dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Berserah dalam Sumarah
EDISI KHUSUS

Berserah dalam Sumarah

Sebagai ajaran yang berorientasi kerohanian, Sumarah mengandeng para penganut agama lain untuk bisa bersama-sama mencari pengalaman spiritual yang lebih baik. Memiliki struktur organisasi modern, namun karena bukan entitas dakwah, penganutnya pun terbatas jumlahnya.

Azan magrib berkumandang. Tiga belas orang yang mengelilingi meja besar itu pun mulai menikmati hidangan kolak biji salak dan teh manis hangat yang terhidang di sebuah ruangan besar pada Kamis petang pertama bulan Ramadan itu. "Monggo, Mas," Edy Maryanto menyuguhkan hidangan susulan, buah jambu, dan berbagai gorengan, yang digelar di atas nampan. "Kami menghormati orang yang berpuasa, jadi sujud barengnya dilaksanakan setelah berbuka puasa," ujar Sekretaris Dewan Pengurus Pusat (DPP) Paguyuban Sumarah itu kepada Gatra.

Hari itu, Paguyuban Sumarah Jakarta, yang berada di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, memang sedang bersiap memulai ritual khusus, yaitu sujud bersama. Namun, karena sebagian anggota juga menjalankan ibadah puasa, maka acara pun dilengkapi dengan buka bersama.

Sujud bersama paguyuban Sumarah itu dilakukan di aula sekretariat kantor Paguyuban Sumarah. Ruangannya cukup luas untuk menampung belasan orang. Dengan panjang 20 meter dan berlatar putih, ruangan itu memiliki beberapa tempelan gambar, termasuk beberapa lukisan foto para sesepuh Sumarah.

Menurut Edy, beberapa anggota Paguyuban Sumarah juga ada yang berpuasa karena penganut ajaran Sumarah uga ada yang menganut agama lain. Sedangkan sebagian lainnya murni hanya menjalankan ajaran Sumarah, meski status agama di kartu tanda penduduk (KTP) mereka berstatus sebagai penganut salah satu agama yang diakui di Indonesia, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. "Kita tidak memaksa untuk meninggalkannya," ujar dia.

Ketua Umum Paguyuban Sumarah, Suko Sudarso, mengatakan Sumarah adalah suatu sistem kerohanian. Baginya, Sumarah beda dari agama. Tidak ada ritual dengan ketentuan waktu dan tempat yang khusus. Ritualnya hanya sujud. Bisa di mana saja dan kapan saja.

Sumarah berasal dari bahasa Jawa yang berarti berserah atau pasrah. Sujud dalam Sumarah berarti berserah diri. Berbeda dari gerakan sujud dalam agama Islam yang menunduk menempelkan jidat, hidung, dan kaki, ke bumi. Gerakan sujud dalam Sumarah lebih seperti samadi: duduk dan diam. Tidak ada tembang maupun doa. Hanya hening.

Di tengah percakapan sambil menyantap makanan itu, tampak dua wanita berusia senja hanya duduk terdiam, memejamkan mata, dengan meletakkan kedua tangannya yang saling bersimpuh di depan dada. Mereka tampak sudah siap dalam posisi sujud. Sikapnya hening, tidak tampak terganggu percakapan.

Sujud Sumarah bertujuan mengantarkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Beribadah dengan bersemadi membuat warga Sumarah bisa menanggalkan nafsu duniawinya. Sifat iri, dengki, dan hati yang kotor menjadi bersih. "Untuk membersihkan diri harus betul-betul meninggalkan kelekatan duniawi," ujar Wakil Sekretaris DPP Paguyuban Sumarah, Tukul Rahmadi. "Angan-angan, roso, kumpul dengan budinya," imbuhnya.

Dalam buku tuntunan Sumarah, disebutkan ada tiga tingkatan dalam sujud Sumarah. Tingkat pertama atau Trimurti I adalah evolusi dalam kesadaran hidup. Kemudian Trimurti II tentang kepamongan hidup, dan Trimurti III sudah mencapai tahap kehidupan alam semesta.

***

Angin berembus ke dalam bangunan besar yang tak berjendela itu. Tiang-tiang kayu jati kokoh menyangga atap joglo berukuran 15 meter x 15 meter. Di pendopo yang terletak di daerah Wirobrajan, Yogyakarta, inilah Sumarah lahir dan tumbuh.

Dimulai saat Raden Ngabei Soekinohartono atau akrab dipanggil Kino menerima wahyu pada 8 September 1935. Nugroho, 42 tahun, cucu Kino menceritakan, pada saat eyangnya itu menerima wahyu, ada sinar di langit menelusup masuk rumah. "Cahanya sampai menembus," ujar dia. Cerita itu didapat dari tetangganya yang kini sudah tiada.

Kino sejak kecil dikenal sebagai orang yang biasa saja. "Orangnya pendiam," ujar Nugroho. Sejak remaja haus akan pencarian spritual melalui semadi. Sebelum membentuk Sumarah, Kino pernah mengikuti paguyuban-paguyuban lain. Nugroho tidak pernah bertemu langsung dengan Kino. Nugroho lahir pada 1974, sementara Kino meninggal pada 1971. Semua cerita soal mbahnya itu, ia peroleh dari budenya, atau kakak perempuan bapaknya.

Kelahiran Sumarah berawal dari keprihatinan Kino terhadap kondisi bangsa Indonesia yang menderita akibat penjajahan Belanda. Dia pun berdoa bangsa Indonesia supaya bisa terlepas dari penjajahan. Maka setelah melakukan pertapaan panjang, sebuah wahyu didapatnya, yang kemudian ia sampaikan kepada masyarakat.

Meski sudah mendapatkan petunjuk, Kino memang tidak serta-merta membangun sebuah ajaran yang diterimanya dalam sebuah struktur organisasi, karena alasan keamanan. Baru selepas masa penjajahan, pada rentang 1949-1950, Kino membentuk organisasi Paguyuban Sumarah. Seperti organisasi pada umumnya, Sumarah memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART).

Namun, fungsi organisasi di sini hanya sebagai wadah untuk memfasilitasi para penganut Sumarah. "Dari dulu hingga sekarang sudah melakukan 15 kali kongres," ujar Tukul Rahmadi. Sebagai perintis Paguyuban Sumarah, Kino mengajak Soehardo sebagai pembimbing pendidikan. Dialah orang yang paling aktif dalam menyebarkan ajaran Sumarah keluar Yogyakarta mulai tahun 1939 sampai 1950. Dan ia mengajak lagi temannya Soetadi sebagai pembimbing organisasi. Ketiganya dianggap sebagai sesepuh Paguyuban Sumarah.

Tidak ada kitab dalam ajaran Sumarah. Yang ada hanya buku tuntunan yang disusun oleh Tim Penasihat Dewan Pengurus Pusat Paguyuban Sumarah periode 2014-2019. Isinya, berisi penjabaran Kino mengenai ajaran Sumarah dalam bahasa Jawa dan penjabaran Sumarah pada dua kali sarasehan dalam bahasa Indonesia.

Dalam buku tuntunan itu juga ada rumusan mengenai sujud Sumarah. "Yang terpenting bisa mencapai zero mind, mencapai kekosongan," ujar Tukul. "Kekosongan tapi ada. Pikirannya ada, tapi pikirannya tidak macam-macam," ia menambahkan.

Konsep Tuhan dalam ajaran Sumarah abstrak. Terminologi yang digunakan dalam buku tuntunan menyebut Tuhan Yang Maha Esa dan juga menyebut Allah. Peneliti Budaya Universitas Negeri Yogyakarta, Suwardi mengatakan, pada umumnya agama Kejawen biasanya mengadalkan ritual menggunakan sesajen dan penuh dengan hal-hal mistik. Beberapa penghayat masih menggunakan hal mistik itu dalam tata cara ritual. Namun, tidak dengan Sumarah.

Menurut Suwardi, tidak adanya sesaji dan hal mistik dalam ritual Sumarah kemungkinan karena pengaruh agama-agama tertentu yang masuk ke ajaran Sumarah. Sehingga tata cara mistis seperti itu dianggap musyrik. "Bagi Sumarah ini bertentangan dengan agama," ujar dia. Hal itu tidak lepas dari keterbukaan Sumarah terhadap penganut agama-agama lain. "Karena yang masuk Sumarah itu orang-orang beragama juga," kata dia.

Dalam perkembangannya ajaran Sumarah bisa tersebar hampir di seluruh Jawa. Anggotanya, menurut berbagai sumber, dianut hingga 100.000 orang. Sementara data terbaru dari Sub-Direktorat Kelembagaan Kepercayaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan saat ini diperkirakan ada 7.200 penganut Sumarah.

Meski begitu, karena ajaran ini tidak ekspansif seperti agama-agama besar, pemeluknya pun tak banyak yang berasal dari kalangan muda. Seperti yang terlihat dalam acara sujud Sumarah di Jakarta kamis itu, kebanyakan yang datang rata-rata sudah sepuh. Jumlahnya di setiap kota tak lebih dari dua lusin. Di Yogyakarta, misalnya, meski sebagai kota kelahiran Sumarah, kini hanya tinggal 10 orang yang menjadi umat Sumarah. Sementara di Jakarta juga tinggal belasan.

Meski begitu, Paguyuban Sumarah juga memiliki organisasi yang tertata rapi. Hingga saat ini sudah ada lima dewan pimpinan daerah, yaitu di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan 40 dewan pimpinan cabang.

Menurut Edy Maryanto, paguyuban memang bertahan dengan kondisi ini. Tidak ada upaya untuk mempertahankan eksistensi, dengan melakukan semacam syiar. "Karena Sumarah ini ajaran kerohanian, tidak ada paksaan, dan tidak ada dakwah," katanya.

***

Kuswijoyo, 54 tahun, dulu beragama Islam. Sempat menjadi aktivis masjid pada saat remaja dan salat sebagaimana orang Islam pada umumnya. Pada 1995, dia tertarik mempelajari ajaran Sumarah. Ada getaran di hatinya yang membuatnya memperoleh pengalaman spiritual yang berbeda.

Pun, baginya, konsep sujud Sumarah, yang bisa melakukan ritual tanpa perlu imam yang memimpin, membuatnya bisa berinteraksi langsung dengan Tuhan. "Ada independensi bagaimana saya memahami proses spiritual dan religius itu," ujar Ketua Dewan Pimpinan Daerah Sumarah Yogyakarta itu.

Sejak itu, Kuswijoyo memutuskan menjadi penghayat Sumarah seutuhnya. Ritual agama lamanya ia tinggalkan. Meskipun status agama di KTP-nya masih beragama Islam. Bila dulu kolom agama harus diisi, kini dengan aturan baru maka para penghayat boleh menggantinya dengan tanda strip (-).

Namun, bagi Kuswijoyo, dia lebih memilih mengisi kolom agama pada KTP-nya. Alasannya, proses mengosongkan kolom agama bagi para penghayat tidak mudah. Meski sudah diakui secara nasional melalui regulasi, kata dia, persoalannya justru pada implementasi di para pegawai pemerintahan di bawah. "Kita tidak mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa melayani, tapi staf-staf pemerintah di bawah mungkin wawasannya belum sampai," imbuhnya.

Aktivis lembaga masyarakat yang berorientasi kepada pemberdayaan Yayasan Satunama, Afifudin Toha menyebut, masih ada stigma negatif terhadap penghayat seperti Sumarah sebagai ajaran sesat. Hal itu menyebabkan penghayat tidak diterima dengan baik di masyarakat. Seperti pada kasus di Brebes, Jawa Tengah belum lama ini, ada salah satu penghayat yang tidak bisa dimakamkan di pemakaman umum. "Akhirnya dimakamkan di belakang rumah," ujarnya.

Afif mencatat beberapa persoalan lain yang dihadapi penghayat secara umum. Antara lain, pelibatan penghayat dalam pengambilan keputusan di masyarakat. Partisipasi penghayat kerapkali dipinggirkan. Kemudian, ada penghayat yang tidak bisa bersekolah bila tidak mengikuti persyaratan, seperti dibaptis terlebih dahulu.

Namun, Afif mengaku belum pernah menerima laporan tindakan diskriminasi yang terjadi terhadap penghayat Sumarah. Meski tidak adanya laporan dari Sumarah belum tentu tidak adanya tindakan diskriminasi. Menurut catatan, pada 1990-an, Sumarah pernah diberi stigma sebagai kelompok yang terkait dengan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tekanan politik yang cukup lama itu bisa saja membuat penghayat trauma dan enggan mengungkapkan, meski hanya untuk mencantumkan identitas kepercayaannya di KTP.

Kini, situasi memang berubah. Penghayat kepercayaan seperti Sumarah tak perlu lagi bersembunyi. Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Yogyakarta, Bugis Avanto, mengatakan, saat ini total ada 151 aliran penghayat di Indonesia, yang harus dilindungi. Sementara Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Christriyati Ariani, mencatat ada 60 organisasi penghayat di Yogyakarta.

Untuk administrasi kependudukan, para penghayat itu sudah dijamin untuk bisa mencatat di KTP sesuai dengan identitasnya, sebagaimana diatur dalam Peratuan Pemerintah tentang Administrasi Kepedudukan (Asminduk) Tahun 2006. Daerah yang sudah mengakomodasi aturan itu dengan baik di Yogyakarta adalah Kabupaten Kulonprogo.

Namun di daerah lain, Christriyati mencatat, ada beberapa kasus keadministrasian yang belum mengakomodasi aturan itu. Seperti pada kasus di Bojonegoro, Jaw Timur, dia menemukan lurah yang tidak mengetahui soal adanya aturan Asminduk itu. Kejadian yang sama dia temukan juga di Blora, Jawa Tengah. Karena itu, penting untuk menyosialisasikan aturan itu ke tingkat bawah.

Selain itu, tiap tahun Direktorat Kepercayaan Kemendikbud mengalokasikan dana bagi para organisasi penghayat untuk mendukung kegiatannya. Untuk bisa menerima bantuan itu, organisasi penghayat harus mengajukan proposal kegiatan untuk diteruskan ke direktorat. Biasanya tiap organisasi bisa memperoleh bantuan hingga Rp 150 juta. "Sumarah tidak pernah minta, (karena) harus lewat proposal," ujar dia.

Sebagai ajaran kerohanian, Sumarah memang lebih berorientasi kepada masalah kerohanian ketimbang duniawi. Mungkin itu yang membuat orang Sumarah tidak terlalu mengurusi persoalan keadministrasian. Mereka tahu diri untuk tak meminta lebih dari pemerintah. "Tegakno awakmu mara liyan ing tembi bakal kecangking (Kita harus tahu diri bahwa kita harus memahami pihak lain apa pun keadaannya)," ucap Kuswijoyo.

Taufiqurrohman

***

Terbentur Intoleransi dan Diskriminasi

Para penganut aliran kepercayaan bagaimanapun memang sering mendapat perlakuan berbeda di masyarakat. Ini bisa menimbulkan masalah intoleransi. Menurut Setyawan Sahli, Kepala Bidang Adat dan Seni Tradisi Dinas Kebudayaan Yogyakarta, kasus-kasus intoleransi memang kerap terjadi di wilayahnya.

Biasanya melibatkan organisasi masyarakat (ormas) dengan basis massa agama besar. Ormas itu melakukan aksi sepihak dengan penyisiran atau menggeruduk penganut keyakinan lain yang ritualnya beririsan dengan agama itu.

Selain itu, para penganut kepercayaan sering mendapat diskriminasi terkait pengurusan administrasi. Pemerintah sebenarnya sudah memberikan payung hukum seperti Peratuan Pemerintah tentang Administrasi Kepedudukan (Asminduk) Tahun 2006. Namun implementasi regulasi kepada penghayat itu masih lemah di tataran pelaksana di pemerintahan.

Walau ada juga daerah yang sudah lebih baik melayani penghayat dalam urusan administrasi. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo adalah salah satu yang paling suportif kepada penghayat untuk soal administrasi. "Bahkan mereka memberikan fasilitas pendanaan untuk ritual penghayat," ujar Kuswijoyo pegiat ajaran Sumarah. Sedangkan Kota Yogyakarta, Bantul, dan Gunung Kidul, masih belum sesuai harapan. "Kita sedang coba pendekatan," katanya.

Kuswijoyo mengaku belum pernah mengalami persoalan administrasi secara langsung, dia menemukan pengalaman penghayat keyakinan lain yang mendapat penolakan di Sleman untuk menggelar kegiatan. Hal ini karena staf pemerintah daerah tidak dibekali cukup pengetahuan terkait persoalan aliran kepercayaan ini. "Dalam beberapa kasus, ada yang memberikan penolakan secara tertulis," ujar dia.

Di sisi lain, aturan untuk mengadakan kegiatan yang dulunya sangat menekan para pemeluk aliran kepercayaan, karena terlalu panjang dan pelik, kini mulai disederhanakan. Dulu tiap daerah, meski menginduk ke pengurus pusat, tetap harus mengurus perizinan di daerah masing-masing. "Dari pusat hingga daerah izin, bahkan sampai ke tingkat kecamatan," ujar Kuswijoyo.

Namun setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi pada 2015, izin hanya perlu diberlakukan di satu daerah saja. Untuk kegiatan yang sifatnya nasional, digelar di beberapa daerah, cukup dengan surat keputusan internal organisasi saja untuk melapor ke wilayah masing-masing.

Penyederhanaan birokrasi juga terjadi, dari syarat butuh 16 macam menjadi hanya delapan macam, seperti izin tempat tinggal, nomor pokok wajib pajak, kepengurusan, dan lain-lain. "Masalahnya ini disikapi tepat tidak oleh pemerintah daerah," ujar Kuswijoyo.

Taufiqurrohman

***

Cara Sumarah Menikah 

Tidak ada ritual khusus, waktu khusus, dan tempat khusus, dalam ajaran Sumarah. Begitu pula dalam perkimpoian dan kematian. Sumarah tidak mengatur tata caranya secara detail dan ketat. Kebanyakan penghayat Sumarah lebih memilih menggunakan tata cara agama lain.

Seperti halnya yang dilakukan Nugroho, cucu Soekinohartono, pendiri Sumarah. Cucu dari anak Kino nomor enam itu memilih menikahi istrinya menggunakan tata cara Islam pada 2005. "Sumarah tidak menyarankan untuk menjalankan ritual sesuai Sumarah. Disarankan sesuai KTP-nya saja," ujar Nugroho, yang menjadi penghayat sejak berusia 10 tahun.

Istri Nugroho dulu beragama Katolik. Setidaknya dalam status KTP-nya, karena istrinya sendiri berasal dari keturunan penghayat Sumarah. Meski sama-sama berasal dari keturunan Sumarah, Nugroho lebih memilih untuk menikah dengan tata cara Islam. Keduanya kemudian mengisi kolom agama masing-masing di KTP dengan agama Islam.

Alasan mencantumkan agama Islam di KTP juga tidak lepas dari kemudahan dalam birokrasi kependudukan. "Dulu diharuskan di kelurahan memilih salah satu agama," ujar Nugroho. Kini, meski sudah ada aturan untuk bisa mengosongkan kolom agama, keluarga Nugroho enggan beranjak dari status KTP agama Islam. "Istri saya kerja, mau menulis kepercayaan nanti takut susah. Akhirnya milih Islam saja," ujar dia. Meski berstatus agama Islam, Nugroho tidak menjalankan ajaran Islam. "Saya tidak puasa," katanya.

Selain sudah mengakomodasi penghayat untuk tidak meleburkan identitasnya ke agama lain, pemerintah sebenarnya juga sudah mengatur soal pernikahan. Bagi para penghayat yang sudah mencantumkan identitasnya sebagai penghayat murni, bisa kemudian mengadakan perkimpoian dengan tata cara keyakinan penghayat itu sendiri.

Perkimpoian sesama penghayat diatur dalam Peraturan Pemerintan Nomor 37 Tahun 2007 tentang tata cara pencatatan perkimpoian. Sementara syarat administrasinya tetap berpedoman kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Syaratnya, organisasi kepercayaan itu wajib memiliki pemuka penghayat yang bertugas untuk menikahkan.

Kini, penghayat diperkenankan menikah dengan penghayat keyakinan yang sama atau dengan penghayat keyakinan lain. Sementara untuk menikah dengan agama lain tidak diperkenankan. Tata caranya tinggal disepakati apakah menggunakan pemuka penghayat yang mana.

Yang penting tercatat dulu dari sisi administrasi identitas penghayat, lalu kemudian bisa menikah dengan tata cara penghayat yang disepakati. Nantinya, pernikahan itu dicatatkan di Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil.

Beberapa aliran kepercayaan sebenarnya sudah memiliki pemuka penghayat. Seperti Palang Putih Nusantara. Sehingga nanti bisa menikahkan sesuai tata cara Palang Putih Nusantara. Namun, ada juga yang belum memiliki pemuka penghayat. Salah satunya, Sumarah. "Kita belum punya," kata Kuswijoyo, pengikut Sumarah.

Taufiqurrohman

= = =

SUMARAH

Kepercayaan: Sumarah
Kepercayaan yang berfokus kepada kerohanian dan menanggalkan keduniawian. Lebih kepada filsafat hidup dengan mengadakan suatu bentuk meditasi. Menekankan kepada budi atau cahaya dalam diri. Angan-angan dan roso berkumpul dalam budi sehingga menghindarkan diri dari nafsu.

Lokasi Penganut:
Meski lahir di kota Yogyakarta, penghayat di daerah ini hanya tersisa 10 orang. Tersebar di beberapa kota di Provinsi DIY, yakni Sleman, Gunung Kidul, dan Kulon Progo. Di Jawa Timur, banyak penghayat di Madiun. Sedangkan di Jawa Tengah banyak ditemukan di Semarang. Sekretariat pusat berada di Jakarta dengan jumlah penghayat belasan orang.

Kitab Ajaran:
Sumarah tidak memiliki kitab ajaran. Namun, pengurus Paguyuban Sumarah membuat buku tuntunan yang berisi penjabaran ajaran Sumarah.

Ketuhanan:
Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan KehendakNya kepada yang diciptaNya.

Tradisi Upacara:
Ritual Sumarah dilakukan dengan sujud bersama. Di Jakarta digelar setiap Kamis selrpas magrib. Tidak ada tata gerak yang baku dalam gerakan sujud Sumarah. Penekanan sujud lebih ke aspek rohani dan tidak terlalu mementingkan gerak raga.

http://arsip.gatra.com/1408-07-04/ma...l=23&id=162378
0
3.9K
18
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan