BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Rekam jejak JP Morgan di Indonesia

Ilustrasi beberapa orang duduk di lobi kantor JP Morgan Chase di New York, Amerika Serikat
Kementerian Keuangan memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan kemitraan dengan JP Morgan Chase Bank sejak awal tahun 2017. Alhasil, JP Morgan tidak boleh lagi menerima setoran penerimaan negara Indonesia dalam program amnesti pajak.

Pemutusan hubungan ini bermula dari hasil riset yang dirilis JP Morgan Chase pada 13 November 2016. JP Morgan memang membuat riset mengenai kondisi pasar keuangan di Indonesia usai terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), dan agaknya pemerintah Indonesia tidak senang dengan hasil riset ini.

Padahal, pemerintah telah memberikan kepercayaan kepada JP Morgan untuk menjadi salah satu bank persepsi untuk program amnesti pajak sejak Juli 2016 hingga Maret 2017.

Bank persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan bukan pajak.

JP Morgan sebenarnya bukan pemain baru di Indonesia. JP Morgan telah ada sejak tahun 1968 dengan membuka kantor cabangnya di Jakarta, yang kemudian menyusul 10 tahun kemudian mendirikan kantor perwakilannya yang kini berlokasi di Gedung Energi, Sudirman, Jakarta.

Februari 2012, JP Morgan secara resmi mengumumkan penunjukan Haryanto T. Budiman sebagai Managing Director dan Senior Country Officer (SCO) untuk Indonesia. Selain jabatannya sebagai SCO, Haryanto juga memimpin bisnis Global Corporate Banking (GCB) di Indonesia.

Sebelum bergabung dengan JP Morgan, Haryanto menjabat sebagai Senior Executive Vice President (SEVP) dan anggota Board of Management PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), bank terbesar di Indonesia.

Perusahaan asal Amerika Serikat itu sendiri telah berdiri hampir 200 tahun lamanya. JP Morgan Chase & Co (NYSE: JPM) adalah perusahaan penyedia jasa keuangan global terkemuka dengan aset mencapai USD2 triliun dan beroperasi di lebih dari 60 negara.

Perusahaan ini memimpin pangsa pasar dalam bidang investasi perbankan, layanan keuangan personal, usaha kecil dan perbankan komersial, pemrosesan transaksi keuangan, pengelolaan aset, dan private equity.

Aktivitas penggadaian di divisi perbankan swasta dan pengelolaan kekayaan pribadi dilakukan di bawah perlindungan JP Morgan Chase Bank. Merek Chase digunakan untuk jasa kartu kredit di AS dan Kanada, sementara bank eceran dan komersialnya berkantor pusat di Chicago.

Di AS, perusahaan ini menjadi pasar deposito terbesar ketiga setelah Wells Fargo dan Bank of America. Unit pengelola investasi global JP Morgan Chase adalah yang terbesar di AS dengan aset senilai USD53,5 miliar pada akhir 2009.

Sementara untuk banknya, JP Morgan Chase adalah bank terbesar keempat di AS setelah Bank of America Citigroup, dan Wells Fargo.

Sebagai komponen Dow Jones Industrial Average, JP Morgan Chase & Co melayani jutaan konsumen di AS dan berbagai perusahaan terkemuka di dunia. JP Morgan mulai membangun bisnisnya Asia Pasifik pada tahun 1872 tepatnya di Hong Kong dan kini telah beroperasi di 17 negara dengan 30 kantor.

Sekadar catatan, JP Morgan menyebutkan imbal hasil surat utang tenor 10 tahun naik dari 1,85 persen menjadi 2,15 persen pasca-terpilihnya Trump. Kenaikan tingkat imbal hasil dan gejolak pasar obligasi ini mendongkrak risiko premium di pasar negara-negara yang pasarnya berkembang (emerging market).

Hal ini memicu kenaikan Credit Default Swaps (CDS) Indonesia, sehingga berpotensi mendorong arus dana keluar dari Indonesia.

Berdasarkan kepada riset tersebut, JP Morgan merekomendasikan pengaturan ulang alokasi portofolio para investor. Tak hanya itu, JP Morgan kemudian memangkas dua level rekomendasi Indonesia dari "overweight" menjadi "underweight".

Memang, pasca-kemenangan Trump pada 9 November 2016, pasar modal dan obligasi Indonesia sempat bergejolak. Puncaknya terjadi pada 11 November 2016. Saat itu, nilai tukar rupiah sempat menembus USD13.800. Sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 4,01 persen.

Bank Indonesia (BI) mencatat, dana asing yang keluar dari Indonesia mencapai Rp16 triliun dalam tempo sepekan perdagangan, yaitu 9 sampai 14 November 2016.

Namun, pemerintah menegaskan gejolak itu hanya akan bersifat sementara. Apalagi, pemerintah meyakini bahwa kerjasama Indonesia-AS tidak akan surut meski Trump menjadi presiden. Pasalnya, Indonesia adalah mitra dagang strategis, tak hanya dalam konteks bilateral, melainkan kerjasama regional.

Bukan sekali saja JP Morgan membuat pemerintah menjadi geram. Tahun 2015, JP Morgan juga pernah membangkitkan amarah pemerintah.

Dalam risetnya pada 20 Agustus 2015, JP Morgan merekomendasikan agar investor mengurangi kepemilikan di surat utang Indonesia. Sebab, menilai risiko aset portofolio Indonesia semakin meningkat karena tiga faktor.

Pertama, kebijakan Tiongkok mendevaluasi mata uangnya yang membuat risiko obligasi negara-negara pasar berkembang Asia meningkat. Kedua, besarnya aliran dana keluar membuat prospek obligasi global negara-negara pasar berkembang menurun, termasuk Indonesia. Ketiga, adanya kekhawatiran bahwa utang pemerintah pada tahun 2016 akan meningkat sebesar 10 persen.

Kala itu, Gubernur BI Agus Martowardojo meminta agar riset tersebut dilakukan dengan hati-hati dalam mengambil rancangan analisisnya. Menteri Keuangan pada saat itu, Bambang Brodjonegoro mengaku telah memberikan sanksi kepada JP Morgan atas hasil risetnya yang dinilai merugikan Indonesia.





Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...n-di-indonesia

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Bali Berselawat di antara intoleransi dan pluralisme

- Penulis buku Jokowi Undercover dan kelakar adik Pramoedya

- Target amnesti pajak dikebut di periode ketiga

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
7.5K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan