BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menyoal inkonsistensi kebijakan migas

Ikonsistensi kebijakan minerba
Penunjukan Menteri ESDM, Ignatius Jonan dan Wakilnya Arcandra Tahar, beberapa waktu lalu, diharapkan bisa menyelesaikan banyak pekerjaan rumah lembaga tersebut. Namun, ternyata pekerjaan rumah baru pun muncul.

Bulan lalu, pemerintah mewacanakan pelonggaran larangan ekspor konsentrat yang akan diterapkan mulai Januari 2017. Alasannya antara lain, kemajuan pembangunan smelter (fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral) yang lamban, seta harga komoditas yang melemah.

Dalam penjelasan Menteri Kemaritiman dan Sumber Daya Luhut Binsar Pandjaitan, menyebut, rencana relaksasi ekspor mineral tidak akan dipukul rata ke semua komoditas. Jenis mineral mentah yang diberikan relaksasi ekspor akan dipilih terlebih dahulu.

Meski begitu, wacana tersebut mendapat penolakan dari berbagai pihak. Indonesian Smelter and Mineral Processing Association (ISPA), misalnya, meminta rencana relaksasi jangan diteruskan. Jika dilanjutkan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas investasi yang telah mereka lakukan.

Saat ini proyek smelter telah menarik setidaknya ada 17 investor asing. Nilai investasinya mencapai sekitar 13 miliar dolar AS. Pembangunan smelter, menunjukkan komitmen investor untuk mendukung semangat Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan nilai tambah produk tambang dalam negeri.

Penolakan juga datang dari beberapa LSM, seperti: Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, sebuah koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas sumber daya ekstraktif Indonesia; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi); Indonesia for Global Justice (IGJ); serta Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Mereka menengarai bila kebijakan itu dilaksanakan, akan terjadi eksploitasi besar-besaran, dan menguras cadangan mineral mentah Indonesia. Akibatnya, tentu saja akan mempercepat daya rusak lingkungan. Padahal, penataan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sedang diterapkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Selain itu mereka juga menilai kebijakan relaksasi bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya, yaitu peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri. Peraturan Menteri ESDM No 1/2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri menjelaskan hal tersebut.

Beleid tersebut juga menjelaskan ekspor konsentrat tertentu dibatasi, hingga tiga tahun sejak peraturan diterbitkan. Dengan kata lain per 12 Januari 2017, hanya mineral hasil pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang bisa diekspor.

Namun, berbagai penolakan tersebut, seperti tidak ada artinya. Pemerintah mengisyaratkan tetap memberlakukan kebijakan relaksasi ekspor mineral, dalam batas waktu tertentu.

Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono. Meski begitu tidak semua jenis mineral diperbolehkan diekspor.

Sayangnya Gatot belum menjelaskan detail kebijakan relaksasi ini. Batas waktu tertentu yang dimaksud sampai kapan, juga jenis mineral apa saja yang boleh dan tidak boleh di ekspor.

Apa boleh buat, kebijakan ini menunjukkan inkonsistensi Kementerian ESDM dalam strategi energi Indonesia. Ekspor mineral mentah, tentu hanya menguntungkan pebisnis di luar yang memiliki smelter, sementara keinginan mendapatkan nilai tambah hasil tambang yang sudah lama dijadikan kebijakan, seperti dinafikan begitu saja.

Sekadar mengingatkan, Presiden Joko Widodo sempat memberikan arahan ihwal kebijakan relaksasi. Saat memanggil Menteri ESDM Ignatius Jonan, Presiden berpesan, kebijakan yang diambil tidak berdampak negatif terhadap perekonomian, sekaligus tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang ada.

Apakah kekecewaan para pelaku industri tambang yang telah melakukan investasi di smelter, terhadap kebijakan relaksasi larangan ekspor mineral memberi dampak negatif terhadap perekonomian? Hasilnya tentu baru bisa diketahui beberapa waktu yang akan datang.

Yang pasti kekecewaan pelaku bisnis tambang dan LSM, atas kebijakan relaksasi ini akan menjadi pekerjaan rumah baru bagi kementerian ESDM. Sementara pekerjaan rumah yang lain masih terlalu banyak yang harus diselesaikan.

Salah satu pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan dalam waktu cepat adalah soal penertiban IUP. Beberapa waktu lalu, Kementerian ESDM menemukan 3.966 IUP bermasalah. Jumlah ini cukup besar, sebab yang IUP dikeluarkan ESDM sebanyak 10.041.

Bahkan ketika itu ESDM sempat mengundang KPK untuk memeriksa IUP bermasalah tersebut. Ada indikasi terbitnya IUP itu terkait korupsi. Maklum usaha pertambangan prosesnya tidak hanya di Kementerian ESDM, tapi juga di pemerintah daerah.

Pekerjaan rumah menertibkan IUP ini, sampai sekarang juga belum kelihatan hasilnya. Berikutnya ESDM kembali menemukan 3.586 IUP belum berstatus CNC (Clear and Clean).

Sesuai ketentuan sema IUP wajib mengantongi sertifikat CNC. Yang berhak mendapatkan sertifikat CNC adalah izinnya tidak tumpang tindih, melaporkan secara rutin hasil eksplorasi, studi kelayakan, dan dokumen dampak lingkungan, juga rutin membayar iuran dan royalty.

Konsekuensi IUP tanpa CNC, perusahaan susah dimonitor kepatuhan perpajakannya. Kementerian Keuangan pun pernah menyebut sektor migas, menjadi pengemplang pajak paling banyak.

Sebanyak 50 persen perusahaan pertambangan mineral dan batu bara yang tercatat tidak pernah melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajak. Pemantauan PWYP menemukan potensi kehilangan pendapatan negara akibat praktik penghindaran pajak di sektor minerba. Jumlahnya sebesar Rp235,76 triliun pada 2003-2014.

Pekerjaan rumah Kementerian ESDM tak hanya dalam urusan dengan para pelaku usaha minerba saja. Di internal pun, ada persoalan serius yang juga belum terselesaikan, yaitu minimnya jumlah inspektur tambang.

Saat ini sumber daya inspektur tambang saat ini hanya 166 personel. Padahal, idealnya mesti ada 1.000-1.300 personel. Akibat langsung kekurangan personel inspektur tambang adalah kurang intensifnya proses sertifikasi CNC. Padahal CNC berkait langsung dengan penerimaan negara, baik dari pajak maupun royalty.

Kondisi ESDM yang sedemikian rupa, menuntut duet Jona-Arcandra untuk bisa membuat prioritas penyelesaian pekerjaan rumah. Tanpa prioritas yang jelas, cap yang melekat pada Kementerian ESDM akan tetap sama. Banyak mengizinkan praktik eksploitasi sumber daya alam, namun irit memberikan kontribusi pendapatan negara.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...ebijakan-migas

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Kabar bohong merayap jelang aksi 4 November

- Penurunan Patung Buddha dan spanduk intoleran di Tanjungbalai

- Mengenang Tsar Bomba, bom nuklir terbesar yang pernah diledakkan

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
2.3K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan