- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pilkada Jakarta dan Ancaman Dinasti Politik


TS
kajongg
Pilkada Jakarta dan Ancaman Dinasti Politik

Jakarta, CNN Indonesia -- Masa kampanye pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017 diwarnai sindiran dari tim pemenangan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno terhadap Agus Harimurti Yudhoyono.
Pencalonan Agus Yudhoyono dicap lekat dengan politik dinasti dan dinilai belum siap memimpin Jakarta. Majunya Agus —yang merupakan putra pertama Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono— dianggap tak lebih karena didorong keluarga sehingga jadinya membangun dinasti politik.
Dinasti politik selain dianggap berpotensi korupsi, juga bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia. Agus sendiri dengan tegas menolak dikaitkan dengan dinasti politik. Bagi Agus orang yang mengkaitkan dirinya dengan politik dinasti sebagai bentuk iri dan tidak mengerti tentang dinasti politik.
Dinasti politik, menurut Agus adalah dinasti yang dibentuk dalam sistem monarki. Dinasti politik tak bisa diterapkan di Indonesia yang merupakan negara demokrasi.
Lantas bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan dinasti politik yang bagi sebagian orang distempel buruk itu? Berbicara soal dinasti politik, pengamat politik yang juga Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjdjaran Muradi mengatakan bahwa dalam demokrasi tidak dikenal dinasti politik.
“Yang ada adalah meneruskan atau memperpanjang akses politik dan kekuasaan dengan basis keluarga yang sama secara terus menerus,” ujar Muradi kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/1).
Istilah dinasti politik ini kemudian menjadi bagian dari langkah politik untuk memperkuat akses politik secara turun temurun. Pada konteks ini, dinasti politik tampak baik namun secara faktual praktik dinasti politik cenderung menegasikan demokrasi.
Dengan begitu, meskipun mampu menjalankan tugas dengan baik namun jika ada cara dan langkah yang lain untuk memilih pemimpin baru maka baik juga dilakukan untuk menghindari praktik menyimpang sebagai akibat dari lamanya di kekuasaan. “Jadi bisa dikatakan kalaupun publik diberikan pilihan maka pilihan publik harusnya memunculkan figur baru.”
Dalam ulasannya Muradi juga menekankan bahwa dinasti politik jika tidak dikelola secara sistemik akan menghancurkan demokrasi. Artinya, dinasti politik tetap memiliki sisi lemah yang mengancam demokrasi. Betapapun hal tersebut dianggap biasa dan normal dalam sistem politik yang ada.
“Jika mengacu pada figur Agus Harimurti Yudhoyono, maka saya juga cenderung langkah yang diambil tidak mencerminkan sistem politik yang baik,” kata Muradi. “Betapapun AHY dianggap baik namun tetap orang akan melihat figur SBY yang berkesan mengendalikan langkah AHY yang dalam politik masih terlalu baru,” lanjut Muradi.
Hal yang terjadi dalam dinasti politik, menurut Muradi adalah longgarnya kontrol dan pengawasan publik serta parlemen sehingga peluang terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme bisa terjadi secara masif dan terstruktur.
Secara faktual, potensi dinasti politik menyimpang mengindikasikan bahwa praktik KKN tersebut lebih terbuka dan besar peluang terjadinya. Sejauh ini langkah tersebut kerap dilakukan oleh para pengusung atau pendukung dan juga mempraktikan dinasti politik. “Terakhir kali terjadi di Cimahi dan Klaten,” ucap Muradi mencontohkan.
Pada konteks ini dinasti politik juga menciptakan birokrasi yang tidak kreatif dan responsif atas dinamika yang terjadi di masyarakat sehingga efek dari itu adalah suara publik pada akhirnya terbungkam.
Politik Kepatutan
Pengamat politik yang juga mantan Ketua Program Studi Ilmu Politik Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia Chusnul Mar'iyah berpandangan dinasti politik menyangkut persoalan politik kepatutan dan etika politik. Sejak dibukanya sistem pemilu dengan pupolar vote dianggap bahwa siapa pun boleh menguasai atas nama demokrasi dan rakyat memilihnya.
“Apa itu kepatutan? Dalam keluarganya bisa masuk menjadi calon, pantaskah, mampukah? Atau sekadar anak ketua partai? Kepatutan bisa juga dilihat dari berapa dalam keluarga yang pantas?” kata Chusnul dalam perbincangannya dengan CNNIndonesia.com.
Kasus kepala daerah di Klaten, ujar mantan anggota Komisi Pemilihan Umum ini, sejak era Reformasi hanya dua keluarga yang berkuasa. “Di Kediri lebih aneh lagi, setelah suami dua kali menjabat digantikan istri pertama yang melawan istri ketiga di pilkada. Demikian pula di Gowa, satu keluarga dibagi ke beberapa partai dan saling berkompetisi bak demokratis,” tutur Chusnul.
“Jadi apa masalahnya? internal partai politik. Belum terbangun demokratisasi di dalam parpol. Parpol belum memiliki sistem rekrutmen yang kuat dan tegas,” lanjut Chusnul.
Pemilu, kata dia, masih didasarkan kekuatan uang karena dengan sengaja rakyat disuap politik uang. “Yang sudah berkuasa menggunakan kekuasaannya seperti sistem kerajaan sehingga tidak mau turun tahta. Harus ada pangeran yang meneruskannya. Ini terjadi di semua partai, di banyak wilayah.”
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana berpendapat bila membicarakan dinasti politik soal apakah boleh atau tidak, kembali kepada regulasi yang tidak melarang.
“Cuma apakah pantas atau tidak, itu yang kita perdebatkan. Repotnya soal dinasti politik, ya seperti kasus-kasus yang diusut KPK. Kasus korupsi kepala daerah di Banten, Cimahi, Klaten, dan sebagainya itu kan jelas,” ucap Aditya dalam pesannya kepada CNNIndonesia.com.
Dalam pandangan Aditya, dinasti politik memang berujung pada mempertahankan keinginan dari keluarga, bagaimanapun caranya. Kemudian baru terbaca indikasi memanfaatkan kolusi dan sebagainya itu nanti setelah berkuasa siapa saja yang direkrut dan sebagainya dan sebagainya. Apalagi kalau sukses lebih dari satu periode jabatan.
Jadi, catatan buruknya juga ada dalam politik dinasti, selain potensi merugikan negara juga ada. Sekarang yang menjadi pekerjaan rumah adalah mengedukasi masyarakat. “Kalau memilih kandidat kepala daerah yang ditanya adalah programnya, bukan anaknya siapa.”
Dalam konteks pilkada Jakarta, menurut Aditya sebenarnya agak rumit karena penentuan kandidat sepenuhnya di elite partai. “Nasional, bukan lokal. Artinya, sosok Agus Yudhoyono muncul karena elite partai beranggapan di antara mereka tidak ada lawan seimbang untuk menandingi Ahok,” tuturnya.
Menyambung pendapat Aditya, pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar menekankan AHY perlu membuktikan diri soal kemampuannya yaitu tidak di bawah bayang-bayang SBY, walaupun ini mungkin bakal sulit dihindari.
Sebab, ada kesan yang begitu tampak di masyarakat yakni seolah yang berkuasa dan menjalankan kekuasaan bukan AHY tapi SBY.
Dalam aturan hukum di Indonesia memang tidak mengatur soal ini, kecuali untuk posisi jabatan yang sama dijabat dalam satu keluarga. Pengakuan undang-undang hanya tertuju pada hak setiap warga negara untuk terlibat dalam politik, memilih dan dipilih.
Namun kekhawatiran terbesar tentu terkait seperti yang disampaikan Indonesia Corruption Watch bahwa dinasti politik hanya memunculkan penguatan penyimpangan kekuasaan, melanggengkan praktik korupsi dan nepotisme. “Itu adalah keburukan terbesar dari adanya dinasti politik.”
http://www.cnnindonesia.com/kursipan...nasti-politik/
Begitulah kira - kira

Diubah oleh kajongg 10-01-2017 11:52


tien212700 memberi reputasi
1
1.5K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan