!”
“Untuk itu… akan ku bayar nanti” balas Kung, sambil melihat ke atas dengan amat sedih. “Ini aku bayar seadanya, anggurnya haruslah enak.”
Seperti biasanya, pemilik kedai tertawa kecil dan berkata:
“Kung I-chi, kau pasti telah mencuri lagi!”
Kali ini Ia tidak menyanggah seperti biasannya, namun hanya membalas dengan enteng:
“Kau suka leluconmu?”
“Lelucon? Jika kau tidak mencuri, bagaimana bisa kedua kakimu patah?”
“Aku terjatuh,” jawab Kung dengan suara pelan. “Aku jatuh dan kakiku patah.” Matanya memohon kepada penjaga kedai untuk tidak meneruskan pembicaraan tersebut. Saat itu juga sejumlah orang telah berkumpul di dalam dan menertawainya. Ku hangatkan anggur lalu ku bawa dan ku letakan di ambang pintu. Ia mengambil uang dari pakaian rombengnya tersebut dan membayar empat sen yang diletakan di telapak tanganku. Ketika Ia menyentuhkan tangannya, dapat ku lihat tangannya dipenuhi lumpur. Dia pasti baru saja merayap untuk sampai ke sini. Tak lama setelah Ia habis meminum anggurnya, segera Ia merangkak keluar menyeret dirinya dengan tangannya meninggalkan kedai yang sedang dilanda kegaduhan karena tawa dan omongan orang tentang dirinya.
Waktu terus berputar dan hari demi hari terus berlalu, Kung tidak pernah terlihat lagi sejak saat itu. Pada akhir tahun ketika pemilik kedai menurunkan papan, Ia berkata: “Kung I-chi masih berhutang Sembilan belas sen!” Pada festival perahu naga tahun berikutnya, penjaga kedai mengatakan hal tersebut lagi. Tetapi ketika festival pertengahan musim gugur tiba, Ia tidak menyinggung hal tersebut lagi. Sampai tahun baru berikutnya kami tidak pernah melihat dirinya lagi.
Aku pun sejak saat itu tidak pernah melihat dirinya lagi, mungkin Kung telah mati sungguhan.
Sumber
0
1.6K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan