- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Evolusi Jaringan Teroris Indonesia


TS
everesthome
Evolusi Jaringan Teroris Indonesia
Evolusi Jaringan Teroris Indonesia
Selasa, 17/01/2017 12:37 WIB

Bom Bali 2002
Jakarta, CNN Indonesia -- Jaringan radikal di Indonesia berakar dari masa kemerdekaan, 1945 silam. Gerakan radikal ini berlatar belakang politik agama yang dikomandoi oleh Kartosuwiryo dengan membentuk organisasi Negara Islam Indonesia/Tentara Islam Indonesia (NII/TII).
Sejak pembahasan pembentukan negara, Kartosuwiryo menghendaki Indonesia menerapkan syariat Islam di seluruh penjuru tanah air, dengan alasan agama ini dipeluk mayoritas penduduknya.
Usulan ini ditolak karena tak bisa mengakomodir keanekaragaman yang ada dari Sabang sampai Merauke, terutama Indonesia bagian timur yang sebagian besar beragama kristen.
Pendiri negara menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dengan sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Kartosuwiryo yang menolak keputusan ini memproklamirkan NII/TII di beberapa wilayah Indonesia.
Dia ditangkap dan dieksekusi pada 1962 silam. Namun, sebelum itu, dia sempat membagi NII menjadi sembilan komandemen wilayah (KW). Gerakan ini terus bergerak secara terselubung dan klandestin.
Di Jawa Tengah, melalui NII KW II, Abu Bakar Baasyir dan Abdulah Sungkar menentang pemerintah dan menolak Pancasila. Abdulah diangkat dan diancam hukuman sembilan tahun penjara, namun dia mengajukan banding sehingga menjadi tahanan kota.
Kesempatan ini dia gunakan untuk melarikan diri ke Malaysia dan mendirikan Jamaah Islamiyah. Abu Bakar Baasyir merekrut orang-orang di Jawa untuk dikirimkan bergabung dengan kelompok yang terbagi ke dalam beberapa wilayah kerja atau Mantiqi ini.
JI, yang baru mulai beroperasi pada 1993, disebut sebagai bagian dari Al Qaidah, kelompok teror yang berasal dari Timur Tengah. Kelompok ini pula yang diyakini mengotaki serangan Bom Bali 2002, menewaskan 202 orang.
Setelah bom Bali, JI melakukan berbagai serangan teror lainnya, namun dengan skala lebih kecil.

JI kemudian berkembang menjadi Jamaah Ansharut Tauhid mulai September 2008. Di saat yang sama, polisi gencar menangkapi tokoh-tokoh penting di balik serangan bom Bali dan serangkaian aksi teror di masa itu.
Kelompok JI pun mulai absen dari aksi teror-meneror. Bagaimana tidak, mereka menjadi seperti kaki tangan yang kehilangan kepala karena tokoh pentingnya berhasil "dinetralisir" oleh aparat. Sebagian ditangkap sementara yang lainnya tewas dalam penggerebekan.
Sementara itu, di Timur Tengah, Al Qaeda goncang setelah kematian pimpinannya
Osama bin Laden pada 2011. Pengganti Osama, Ayman Al Zawahiri tak sekharimatis Osama, dan perpecahan pun terjadi di organisasi itu.
Beberapa anggota membelot dan membentuk kelompok sendiri, di antaranya di bawah pimpinan Abu Bakr al-Baghdhadi.
Baghdadi bergerak memanfaatkan perpecahan yang terjadi di Timur Tengah, terutama pemberontakan di Suriah dan invasi Irak oleh Amerika Serikat.
Organisasi ini lebih garang dan bahkan tak sungkan melawan kelompok militan lain di Irak dan Suriah. Mereka pun berhasil merebut banyak wilayah dan rajin menunjukkan kebolehannya melalui video propaganda.
Kabar ini sampai ke Indonesia.
Di tanah air, kelompok radikal yang sempat terpecah-belah oleh operasi polisi seolah menemukan kepala baru, yakni ISIS. Mereka terpikat akan "keberhasilan" kelompok teror itu berperang membawa nama agama.
Banyak anggota kelompok radikal di Indonesia yang merupakan mantan kombatan di Timur Tengah. Maka tak sulit bagi mereka untuk mendapatkan hubungan ke ISIS.

Abu Bakr al-Baghdadi (REUTERS/Social Media Website via Reuters TV)
Paham ekstrem ini mulai berkembang di Indonesia dan merasuk ke tubuh JAT. Mereka pun mendirikan sel-sel baru pendukung ISIS, di antaranya adalah Jamaah Ansharu Daulah yang dipimpin Aman Abdurahman dan Jamaah Ansharu Syariah yang dipimpin Abu Bakar Baasyir.
Meski keduanya sudah mendekam di balik jeruji besi, mereka masih bisa memberi pengaruh cukup kuat bagi para pengikutnya. Salah satunya adalah pengaruh bagi Bahrun Naim, warga Indonesia otak pelaku teror Thamrin 2016 yang bergabung dengan ISIS di Raqqa, Suriah.
Selain itu, dibentuk pula Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Dia memanfaatkan latar belakang konflik keagamaan di negara tersebut untuk menyebarkan pahamnya.
Santoso yang telah tewas ditembus peluru petugas pun sempat mendeklarasikan dukungannya untuk ISIS. Diduga, mereka juga mendapatkan bantuan dari kelompok Timur Tengah itu untuk mendirikan kekhalifahan di Asia Tenggara.
Belum lagi, JAD dan JAT masih terkait dengan Jamaah Anshoru Khilafah Daulah Nusantara yang dibentuk pada 2015.
Cita-cita ini, jika dirunut, sama dengan kelompok-kelompok pendahulunya, bahkan hingga NII sendiri.
ISIS bukan satu-satunya masalah yang ada di Indonesia. Dari NII, juga dibentuk sel baru yang dinamakan Mujahidin Indonesia Jakarta, sebelum menjadi Mujahidin Indonesia Barat. Kelompok ini juga turut bercita-cita menjadi bagian dari gerakan mujahidin global.
Di sisi lain, ada pula pecahan Jamaah Islamiyah yang diam-diam terus bergerak hingga hari ini. Setelah para pimpinannya ditangkap, generasi penerus kelompok ini terus bergerak dan membentuk kelompok yang disebut polisi dengan Neo Jamaah Islamiyah.
Kelompok ini santer terdengar setelah kasus tewasnya Siyono, salah satu pentolannya yang dicokok oleh aparat, 2016 lalu.
Polisi meyakini jaringan ini lebih berbahaya daripada ISIS. Alasannya, Neo JI bergerak perlahan dan melakukan persiapan matang sebelum bergerak.
Hingga kini pun belum ada rencana serangan yang terungkap. Namun, kelompok ini diduga memiliki bunker dan pabrik senjata rakitan sendiri.
Selain itu, Neo JI juga mempunyai struktur organisasi yang lebih rapi. Hal ini jauh berbeda dengan ISIS yang bergerak secara sporadis dan independen tanpa garis komando yang tegas. (yul)
sumber
Ormas ber-predikat radikal, kalau salah menangani, selangkah lagi mereka akan terjerumus masuk ke ranah terorisme.
Atau, paling tidak bibit-bibit ke arah itu sudah ada di dalamnya, walaupun sekarang ini belum berani tampil secara terang-terangan.
Selasa, 17/01/2017 12:37 WIB

Bom Bali 2002
Jakarta, CNN Indonesia -- Jaringan radikal di Indonesia berakar dari masa kemerdekaan, 1945 silam. Gerakan radikal ini berlatar belakang politik agama yang dikomandoi oleh Kartosuwiryo dengan membentuk organisasi Negara Islam Indonesia/Tentara Islam Indonesia (NII/TII).
Sejak pembahasan pembentukan negara, Kartosuwiryo menghendaki Indonesia menerapkan syariat Islam di seluruh penjuru tanah air, dengan alasan agama ini dipeluk mayoritas penduduknya.
Usulan ini ditolak karena tak bisa mengakomodir keanekaragaman yang ada dari Sabang sampai Merauke, terutama Indonesia bagian timur yang sebagian besar beragama kristen.
Pendiri negara menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dengan sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Kartosuwiryo yang menolak keputusan ini memproklamirkan NII/TII di beberapa wilayah Indonesia.
Dia ditangkap dan dieksekusi pada 1962 silam. Namun, sebelum itu, dia sempat membagi NII menjadi sembilan komandemen wilayah (KW). Gerakan ini terus bergerak secara terselubung dan klandestin.
Di Jawa Tengah, melalui NII KW II, Abu Bakar Baasyir dan Abdulah Sungkar menentang pemerintah dan menolak Pancasila. Abdulah diangkat dan diancam hukuman sembilan tahun penjara, namun dia mengajukan banding sehingga menjadi tahanan kota.
Kesempatan ini dia gunakan untuk melarikan diri ke Malaysia dan mendirikan Jamaah Islamiyah. Abu Bakar Baasyir merekrut orang-orang di Jawa untuk dikirimkan bergabung dengan kelompok yang terbagi ke dalam beberapa wilayah kerja atau Mantiqi ini.
JI, yang baru mulai beroperasi pada 1993, disebut sebagai bagian dari Al Qaidah, kelompok teror yang berasal dari Timur Tengah. Kelompok ini pula yang diyakini mengotaki serangan Bom Bali 2002, menewaskan 202 orang.
Setelah bom Bali, JI melakukan berbagai serangan teror lainnya, namun dengan skala lebih kecil.

JI kemudian berkembang menjadi Jamaah Ansharut Tauhid mulai September 2008. Di saat yang sama, polisi gencar menangkapi tokoh-tokoh penting di balik serangan bom Bali dan serangkaian aksi teror di masa itu.
Kelompok JI pun mulai absen dari aksi teror-meneror. Bagaimana tidak, mereka menjadi seperti kaki tangan yang kehilangan kepala karena tokoh pentingnya berhasil "dinetralisir" oleh aparat. Sebagian ditangkap sementara yang lainnya tewas dalam penggerebekan.
Sementara itu, di Timur Tengah, Al Qaeda goncang setelah kematian pimpinannya
Osama bin Laden pada 2011. Pengganti Osama, Ayman Al Zawahiri tak sekharimatis Osama, dan perpecahan pun terjadi di organisasi itu.
Beberapa anggota membelot dan membentuk kelompok sendiri, di antaranya di bawah pimpinan Abu Bakr al-Baghdhadi.
Baghdadi bergerak memanfaatkan perpecahan yang terjadi di Timur Tengah, terutama pemberontakan di Suriah dan invasi Irak oleh Amerika Serikat.
Organisasi ini lebih garang dan bahkan tak sungkan melawan kelompok militan lain di Irak dan Suriah. Mereka pun berhasil merebut banyak wilayah dan rajin menunjukkan kebolehannya melalui video propaganda.
Kabar ini sampai ke Indonesia.
Di tanah air, kelompok radikal yang sempat terpecah-belah oleh operasi polisi seolah menemukan kepala baru, yakni ISIS. Mereka terpikat akan "keberhasilan" kelompok teror itu berperang membawa nama agama.
Banyak anggota kelompok radikal di Indonesia yang merupakan mantan kombatan di Timur Tengah. Maka tak sulit bagi mereka untuk mendapatkan hubungan ke ISIS.

Abu Bakr al-Baghdadi (REUTERS/Social Media Website via Reuters TV)
Paham ekstrem ini mulai berkembang di Indonesia dan merasuk ke tubuh JAT. Mereka pun mendirikan sel-sel baru pendukung ISIS, di antaranya adalah Jamaah Ansharu Daulah yang dipimpin Aman Abdurahman dan Jamaah Ansharu Syariah yang dipimpin Abu Bakar Baasyir.
Meski keduanya sudah mendekam di balik jeruji besi, mereka masih bisa memberi pengaruh cukup kuat bagi para pengikutnya. Salah satunya adalah pengaruh bagi Bahrun Naim, warga Indonesia otak pelaku teror Thamrin 2016 yang bergabung dengan ISIS di Raqqa, Suriah.
Selain itu, dibentuk pula Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Dia memanfaatkan latar belakang konflik keagamaan di negara tersebut untuk menyebarkan pahamnya.
Santoso yang telah tewas ditembus peluru petugas pun sempat mendeklarasikan dukungannya untuk ISIS. Diduga, mereka juga mendapatkan bantuan dari kelompok Timur Tengah itu untuk mendirikan kekhalifahan di Asia Tenggara.
Belum lagi, JAD dan JAT masih terkait dengan Jamaah Anshoru Khilafah Daulah Nusantara yang dibentuk pada 2015.
Cita-cita ini, jika dirunut, sama dengan kelompok-kelompok pendahulunya, bahkan hingga NII sendiri.
ISIS bukan satu-satunya masalah yang ada di Indonesia. Dari NII, juga dibentuk sel baru yang dinamakan Mujahidin Indonesia Jakarta, sebelum menjadi Mujahidin Indonesia Barat. Kelompok ini juga turut bercita-cita menjadi bagian dari gerakan mujahidin global.
Di sisi lain, ada pula pecahan Jamaah Islamiyah yang diam-diam terus bergerak hingga hari ini. Setelah para pimpinannya ditangkap, generasi penerus kelompok ini terus bergerak dan membentuk kelompok yang disebut polisi dengan Neo Jamaah Islamiyah.
Kelompok ini santer terdengar setelah kasus tewasnya Siyono, salah satu pentolannya yang dicokok oleh aparat, 2016 lalu.
Polisi meyakini jaringan ini lebih berbahaya daripada ISIS. Alasannya, Neo JI bergerak perlahan dan melakukan persiapan matang sebelum bergerak.
Hingga kini pun belum ada rencana serangan yang terungkap. Namun, kelompok ini diduga memiliki bunker dan pabrik senjata rakitan sendiri.
Selain itu, Neo JI juga mempunyai struktur organisasi yang lebih rapi. Hal ini jauh berbeda dengan ISIS yang bergerak secara sporadis dan independen tanpa garis komando yang tegas. (yul)
sumber
Ormas ber-predikat radikal, kalau salah menangani, selangkah lagi mereka akan terjerumus masuk ke ranah terorisme.
Atau, paling tidak bibit-bibit ke arah itu sudah ada di dalamnya, walaupun sekarang ini belum berani tampil secara terang-terangan.
0
2.3K
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan