- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Netizen Pandai Debat Tapi Miskin Produktifitas


TS
.abc.
Netizen Pandai Debat Tapi Miskin Produktifitas

Quote:
Purwakarta - Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, menilai jika masyarakat Indonesia kini mulai mengalami pergeseran pola pikir. Padahal secara akademis masyarakat dinilai mumpuni namun pada kenyataannya minim kreatifitas dan produktifitas.
Hal tersebut diungkapkan Dedi saat menjadi pembicara dalam Kuliah Umum Penerapan Pendidikan Berkarakter Purwakarta yang dihadiri oleh 150 mahasiswa jurusan keguruan UPI Bandung dan STKIP Purwakarta di Aula Janaka Pemkab Purwakarta, Minggu (11/12/2016).
"Coba lihat medsos sekarang. Banyak netizen yang pandai komentar, pandai debat, sampai pandai bikin narasi. Tapi dibalik itu kita miskin produktifitas pertanian, miskin produktifitas peternakan, sampai miskin produktifitas perikanan laut," beber Dedi.
Salah satu kelemahan pendidikan di Indonesia, kata Dedi, terlalu akademis dan bukan bersifat membuka ruang kreatif, aplikatif, dan juga hal bersifat produktifitas. Bahkan dia menilai kurikulum nasional malah membuat anak depresi di sekolah lantaran terlalu banyak pelajaran bersifat teori yang tidak semuanya bisa dimengerti.
Sudah seharusnya pendidikan dikembalikan pada kearifan lokal tempat pelajar tersebut tinggal. Kearifan lokal saat ini, lanjut dia, hanya dipahami sebatas kesenian dan budaya semata padahal itu semua terkait dengan potensi alam yang bisa digali sebagai ladang produktifitas.
"Kita itu aneh membuat kurikulum atau jurusan kuliah secara terus menerus tapi tidak ada relefansi dengan kebutuhan publik. Maka tidak aneh kalau ayam bakar atau ayam goreng kita yang enak kalah dengan fried chicken. Rumput kita melimpah tapi kita kebanjiran daging wagyu dan daging impor," tuturnya.
Menurut Dedi, sudah saatnya pendidikan di Indonesia diubah menjadi lebih aplikatif, kreatif, dan produktif sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Sementara kurikulum nasional cukup dua pelajaran, yakni Bahasa Indonesia dan Ideologi Pancasila atau Kewarganegaraan.
Dedi pun memberikan wejangan pada mahasiswa calon guru yang hadir dalam forum tersebut. Salah satunya adalah guru harus kembali berperan menjadi pembentuk karakter anak dengan mengedepankan sisi humanis dengan mengesampingkan ego.
"Kalau anak-anak di kelas ribut tidak memperhatikan jangan dimarahi, koreksi apakah metode belajar kita yang salah dan kurang menarik atau apa. Jangan ego saat kita sekolah atau kuliah karena sering dimarahi guru atau dosen terbawa sampai ruang kelas," ucapnya.
Hal tersebut menurut Dedi sangat penting. Pasalnya saat ini anak-anak hanya bisa nurut apa yang dikatakan oleh guru atau lingkungannya. Sementara peran orang tua saat ini cenderung kalah dengan anak sehingga bentuk ketegasan pun sering disalah artikan.
"Sekolah harus mengembalikan citra hak kemanusiaan yang baik. Saya yakin manusia itu lahir dengan dua potensi berbeda. Pertama potensi rohaniah, dan kedua potensi akademis juga ragawi yang bersatu," jelas Dedi.
Terakhir, Dedi pun memberikan tips pengajaran yang efektif untuk anak-anak Indonesia. Menurutnya secara umum orang Indonesia pintar dalam hal mendengar dan melihat hingga lahirlah sifat otodidak, sehingga untuk memberi pelajaran tidak harus dijejali oleh hal bersifat akademik yang malah membuat mereka pusing.
"Dan pendidikan berkarakter itu pada akhirnya adalah persenyawaan manusia dengan alam material dan alam spiritualitas," tutup pria yang akrab disapa Kang Dedi itu.
Seperti diketahui sejak dipimpin Bupati Dedi tahun 2008 silam pendidikan di Kabupaten Purwakarta dibuat dengan pola Pendidikan Berkarakter Berbudaya. Pendidikan tersebut menitikberatkan pada hal kreatifitas, aplikatif, dan produktif.
Beberapa kurikulum baru diantaranya baca, tulis, dan kajian Al-quran dan Kitab Kuning bagi pelajar muslim juga kitab-kitab keagamaan lain bagi non muslim. Selain itu setiap dua minggu sekali pada Hari Selasa pelajar diharuskan mengikuti kegiatan orang tuanya dan tidak perlu belajar di kelas.
(rvk/rvk)
Hal tersebut diungkapkan Dedi saat menjadi pembicara dalam Kuliah Umum Penerapan Pendidikan Berkarakter Purwakarta yang dihadiri oleh 150 mahasiswa jurusan keguruan UPI Bandung dan STKIP Purwakarta di Aula Janaka Pemkab Purwakarta, Minggu (11/12/2016).
"Coba lihat medsos sekarang. Banyak netizen yang pandai komentar, pandai debat, sampai pandai bikin narasi. Tapi dibalik itu kita miskin produktifitas pertanian, miskin produktifitas peternakan, sampai miskin produktifitas perikanan laut," beber Dedi.
Salah satu kelemahan pendidikan di Indonesia, kata Dedi, terlalu akademis dan bukan bersifat membuka ruang kreatif, aplikatif, dan juga hal bersifat produktifitas. Bahkan dia menilai kurikulum nasional malah membuat anak depresi di sekolah lantaran terlalu banyak pelajaran bersifat teori yang tidak semuanya bisa dimengerti.
Sudah seharusnya pendidikan dikembalikan pada kearifan lokal tempat pelajar tersebut tinggal. Kearifan lokal saat ini, lanjut dia, hanya dipahami sebatas kesenian dan budaya semata padahal itu semua terkait dengan potensi alam yang bisa digali sebagai ladang produktifitas.
"Kita itu aneh membuat kurikulum atau jurusan kuliah secara terus menerus tapi tidak ada relefansi dengan kebutuhan publik. Maka tidak aneh kalau ayam bakar atau ayam goreng kita yang enak kalah dengan fried chicken. Rumput kita melimpah tapi kita kebanjiran daging wagyu dan daging impor," tuturnya.
Menurut Dedi, sudah saatnya pendidikan di Indonesia diubah menjadi lebih aplikatif, kreatif, dan produktif sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Sementara kurikulum nasional cukup dua pelajaran, yakni Bahasa Indonesia dan Ideologi Pancasila atau Kewarganegaraan.
Dedi pun memberikan wejangan pada mahasiswa calon guru yang hadir dalam forum tersebut. Salah satunya adalah guru harus kembali berperan menjadi pembentuk karakter anak dengan mengedepankan sisi humanis dengan mengesampingkan ego.
"Kalau anak-anak di kelas ribut tidak memperhatikan jangan dimarahi, koreksi apakah metode belajar kita yang salah dan kurang menarik atau apa. Jangan ego saat kita sekolah atau kuliah karena sering dimarahi guru atau dosen terbawa sampai ruang kelas," ucapnya.
Hal tersebut menurut Dedi sangat penting. Pasalnya saat ini anak-anak hanya bisa nurut apa yang dikatakan oleh guru atau lingkungannya. Sementara peran orang tua saat ini cenderung kalah dengan anak sehingga bentuk ketegasan pun sering disalah artikan.
"Sekolah harus mengembalikan citra hak kemanusiaan yang baik. Saya yakin manusia itu lahir dengan dua potensi berbeda. Pertama potensi rohaniah, dan kedua potensi akademis juga ragawi yang bersatu," jelas Dedi.
Terakhir, Dedi pun memberikan tips pengajaran yang efektif untuk anak-anak Indonesia. Menurutnya secara umum orang Indonesia pintar dalam hal mendengar dan melihat hingga lahirlah sifat otodidak, sehingga untuk memberi pelajaran tidak harus dijejali oleh hal bersifat akademik yang malah membuat mereka pusing.
"Dan pendidikan berkarakter itu pada akhirnya adalah persenyawaan manusia dengan alam material dan alam spiritualitas," tutup pria yang akrab disapa Kang Dedi itu.
Seperti diketahui sejak dipimpin Bupati Dedi tahun 2008 silam pendidikan di Kabupaten Purwakarta dibuat dengan pola Pendidikan Berkarakter Berbudaya. Pendidikan tersebut menitikberatkan pada hal kreatifitas, aplikatif, dan produktif.
Beberapa kurikulum baru diantaranya baca, tulis, dan kajian Al-quran dan Kitab Kuning bagi pelajar muslim juga kitab-kitab keagamaan lain bagi non muslim. Selain itu setiap dua minggu sekali pada Hari Selasa pelajar diharuskan mengikuti kegiatan orang tuanya dan tidak perlu belajar di kelas.
(rvk/rvk)
https://news.detik.com/berita/d-3368...860.1475586956
ini baru bupati, pemikiran yang sederhana, tapi to the point

0
4K
Kutip
48
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan