- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Peran MH Thamrin dan Belajar dari Cermin Berlusconi dalam Politik Sepakbola


TS
approve.cc
Peran MH Thamrin dan Belajar dari Cermin Berlusconi dalam Politik Sepakbola

HT




Quote:

Belum lepas teriakan The Jakmania soal sikap mereka untuk tak dilibatkan dalam politik Pilkada, sejumlah Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta mencoba tetap mengambil hati mereka. Saat Persija Jakarta berulang tahun misalnya.
Sejumlah Cagub merasa berkepentingan untuk mengucapkan selamat. Meskipun dilatarbelakangi dengan dalih simpatik, namun sebagian kalangan menilai hal tersebut bagian dari pencitraan semata.
Selain DKI Jakarta, sejumlah daerah di wilayah Indonesia pun mengalami hal sama. Momentum Pilkada serentak pada tanggal 15 Februari 2017 mendatang, menjadi musim semi bagi para politikus untuk mengambil hati komunitas penggila bola di wilayahnya.
Depok, Banda Aceh, dan Purwakarta misalnya. Sepakbola menjadi salah satu bagian yang sempat dan akan menjadi sasaran pencitraan.
Tapi, jangan salah. Jika melihat ke belakang, politik memang menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dalam sepakbola nasional.
Kita ingat betul bagaimana perlawanan Soeratin dan MH Thamrin kala mendirikan wadah sepakbola sebagai bagian dari perlawanan kaum pribumi. Kini, sudah saatnya menilai kembali bagaimana kelayakan irisan sepakbola dan politik untuk bisa berjalan bersamaan.
Berikut hasil rangkuman yang di lansir dari indosport
Sejumlah Cagub merasa berkepentingan untuk mengucapkan selamat. Meskipun dilatarbelakangi dengan dalih simpatik, namun sebagian kalangan menilai hal tersebut bagian dari pencitraan semata.
Selain DKI Jakarta, sejumlah daerah di wilayah Indonesia pun mengalami hal sama. Momentum Pilkada serentak pada tanggal 15 Februari 2017 mendatang, menjadi musim semi bagi para politikus untuk mengambil hati komunitas penggila bola di wilayahnya.
Depok, Banda Aceh, dan Purwakarta misalnya. Sepakbola menjadi salah satu bagian yang sempat dan akan menjadi sasaran pencitraan.
Tapi, jangan salah. Jika melihat ke belakang, politik memang menjadi salah satu bagian tak terpisahkan dalam sepakbola nasional.
Kita ingat betul bagaimana perlawanan Soeratin dan MH Thamrin kala mendirikan wadah sepakbola sebagai bagian dari perlawanan kaum pribumi. Kini, sudah saatnya menilai kembali bagaimana kelayakan irisan sepakbola dan politik untuk bisa berjalan bersamaan.
Berikut hasil rangkuman yang di lansir dari indosport
Quote:
1. Intervensi Politik MH Thamrin dan Sepakbola Ibu Kota

Kebakaran di Gang Bunder, Passer Baroe, pada tahun 1928, benih perlawanan lewat sepakbola di Jakarta bersemai. Para pemuda yang ingin melakukan aksi sosial lewat sepakbola marah akibat tidak diberikan izin untuk menggunakan lapangan Deca Park, milik klub Hercules yang dimiliki Belanda.
Atas dasar kekecewaan dan perlawanan inilah muncul Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) yang kelak akan menjelma menjadi Persija Jakarta. Pendirian VIJ tak lepas dari ide Soeri dan A Alie yang menjadi dua tokoh pengagas Macan Kemayoran.

Dalam perkembangannya, VIJ kemudian tumbuh berkat beberapa tokoh politik yang ikut mengintervensi. Sebut saja MH Thamrin yang memberikan 'modal' senilai 2000 gulden untuk merenovasi lapangan di kawasan Pulo Piun, Petojo.
Lapangan ini masih berdiri dan dikenal dengan nama Lapangan VIJ, Petojo. Lapangan ini kemudian menjadi saksi bagaimana perlawanan anak-anak pribumi VIJ melawan para pemain Belanda yang mendiskriminasi mereka di hari-hari sebelumnya.
Tak berhenti sampai di MH Thamrin. Keterlibatan para politisi dalam perkembangan VIJ di era penjajahan pun dimulai.

Sebut saja nama Dr Kusumah Atmadja, yang pernah menjadi ketua Mahkamah Agung pertama Indonesia pernah menjadi Ketua Umum Persija Jakarta pada tahun 1931 dan 1934. Lalu ada anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Mr. Hardi yang sempat bergabung dalam kepengurusan Macan Kemayoran.
Bahkan, Pahlawan Nasional, Dr. Moewardi juga tercatat sempat menjadi pemimpun Persija Jakarta pada tahun 1934 dan 1938. Nama besar tersebut bisa bergabung untuk menjaga Persija Jakarta dalam perlawanan pribumi terhadap Belanda ini berkat racun kuat dari MH Thamrin.
Atas dasar kekecewaan dan perlawanan inilah muncul Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) yang kelak akan menjelma menjadi Persija Jakarta. Pendirian VIJ tak lepas dari ide Soeri dan A Alie yang menjadi dua tokoh pengagas Macan Kemayoran.

Dalam perkembangannya, VIJ kemudian tumbuh berkat beberapa tokoh politik yang ikut mengintervensi. Sebut saja MH Thamrin yang memberikan 'modal' senilai 2000 gulden untuk merenovasi lapangan di kawasan Pulo Piun, Petojo.
Lapangan ini masih berdiri dan dikenal dengan nama Lapangan VIJ, Petojo. Lapangan ini kemudian menjadi saksi bagaimana perlawanan anak-anak pribumi VIJ melawan para pemain Belanda yang mendiskriminasi mereka di hari-hari sebelumnya.
Tak berhenti sampai di MH Thamrin. Keterlibatan para politisi dalam perkembangan VIJ di era penjajahan pun dimulai.

Sebut saja nama Dr Kusumah Atmadja, yang pernah menjadi ketua Mahkamah Agung pertama Indonesia pernah menjadi Ketua Umum Persija Jakarta pada tahun 1931 dan 1934. Lalu ada anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Mr. Hardi yang sempat bergabung dalam kepengurusan Macan Kemayoran.
Bahkan, Pahlawan Nasional, Dr. Moewardi juga tercatat sempat menjadi pemimpun Persija Jakarta pada tahun 1934 dan 1938. Nama besar tersebut bisa bergabung untuk menjaga Persija Jakarta dalam perlawanan pribumi terhadap Belanda ini berkat racun kuat dari MH Thamrin.
Quote:
2. Soeratin dan Politik Pembuktian Jati Diri Bangsa

Sebuah pertemuan kecil di sebuah hotel di Jalan Kramat 17, Jakarta Pusat menjadi langkah penting, tidak hanya bagi sepakbola namun sejarah Republik Indonesia. Hadir dalam pertemuan ini seorang mantan petinggi di sebuah perusahaan milik Belanda, Soeratin Soesrosoegondo dan Pendiri Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ), yang kemudian dikenal sebagai Persija Jakarta.
Pertemuan ini lebih banyak membahas soal kemajuan sepakbola Indonesia. Namun, aroma politik tersibak kala misi utama dari pertemuan ini merupakan follow up dari agenda Sumpah Pemuda 1928.
Pertemuaan ini kemudian terus dilakukan Soeratin kepada perwakilan klub sepakbola di beberapa wilayah di Indonesia. Hasilnya, 2 tahun kemudian perwakilan dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Magelang, dan Surabaya.

Mereka sepakat untuk mendirikan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI). Hal pertama yang dilakukan oleh PSSI saat itu adalah melawan semua kebijakan Belanda di dunia sepakbola.
Belanda yang kala itu menggunakan Nederland Indische Voetbal Bond (NIVB) membuat sejumlah aturan diskriminatif terhadap para bumiputera dalam sepakbola. Para klub milik para pribumi dilarang ikut berkompetisi dengan tim milik para meneer Belanda.
Jangankan berkompetisi, saat itu para pemain lokal pun dilarang untuk bermain di lapangan sepakbola milik klub Belanda. PSSI kemudian memotong diskriminasi ini melalui sebuah anjuran bagi para anggotanya untuk menggelar kompetisi sendiri.

Mimpi politik Soeratin pun menjadi kenyataan saat NIVB mengajak PSSI 'berdamai', mengingat kekuatan PSSI yang membesar. Pada tahun 1936 NIVB kemudian berubah nama menjadi Nederland Indische Voetbal Unie (NIVU).
Proyek pertama dengan PSSI yang cukup besar adalah mendatangkan klub asal Austria, Winner Sport Club, untuk melangsungkan pertandingan uji coba. Lalu di tahun 1938 pula NIVU mengirimkan 9 pemain asal pribumi dalam tim yang berangkat menuju Piala Dunia 1938.
Mimpi politik Soeratin pun menjadi nyata. Perlawanan atas diskriminasi diterjemahkan dalam 9 pemain pribumi yang diakui 'sejajar' dengan para pemain Belanda.
Pertemuan ini lebih banyak membahas soal kemajuan sepakbola Indonesia. Namun, aroma politik tersibak kala misi utama dari pertemuan ini merupakan follow up dari agenda Sumpah Pemuda 1928.
Pertemuaan ini kemudian terus dilakukan Soeratin kepada perwakilan klub sepakbola di beberapa wilayah di Indonesia. Hasilnya, 2 tahun kemudian perwakilan dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Magelang, dan Surabaya.

Mereka sepakat untuk mendirikan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI). Hal pertama yang dilakukan oleh PSSI saat itu adalah melawan semua kebijakan Belanda di dunia sepakbola.
Belanda yang kala itu menggunakan Nederland Indische Voetbal Bond (NIVB) membuat sejumlah aturan diskriminatif terhadap para bumiputera dalam sepakbola. Para klub milik para pribumi dilarang ikut berkompetisi dengan tim milik para meneer Belanda.
Jangankan berkompetisi, saat itu para pemain lokal pun dilarang untuk bermain di lapangan sepakbola milik klub Belanda. PSSI kemudian memotong diskriminasi ini melalui sebuah anjuran bagi para anggotanya untuk menggelar kompetisi sendiri.

Mimpi politik Soeratin pun menjadi kenyataan saat NIVB mengajak PSSI 'berdamai', mengingat kekuatan PSSI yang membesar. Pada tahun 1936 NIVB kemudian berubah nama menjadi Nederland Indische Voetbal Unie (NIVU).
Proyek pertama dengan PSSI yang cukup besar adalah mendatangkan klub asal Austria, Winner Sport Club, untuk melangsungkan pertandingan uji coba. Lalu di tahun 1938 pula NIVU mengirimkan 9 pemain asal pribumi dalam tim yang berangkat menuju Piala Dunia 1938.
Mimpi politik Soeratin pun menjadi nyata. Perlawanan atas diskriminasi diterjemahkan dalam 9 pemain pribumi yang diakui 'sejajar' dengan para pemain Belanda.
Quote:
3. Soekarno dan Salam Sayang untuk Sepakbola Ibu Kota

"Madju Terus!
Sedjak djaman V.I.J sampai mendjadi PERSIDJA ini. Selama 30 tahun tentu perdjoangan Saudara-Saudara penuh dengan duka dan pengorbanan, disamping adanja suka dan kemadjuan-kemadjuan jang ditjapai.
Sjukurlah, bahwa pengorbanan perasaan jang banjak Saudara-Saudara didjaman pendjajahan dahulu sudah habis sedjak 17 Agustus 1945.
Djika mula-mula Saudara-Saudar harus puas denhan lapangan di Pulo Piun, maka sekarang Saudara-Saudara sudah mempunjai lapangan di Merdeka Timur.
Maka pesanku sekarang, tiada lain, ialah supaja Saudara-Saudara lebih giat lagi berdjoang, menjusun dan menjempurnakan organisasi Saudara-Saudara, dengan pedoman segala usahan harus untuk Kebesaran Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia, jang Saudara-Saudara turut memproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu!
Presiden Republik Indonesia
Sukarno"

Demikian petikan sebuah surat yang dikirimkan Soekarno, sang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) saat Persija Jakarta berulang tahun yang ke-30. Surat yang dikirimkan Soekarno pada tahun 1928, merupakan bagian dari pengakuan politik sepakbola cukup berpengaruh dalam perkembangan RI saat itu.
Soekarno bahkan menganggap bahwa Persija Jakarta merupakan salah satu organisasi pergerakan nasional bangsa. Hal ini pun membuat Soekarno menghadiahkan Lapangan Menteng, saat mengubah Lapangan Ikada yang biasa digunakan Persija menjadi Monumen Nasional (Monas) pada tahun 1961.
Sedjak djaman V.I.J sampai mendjadi PERSIDJA ini. Selama 30 tahun tentu perdjoangan Saudara-Saudara penuh dengan duka dan pengorbanan, disamping adanja suka dan kemadjuan-kemadjuan jang ditjapai.
Sjukurlah, bahwa pengorbanan perasaan jang banjak Saudara-Saudara didjaman pendjajahan dahulu sudah habis sedjak 17 Agustus 1945.
Djika mula-mula Saudara-Saudar harus puas denhan lapangan di Pulo Piun, maka sekarang Saudara-Saudara sudah mempunjai lapangan di Merdeka Timur.
Maka pesanku sekarang, tiada lain, ialah supaja Saudara-Saudara lebih giat lagi berdjoang, menjusun dan menjempurnakan organisasi Saudara-Saudara, dengan pedoman segala usahan harus untuk Kebesaran Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia, jang Saudara-Saudara turut memproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu!
Presiden Republik Indonesia
Sukarno"

Demikian petikan sebuah surat yang dikirimkan Soekarno, sang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) saat Persija Jakarta berulang tahun yang ke-30. Surat yang dikirimkan Soekarno pada tahun 1928, merupakan bagian dari pengakuan politik sepakbola cukup berpengaruh dalam perkembangan RI saat itu.
Soekarno bahkan menganggap bahwa Persija Jakarta merupakan salah satu organisasi pergerakan nasional bangsa. Hal ini pun membuat Soekarno menghadiahkan Lapangan Menteng, saat mengubah Lapangan Ikada yang biasa digunakan Persija menjadi Monumen Nasional (Monas) pada tahun 1961.
Quote:
4. Euforia Sepakbola Sebagai Daya Pikat Politik

Survei yang diadakan oleh Repucom, sebuah lembaga yang fokus dalam perkembangan olahraga, pada tahun 2014, menyebutkan bahwa Indonesia masuk 3 besar sebagai penggemar sepakbola. Riset Repucom menyebutkan, Indonesia memiliki 77 persen penduduk yang menyukai sepakbola sebagai olahraga.
Hasil ini menempatkan Indonesia sebagai bangsa nomor 2 di dunia yang menggemari sepakbola. Indonesia hanya kalah dari Nigeria, yang menurut hasil survei Repucom, 83 persen penduduknya menggilai sepakbola.
Catatan ini merupakan nilai yang cukup untuk menjadikan sepakbola berpotensi menciptakan euforia bagi masyarakat. Bahkan era Orde Baru sempat menyempalkan militer sebagai Ketua Umum PSSI.
Soeharto telah melihat bagaimana sepakbola mampu mengumpulkan puluhan ribu massa dalam satu waktu. Histeria para penggila sepakbola ini juga berpotensi sebagai pengumpul suara dalam politik praktis.

Terjemahan ini kemudian memasuki musim semi saat era reformasi. Pilkada langsung yang tercipta berkat arus reformasi menuntut para calon Kepala Daerah untuk kreatif mengumpulkan suara mereka.
Sepakbola sebagai segara besar suara tak lepas dari sasaran bidik politik. Kita masih ingat bagaimana dengan segala keterbatasan, Sutiyoso mampu mengambil hati para The Jakmania saat memenangi Pilkada DKI Jakarta selama dua periode di tahun 1997-2007.
Angin ini kemudian menjadi pilihan para penerusnya, yang ingin maju dalam Pilkada untuk mendekati basis pendukung Persija sebagai ritual khusus. Bahkan, 3 pasangan Cagub DKI Jakarta saat ini yang tengah mengikuti Pilkada 2017, memiliki cara sendiri untuk berusaha mendekati para penggila sepakbola.
Kita juga mengenal betul politik Ridwan Kamil dengan sepakbola lewat Persib Bandung. Kang Emil, sapaan akrabnya menjadi salah satu sosok yang mencoba mendekati masyarakat Bandung dengan membaur bersama para Bobotoh.

Bagi masyarakat Bandung, para pemimpinnya memang seperti diwajibkan memiliki kedekatan emosional dengan Maung Bandung. Sebelum era Kang Emil, Persib memiliki hubungan kental dengan Dada Rosada yang memimpin Bandung selama 2 periode di tahun 2003-2013.
Jauh ke barat Indonesia, saat ini masyarakat Banda Aceh juga bersiap dalam hajatan Pilkada. Persiraja Banda Aceh yang menjadi klub kebanggan wilayah tersebut pun ikut menjadi primadona untuk digoda para calon.
Dua pasangan yang tengah berkontestasi, dikabarkan mulai melirik Persiraja sebagai polesan mereka. Kedua pasangan ini kerap menyaksikan laga Persiraja yang tengah tampil di Torabika Soccer Championship (TSC) B 2016.
Bahkan, ada pula yang mencoba memberikan pencitraan lebih melalui pemberian bonus kepada para pemain. Tidak lain, hal ini diberikan untuk merayu para penggila sepakbola di kota yang dikenal dengan Serambi Mekah tersebut untuk memberikan dukungan politik di bilik suara.
Hasil ini menempatkan Indonesia sebagai bangsa nomor 2 di dunia yang menggemari sepakbola. Indonesia hanya kalah dari Nigeria, yang menurut hasil survei Repucom, 83 persen penduduknya menggilai sepakbola.
Catatan ini merupakan nilai yang cukup untuk menjadikan sepakbola berpotensi menciptakan euforia bagi masyarakat. Bahkan era Orde Baru sempat menyempalkan militer sebagai Ketua Umum PSSI.
Soeharto telah melihat bagaimana sepakbola mampu mengumpulkan puluhan ribu massa dalam satu waktu. Histeria para penggila sepakbola ini juga berpotensi sebagai pengumpul suara dalam politik praktis.
Terjemahan ini kemudian memasuki musim semi saat era reformasi. Pilkada langsung yang tercipta berkat arus reformasi menuntut para calon Kepala Daerah untuk kreatif mengumpulkan suara mereka.
Sepakbola sebagai segara besar suara tak lepas dari sasaran bidik politik. Kita masih ingat bagaimana dengan segala keterbatasan, Sutiyoso mampu mengambil hati para The Jakmania saat memenangi Pilkada DKI Jakarta selama dua periode di tahun 1997-2007.
Angin ini kemudian menjadi pilihan para penerusnya, yang ingin maju dalam Pilkada untuk mendekati basis pendukung Persija sebagai ritual khusus. Bahkan, 3 pasangan Cagub DKI Jakarta saat ini yang tengah mengikuti Pilkada 2017, memiliki cara sendiri untuk berusaha mendekati para penggila sepakbola.
Kita juga mengenal betul politik Ridwan Kamil dengan sepakbola lewat Persib Bandung. Kang Emil, sapaan akrabnya menjadi salah satu sosok yang mencoba mendekati masyarakat Bandung dengan membaur bersama para Bobotoh.

Bagi masyarakat Bandung, para pemimpinnya memang seperti diwajibkan memiliki kedekatan emosional dengan Maung Bandung. Sebelum era Kang Emil, Persib memiliki hubungan kental dengan Dada Rosada yang memimpin Bandung selama 2 periode di tahun 2003-2013.
Jauh ke barat Indonesia, saat ini masyarakat Banda Aceh juga bersiap dalam hajatan Pilkada. Persiraja Banda Aceh yang menjadi klub kebanggan wilayah tersebut pun ikut menjadi primadona untuk digoda para calon.
Dua pasangan yang tengah berkontestasi, dikabarkan mulai melirik Persiraja sebagai polesan mereka. Kedua pasangan ini kerap menyaksikan laga Persiraja yang tengah tampil di Torabika Soccer Championship (TSC) B 2016.
Bahkan, ada pula yang mencoba memberikan pencitraan lebih melalui pemberian bonus kepada para pemain. Tidak lain, hal ini diberikan untuk merayu para penggila sepakbola di kota yang dikenal dengan Serambi Mekah tersebut untuk memberikan dukungan politik di bilik suara.
Quote:
5. Mendorong Proses Kedewasaan Politik Suporter lewat Silvio Berlusconi

Angin Pilkada tidak serta merta meluluh lantakkan para pemberi dukungan. Tidak semua pendukung mau sembarangan untuk memberi suara kepada para penghajat Pilkada.
Insan The Jakmania, misalnya yang terbelah suara soal sikap dalam Pilkada. Sebagian merasa apatis bahwa para calon hanya memanfaatkan mereka sebagai sumber suara. Akan tetapi bergeming saat ditagih janjinya dalam membangun Persija Jakarta.
Sebagian lain merasa, bahwa Pilkada bisa menjadi landasan awal untuk tinggal landas membangun Persija Jakarta. Hal ini bisa menjadi proses pembelajaran politik bagi pecinta sepakbola ibu kota.

Jika merunut pada proses perjalanan NKRI, politik dan sepakbola memang berjalan mesra hingga hari ini. Akan tetapi juga tidak elok jika sepakbola dimaksimalkan sebagai kendaraan politik semata.
Tentu saja para pecinta sepakbola di sebuah wilayah tidak ingin mengulang kesialan AC Milan di bawah Silvio Berlusconi. Mantan pemilik AC Milan ini mampu melesat sebagai Perdana Menteri (PM) Italia berkat kemampuannya memoles AC Milan.
Berlusconi tercatat 3 kali menjadi PM Italia di tahun 1994, 2001, dan 2008 lalu. Saat menjadi PM Italia, Berlusconi mampu mengangkat Rossoneri ke puncak kejayaan.
Berlusconi membawa Milan merebut 5 gelar Liga Champions, 4 gelar Serie A Italia, dan 3 kali Juara Dunia Antarklub. Akan tetapi, prestasi Milan terlihat seret saat dirinya tak lagi gagah di kancah perpolitikan Italia.

Belakangan, Milan dijual kepada salah satu investor asal China. Penjualan ini merupakan puncak dari krisis yang dialami Milan usai melempemnya sang pemilik di ranah politik.
Melihat hal ini tentu saja para pendukung bisa berkaca lebih jauh agar tak terseret dalam histeria Pilkada semata. Sebuah tawaran atau ajakan politik bisa menjadi sebuah strategi yang bisa diukur secara objektif.
Prestasi memang lahir dari kerja keras dan kemauan. Tapi politik dan Pilkada dalam hal ini bisa menjadi jembatan atau pisau tikam yang jelas.
Kesadaran pendukung dalam membangun prestasi sebuah tim menjadi jangkar besar bagi sebuah klub. Akan tetapi, sosok Kepala Daerah juga menjadi puntu masuk prestasi yang bisa dilihat dari arah kebijakan yang akan dibuat.
Insan The Jakmania, misalnya yang terbelah suara soal sikap dalam Pilkada. Sebagian merasa apatis bahwa para calon hanya memanfaatkan mereka sebagai sumber suara. Akan tetapi bergeming saat ditagih janjinya dalam membangun Persija Jakarta.
Sebagian lain merasa, bahwa Pilkada bisa menjadi landasan awal untuk tinggal landas membangun Persija Jakarta. Hal ini bisa menjadi proses pembelajaran politik bagi pecinta sepakbola ibu kota.

Jika merunut pada proses perjalanan NKRI, politik dan sepakbola memang berjalan mesra hingga hari ini. Akan tetapi juga tidak elok jika sepakbola dimaksimalkan sebagai kendaraan politik semata.
Tentu saja para pecinta sepakbola di sebuah wilayah tidak ingin mengulang kesialan AC Milan di bawah Silvio Berlusconi. Mantan pemilik AC Milan ini mampu melesat sebagai Perdana Menteri (PM) Italia berkat kemampuannya memoles AC Milan.
Berlusconi tercatat 3 kali menjadi PM Italia di tahun 1994, 2001, dan 2008 lalu. Saat menjadi PM Italia, Berlusconi mampu mengangkat Rossoneri ke puncak kejayaan.
Berlusconi membawa Milan merebut 5 gelar Liga Champions, 4 gelar Serie A Italia, dan 3 kali Juara Dunia Antarklub. Akan tetapi, prestasi Milan terlihat seret saat dirinya tak lagi gagah di kancah perpolitikan Italia.

Belakangan, Milan dijual kepada salah satu investor asal China. Penjualan ini merupakan puncak dari krisis yang dialami Milan usai melempemnya sang pemilik di ranah politik.
Melihat hal ini tentu saja para pendukung bisa berkaca lebih jauh agar tak terseret dalam histeria Pilkada semata. Sebuah tawaran atau ajakan politik bisa menjadi sebuah strategi yang bisa diukur secara objektif.
Prestasi memang lahir dari kerja keras dan kemauan. Tapi politik dan Pilkada dalam hal ini bisa menjadi jembatan atau pisau tikam yang jelas.
Kesadaran pendukung dalam membangun prestasi sebuah tim menjadi jangkar besar bagi sebuah klub. Akan tetapi, sosok Kepala Daerah juga menjadi puntu masuk prestasi yang bisa dilihat dari arah kebijakan yang akan dibuat.
Quote:
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi salah satu hajatan politik yang menyapu isu dan problema domestik. Bahkan tak jarang, sepakbola ikut terbawa dalam pusaran perselingkuhan dengan momentum politik ini
Sumber Refrensi
Sumber Refrensi
Quote:
See You Next Time di trit ane selanjut nya


keep ngaskus gansis




keep ngaskus gansis



Spoiler for Jangan di bukan gansis !:
Yang lempar cendol semoga rejeki nya di mudahkan


yang bantu Rate 5 semoga urusan nya di mudahkan

yang lempar bata semoga cepet dapet hidayah

yang komen semoga ilmu nya bermanfaat

amin allahumma amin




yang bantu Rate 5 semoga urusan nya di mudahkan



yang lempar bata semoga cepet dapet hidayah



yang komen semoga ilmu nya bermanfaat



amin allahumma amin





Trit ane yang lain :
88 Tahun Persija: Bermula Kebakaran di Pasar Baru hingga Surat Cinta dari Sukarno
Pesepak Bola yang Berpotensi Jadi Pelatih Hebat
(Nostalgia) Ketika Pemain Persija Jadi Bintang di Piala AFF
Alasan Timnas Bisa Ikuti Jejak Italia Juara Dunia 2006 di Piala AFF Tahun Ini
10 Hal Ini Dapat Memicu Perang Dunia III, Apa Saja?
5 Stadion Angker yang Jadi Kuburan Indonesia di Piala AFF
Beda Nasib Rio Haryanto dan ‘Tuan Muda Konglomerat’ Sean Gelael
Antara Britpop, Fanatisme, dan Sepakbola Inggris
Pemain dan Pelatih yang Siap Menjadi Mimpi Buruk Indonesia di Piala AFF
Ini tips ampuh tembus KPR di bank
Diubah oleh approve.cc 30-11-2016 03:17
0
25.1K
Kutip
135
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan