- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Hari Ibu 22 Desember, Darimana Sih Asal Usulnya?


TS
fancew
Hari Ibu 22 Desember, Darimana Sih Asal Usulnya?



Sosok ibu bener-bener nggak bisa dipisahin dari jati diri kita ya gan sist. Semua yang baik-baik pasti bisa kita temuin di sosok ibu yang selalu ada buat kita, mau kita lagi seneng, lagi sedih, lagi galau, selalu ada sosok ibu yang menemani. Apalah jadinya hari-hari kita tanpa sosok seorang ibu?

Hari ini, 22 Desember juga merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena hari ini bertepatan dengan Hari Ibu.
Setiap tahun, tanggal 22 Desember selalu diperingati sebagai Mother's Day-nya orang Indonesia. Beragam cara untuk merayakan juga banyak digembor-gemborkan, mulai dari quotes penuh cinta buat sang ibu, sampe ke diskon-diskon berbagai toko di mall dan online. Beragam pilihan hadiah untuk merayakan Hari Ibu turut disuguhkan, demi ibunda tersayang, apalah arti segenggam rupiah.
Tapi di balik itu semua, tau nggak kenapa tanggal 22 Desember diperingati jadi Hari Ibu?
Ane mulai ceritanya ya gan..
Jadi hari itu hari Sabtu malam, 22 Desember 1928 bertempat di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero, ratusan orang berkumpul. Saat itu acara resepsi dimulai jam 7 malem dengan nyanyian penghormatan dari anak-anak buat tamu yang datang.
Selain itu, tamu-tamu juga disuguhi drama tanpa suara tentang cerita Dewi Sinta membakar diri, Srikandi dan Perikatan Istri Indonesia. Setiap perwakilan perkumpulan juga dikasih kesempatan buat mengurai masalah perkumpulannya. Hal itu dicatat oleh Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007).

Kongres ini dihadiri juga wakil-wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond. Tokoh-tokoh populer yang datang antara lain Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), A.D. Haani (Walfadjri).
Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng alias Nyonya Toemenggoeng, istri dari Patih Datoek Toemenggoeng yang jadi bawahan Charles Olke van der Plas, juga datang ke acara itu. Setelah acara selesai, perempuan Minang ini menulis laporan berjudul “Verslag van het Congres Perempoean Indonesia gehouden te Jogjakarta van 22 tot 25 Desember 1928”. Sekitar 600 perempuan dari berbagai latar pendidikan dan usia hadir dalam kongres Perempuan Indonesia pertama ini.
Besoknya, acara dimulai dari jam 8 pagi. Setelah pembukaan dengan pertunjukan menyanyi dari anak-anak, Siti Soekaptinah menyampaikan asas kongres tersebut. Selain itu Moega Roemah juga membahas perkimpoian anak di hari kedua kongres ini.

Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan pidatonya tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Lalu disusul Siti Moendji'ah dengan “Derajat Perempuan”. Nyi Hajar Dewantara, iya, istri dari Ki Hadjar Dewantara, membicarakan soal adab perempuan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik soal perkimpoian dan perceraian.
Selain pidato soal perkimpoian anak, ada pidato berjudul “Iboe” yang dibacakan Djami dari Darmo Laksmi. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalamannya masa kecilnya yang dipandang rendah karena ia anak perempuan.
Jika seorang anak akan dilahirkan, Djami berkata, “bapak dan ibunya meminta kepada Tuhan, laki-lakilah hendaknya anaknya.”

Di era kolonial, anak laki-laki dipandang lebih berharga daripada anak perempuan, menjadi prioritas dalam mengakses pendidikan. Menurut pikiran banyak orang Indonesia saat itu, tempat perempuan hanyalah di kasur, sumur dan dapur. Pandangan diskriminatif itu mengakar kuat sehingga pendidikan untuk kaum perempuan dianggap gak penting. Perempuan itu nggak perlu pintar, kan akhir-akhirnya bakalan kerja di dapur juga?
Tapi Djami ternyata punya pikiran yang lebih maju, dia menekankan pentingnya pendidikan perempuan dalam menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Menurutnya, jika perempuan udah bodoh, pendidikan terhadap anak yang dikandung dan dibesarkannya akan terancam. Hal inilah kenapa pembangunan sekolah-sekolah untuk memajukan perempuan seperti yang dilakukan Rohana Koedoes, Kartini, juga Dewi Sartika sangat penting perannya.

Dalam kongres yang berlangsung sampai tanggal 25 Desember 1928 ini, Siti Soendari yang belakangan jadi istri Muhammad Yamin juga ikut hadir. Siti yang seorang guru menyampaikan pidato yang menggunakan Bahasa Indonesia. Saat itu, bahasa Indonesia yang sebetulnya bahasa Melayu pasar baru aja disepakati sebagai bahasa persatuan Indonesia 2 bulan sebelumnya yakni saat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dalam pertemuan tersebut, organisasi perempuan ini bergabung jadi Perserikatan Perempuan Indonesia dan pada tahun 1929 berganti nama jadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia.
Seperti kongres Pemuda II, Kongres Perempuan ini juga menekankan pentingnya persatuan. Mereka tak ingin dipecah belah dengan apapun, termasuk oleh masalah agama. Nyonya Toemenggoeng mencatat: Roekoen Wanidijo mengusulkan masalah agama sebisa mungkin mereka hindari untuk dibicarakan agar tidak terjadi perpecahan. Bahkan, tokoh yang menjadi anggota organisasi keagamaan tidak dapat dipilih menjadi ketua.
Menurut Slamet Muljana, penyelenggara kongres ini berasal dari bermacam etnis dan agama di Indonesia. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyelenggaraan itu antara lain: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, perempuan-perempuan Sarekat Islam, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamten Bond, dan Wanita Taman Siswa.
Gedung tempat acara itu diselenggarakan akan dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.
Acara ini, menurut Susan Blackburn, membuat kesal kaum feminis Eropa di Indonesia, sebab acara ini hanya diperuntukkan bagi perempuan-perempuan atau ibu-ibu pribumi Indonesia. Kala itu, banyak perkumpulan Eropa juga membatasi diri hanya untuk orang Eropa.

Setelah kemerdekaan, kongres ini dianggap penting. Sukarno mengenang semangat perempuan juga ibu-ibu dalam pergerakan nasional demi perbaikan kehidupan perempuan era kolonial itu.
Maka, pada 22 Desember 1953, dalam peringatan kongres ke-25, melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1953, Presiden Sukarno menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai: Hari Ibu.

Itu dia gan asal usul Hari Ibu di Indonesia yang diperingati setiap tanggal 22 Desember kalo dilihat dari sejarahnya. Perempuan adalah para calon ibu, dengan memuliakan perempuan, sama aja dengan memuliakan ibu kita sendiri gan

Sekali lagi ane pengen ucapin, Selamat Hari Ibu untuk semua ibu dimanapun berada dan para calon ibu! Semoga cinta seorang ibu ke anaknya bisa terus menghangatkan dunia ini ya gan sist. Kalo agan sista di sini, apa sih momen paling bahagia yang selalu agan inget-inget tentang sosok seorang ibu? Sharing di mari yuk gan sist!
Sumber Tulisan
0
3.8K
22


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan