- Beranda
- Komunitas
- Sports
- Liga Italia
Kuda Zebra yang Belum Berlari Kencang


TS
Kaskus Sport
Kuda Zebra yang Belum Berlari Kencang
Ketika hilang, sesuatu justru bisa jauh lebih berkesan. Mungkin hal ini yang baru saja dirasakan Juventus, pasca kehilangan momen untuk angkat trofi Supercoppa Italia karena ditekuk AC Milan lewat babak adu penalti. Pada laga yang berakhir dengan skor 1-1 di waktu normal itu, Juventus seperti tampil tanpa grinta yang menjadi ciri khas mereka di partai agung. Untuk kali kedua, mereka harus takluk di Doha dengan cara yang sama. Untuk kali kedua—di 2016—pula, mereka harus takluk dari AC Milan, tim yang sedang mengalami revolusi secara masif di bawah asuhan Vincenzo Montella. Bianconeri harus menutup tahun dengan mencoret kans menambah penghuni untuk kabinet trofi tim.
Trofi Supercoppa memang terasa lebih berkesan untuk Milan, karena mereka sudah puasa gelar selama 5 musim dan kembalinya trofi ke San Siro akan menambah kepercayaan diri tim yang tengah naik daun. Bagi Juventus, trofi ini mungkin hanya akan menjadi status pelengkap dominasi mereka di Italia, karena sebelumnya sudah berhasil mengawinkan gelar Scudetto dan Coppa Italia di musim 2015/2016. Apalagi dengan kondisi tim yang sedang mencanangkan kejayaan di Eropa sejak beberapa musim terakhir, maka kekalahan dari Milan di partai puncak ini tidak bisa sepenuhnya disebut kegagalan fatal; terlebih jika mengingat posisi Juventus yang sama-sama berada di peringkat pertama Serie-A dan fase grup Champions League.

Namun bagaimanapun juga, kekalahan adalah hal yang tidak pernah diinginkan oleh klub manapun di seluruh dunia—tak peduli sebagus apapun narasi yang menyertainya. Pun dalam kasus Supercoppa 2016 lalu, Juventus mungkin tidak akan terpuruk karena kegagalan ini, tapi mustahil menyembunyikan kekecewaan seluruh elemen tim karena gagal melengkapi syarat dominasi mutlak mereka sebagai penguasa Italia. Mulai dari komentar Marchisio yang terang-terangan mengaku kecewa karena harus kembali takluk lewat babak adu penalti, sampai cekcok yang terekam kamera antara Allegri dengan Paratici dan Marotta usai laga di Doha. Tak pernah ada yang mau kehilangan kulit ayam goreng yang sengaja disisihkan sebagai penutup hidangan, meskipun Anda sudah menyantap beberapa potong daging sebelumnya. Ini tidak akan membuat Anda menjadi kelaparan, tapi muskil dibantah untuk tidak membuat Anda merasa geram bukan kepalang.
Juventus punya segudang alasan untuk menampik segala tudingan ‘gagal’ jika merujuk pencapaian mereka sejauh ini. Dua alasan utama yang menjadi target tim sebelum tutup tahun sudah berhasil mereka capai: menjadi pemuncak klasemen Serie-A dan lolos ke babak 16 besar UCL dengan status sebagai jawara grup. Mereka juga memiliki defisit gol terbanyak di Italia (+22), rekor sempurna tak terkalahkan di kandang selama 25 laga beruntun, kolektor 100 poin di Serie-A di sepanjang 2016, dan rotasi skuat yang terbukti tokcer ketika menghadapi badai cedera dalam 2 bulan terakhir. Namun pantas diingat, bahwa target tim sejak awal musim adalah menyapu bersih semua trofi domestik dan membawa pulang gelar Eropa yang sudah tidak menyambangi Turin selama dua dekade. Jangan lupakan pula bahwa komposisi skuat yang mendapat suntikan nama beken seperti Gonzalo Higuain, Miralem Pjanic, Dani Alves, dan Mehdi Benatia adalah alasan kenapa ekspektasi melimpah akan selalu menyertai langkah Massimiliano Allegri musim ini.

Jika menilik statistik di atas, pencapaian Juventus di Serie-A sampai pekan ke-17 musim ini adalah salah satu yang terbaik dalam 5 musim terakhir. Dari catatan angka, raihan 42 poin milik Juventus musim ini hanya kalah dibandingkan capaian Juventus 13/14 yang sanggup mengoleksi 46 poin, sekaligus mencatatkan rekor poin terbanyak di Serie-A lewat raihan 102 poin di akhir musim. Namun yang menarik, selisih gol mereka sampai pekan ke-17 musim ini adalah catatan terburuk kedua dalam lima musim terakhir. 36 kali menceploskan gol, 14 kali kebobol dan mencetak 6 kali clean sheet dari 17 laga memang bukan catatan yang mengecewakan, tapi menyisakan tanda tanya terkait kesolidan lini belakang mereka yang terkenal tangguh sejak era kebangkitan pada 2011/2012 lalu. Musim ini, Juventus kesulitan untuk menampilkan trio B-B-C secara komplet pada skema 3-5-2 karena badai cedera yang datang secara silih berganti, sehingga harus merotasi posisi ketiga pemain tersebut dengan Daniele Rugani atau Mehdi Benatia. Di beberapa kesempatan, Allegri bahkan lebih memilih menurunkan Evra/Lichtsteiner sebagai centre back, atau memainkan skema 4 bek sejak menit pertama. Situasi ini yang dipercaya membuat Juventus tidak lagi setangguh musim terdahulu, meskipun catatan kebobolan mereka masih salah satu yang terbaik dibandingkan penguasa liga top Eropa lainnya.
Di sisi lain, lini serang Juventus justru menghadirkan ancaman yang lebih mengkhawatirkan lawan musim ini. Betul mereka kehilangan sosok Paul Pogba yang menjadi kreator serangan dan ‘perusak’ tatanan lini belakang lawan seperti musim lalu, tapi kini mereka memiliki mesin gol bernama Gonzalo Higuain dan penyedia umpan matang dalam diri Miralem Pjanic. Higuain sudah mengemas 13 gol dari total 21 laga di semua kompetisi, sementara Pjanic mengoleksi 6 gol dan 6 assists sejak kali pertama datang ke Turin. Paulo Dybala memang kesulitan untuk menampilkan taji seperti musim lalu karena hampir 2 bulan dibekap cedera, tapi situasi ini justru membawa berkah untuk Mario Mandzukic yang sempat diragukan bisa klop dengan Higuain. Dikenal sebagai striker klasik yang minim teknik, Mandzukic justru menyuguhkan performa mengesankan dalam bentuk lain: kemampuan bertahan, duel udara, sekaligus etos kerja tanpa henti selama 90 menit. Pasca pergantian tahun, Allegri punya alasan untuk tersenyum lebar karena komposisi lini depan timnya akan kembali komplet dan ia bisa merotasi taktik sesuai kebutuhan.
Dengan selisih 4 angka dan 1 laga tunda dibanding tim lain, Juventus diprediksi akan menjalani 2017 tanpa rintangan berarti di Serie-A. Tanpa mengecilkan performa tim rival, Juventus memang masih terlampau perkasa jika dibandingkan kontestan lain. Roma, Napoli, dan AC Milan mungkin berpotensi untuk terus mengintai Si Nyonya Tua, tapi untuk urusan konsistensi performa dan kedalaman skuat yang mumpuni, Buffon dan kawan-kawan nyatanya urung tertandingi. Kembalinya pilar penting seperti Leonardo Bonucci, Paulo Dybala, dan Dani Alves pasca pergantian tahun juga akan menjadi pembeda paling kentara untuk Juventus. Pembelian di bursa transfer musim dingin mungkin tidak akan terlalu memengaruhi tim, tapi kedatangan target utama seperti Axel Witsel bisa menambah dimensi lain pada lini tengah Juventus.
Satu yang mungkin berpotensi menjegal Juventus, adalah padatnya jadwal di Champions League dan Coppa Italia yang akan kembali bergulir pada pertengahan Januari-Februari. Juventus punya catatan tak bagus saat jadwal padat menghantui mereka, terlebih jika berdekatan dengan bentrok melawan tim yang sama kuat pada lintas kompetisi. Tiga kekalahan Juventus di Serie-A musim ini (Inter, Milan, Genoa) terjadi setelah mereka memainkan laga tengah pekan di Champions League, dan berpotensi kembali terulang jika mereka masih sama-sama memiliki kans juara di tiga kompetisi sekaligus pada 2017 nanti. Namun jika berhasil mengatasi pekan-pekan padat tersebut tanpa disertai penggawa penting yang cedera, sepertinya Juventus tidak perlu usaha ekstra untuk angkat trofi scudetto kali keenam secara beruntun. Bila disertai konsistensi dan sedikit sentuhan keberuntungan, bisa jadi mereka juga akan menyabet titel Coppa Italia yang ke-12, atau bahkan ‘Si Kuping Besar’ yang menjadi mimpi terbesar mereka sejak kali terakhir angkat trofi Champions League pada 1996.
Trofi Supercoppa memang terasa lebih berkesan untuk Milan, karena mereka sudah puasa gelar selama 5 musim dan kembalinya trofi ke San Siro akan menambah kepercayaan diri tim yang tengah naik daun. Bagi Juventus, trofi ini mungkin hanya akan menjadi status pelengkap dominasi mereka di Italia, karena sebelumnya sudah berhasil mengawinkan gelar Scudetto dan Coppa Italia di musim 2015/2016. Apalagi dengan kondisi tim yang sedang mencanangkan kejayaan di Eropa sejak beberapa musim terakhir, maka kekalahan dari Milan di partai puncak ini tidak bisa sepenuhnya disebut kegagalan fatal; terlebih jika mengingat posisi Juventus yang sama-sama berada di peringkat pertama Serie-A dan fase grup Champions League.

Namun bagaimanapun juga, kekalahan adalah hal yang tidak pernah diinginkan oleh klub manapun di seluruh dunia—tak peduli sebagus apapun narasi yang menyertainya. Pun dalam kasus Supercoppa 2016 lalu, Juventus mungkin tidak akan terpuruk karena kegagalan ini, tapi mustahil menyembunyikan kekecewaan seluruh elemen tim karena gagal melengkapi syarat dominasi mutlak mereka sebagai penguasa Italia. Mulai dari komentar Marchisio yang terang-terangan mengaku kecewa karena harus kembali takluk lewat babak adu penalti, sampai cekcok yang terekam kamera antara Allegri dengan Paratici dan Marotta usai laga di Doha. Tak pernah ada yang mau kehilangan kulit ayam goreng yang sengaja disisihkan sebagai penutup hidangan, meskipun Anda sudah menyantap beberapa potong daging sebelumnya. Ini tidak akan membuat Anda menjadi kelaparan, tapi muskil dibantah untuk tidak membuat Anda merasa geram bukan kepalang.
Juventus punya segudang alasan untuk menampik segala tudingan ‘gagal’ jika merujuk pencapaian mereka sejauh ini. Dua alasan utama yang menjadi target tim sebelum tutup tahun sudah berhasil mereka capai: menjadi pemuncak klasemen Serie-A dan lolos ke babak 16 besar UCL dengan status sebagai jawara grup. Mereka juga memiliki defisit gol terbanyak di Italia (+22), rekor sempurna tak terkalahkan di kandang selama 25 laga beruntun, kolektor 100 poin di Serie-A di sepanjang 2016, dan rotasi skuat yang terbukti tokcer ketika menghadapi badai cedera dalam 2 bulan terakhir. Namun pantas diingat, bahwa target tim sejak awal musim adalah menyapu bersih semua trofi domestik dan membawa pulang gelar Eropa yang sudah tidak menyambangi Turin selama dua dekade. Jangan lupakan pula bahwa komposisi skuat yang mendapat suntikan nama beken seperti Gonzalo Higuain, Miralem Pjanic, Dani Alves, dan Mehdi Benatia adalah alasan kenapa ekspektasi melimpah akan selalu menyertai langkah Massimiliano Allegri musim ini.

Jika menilik statistik di atas, pencapaian Juventus di Serie-A sampai pekan ke-17 musim ini adalah salah satu yang terbaik dalam 5 musim terakhir. Dari catatan angka, raihan 42 poin milik Juventus musim ini hanya kalah dibandingkan capaian Juventus 13/14 yang sanggup mengoleksi 46 poin, sekaligus mencatatkan rekor poin terbanyak di Serie-A lewat raihan 102 poin di akhir musim. Namun yang menarik, selisih gol mereka sampai pekan ke-17 musim ini adalah catatan terburuk kedua dalam lima musim terakhir. 36 kali menceploskan gol, 14 kali kebobol dan mencetak 6 kali clean sheet dari 17 laga memang bukan catatan yang mengecewakan, tapi menyisakan tanda tanya terkait kesolidan lini belakang mereka yang terkenal tangguh sejak era kebangkitan pada 2011/2012 lalu. Musim ini, Juventus kesulitan untuk menampilkan trio B-B-C secara komplet pada skema 3-5-2 karena badai cedera yang datang secara silih berganti, sehingga harus merotasi posisi ketiga pemain tersebut dengan Daniele Rugani atau Mehdi Benatia. Di beberapa kesempatan, Allegri bahkan lebih memilih menurunkan Evra/Lichtsteiner sebagai centre back, atau memainkan skema 4 bek sejak menit pertama. Situasi ini yang dipercaya membuat Juventus tidak lagi setangguh musim terdahulu, meskipun catatan kebobolan mereka masih salah satu yang terbaik dibandingkan penguasa liga top Eropa lainnya.
Di sisi lain, lini serang Juventus justru menghadirkan ancaman yang lebih mengkhawatirkan lawan musim ini. Betul mereka kehilangan sosok Paul Pogba yang menjadi kreator serangan dan ‘perusak’ tatanan lini belakang lawan seperti musim lalu, tapi kini mereka memiliki mesin gol bernama Gonzalo Higuain dan penyedia umpan matang dalam diri Miralem Pjanic. Higuain sudah mengemas 13 gol dari total 21 laga di semua kompetisi, sementara Pjanic mengoleksi 6 gol dan 6 assists sejak kali pertama datang ke Turin. Paulo Dybala memang kesulitan untuk menampilkan taji seperti musim lalu karena hampir 2 bulan dibekap cedera, tapi situasi ini justru membawa berkah untuk Mario Mandzukic yang sempat diragukan bisa klop dengan Higuain. Dikenal sebagai striker klasik yang minim teknik, Mandzukic justru menyuguhkan performa mengesankan dalam bentuk lain: kemampuan bertahan, duel udara, sekaligus etos kerja tanpa henti selama 90 menit. Pasca pergantian tahun, Allegri punya alasan untuk tersenyum lebar karena komposisi lini depan timnya akan kembali komplet dan ia bisa merotasi taktik sesuai kebutuhan.
Dengan selisih 4 angka dan 1 laga tunda dibanding tim lain, Juventus diprediksi akan menjalani 2017 tanpa rintangan berarti di Serie-A. Tanpa mengecilkan performa tim rival, Juventus memang masih terlampau perkasa jika dibandingkan kontestan lain. Roma, Napoli, dan AC Milan mungkin berpotensi untuk terus mengintai Si Nyonya Tua, tapi untuk urusan konsistensi performa dan kedalaman skuat yang mumpuni, Buffon dan kawan-kawan nyatanya urung tertandingi. Kembalinya pilar penting seperti Leonardo Bonucci, Paulo Dybala, dan Dani Alves pasca pergantian tahun juga akan menjadi pembeda paling kentara untuk Juventus. Pembelian di bursa transfer musim dingin mungkin tidak akan terlalu memengaruhi tim, tapi kedatangan target utama seperti Axel Witsel bisa menambah dimensi lain pada lini tengah Juventus.
Satu yang mungkin berpotensi menjegal Juventus, adalah padatnya jadwal di Champions League dan Coppa Italia yang akan kembali bergulir pada pertengahan Januari-Februari. Juventus punya catatan tak bagus saat jadwal padat menghantui mereka, terlebih jika berdekatan dengan bentrok melawan tim yang sama kuat pada lintas kompetisi. Tiga kekalahan Juventus di Serie-A musim ini (Inter, Milan, Genoa) terjadi setelah mereka memainkan laga tengah pekan di Champions League, dan berpotensi kembali terulang jika mereka masih sama-sama memiliki kans juara di tiga kompetisi sekaligus pada 2017 nanti. Namun jika berhasil mengatasi pekan-pekan padat tersebut tanpa disertai penggawa penting yang cedera, sepertinya Juventus tidak perlu usaha ekstra untuk angkat trofi scudetto kali keenam secara beruntun. Bila disertai konsistensi dan sedikit sentuhan keberuntungan, bisa jadi mereka juga akan menyabet titel Coppa Italia yang ke-12, atau bahkan ‘Si Kuping Besar’ yang menjadi mimpi terbesar mereka sejak kali terakhir angkat trofi Champions League pada 1996.
Supported by:





www.kaskus.co.id





www.kaskus.co.id
0
2.8K
17


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan