DabeDreadAvatar border
TS
DabeDread
Membaca LEKRA: Digdaya Seni Indonesia
Selamat Datang! emoticon-coffee

Spoiler for Nyemil:


Thread ini ditujukan untuk membahas karya, metode hingga dinamika sebuah epos seni yang hilang dalam sejarah Indonesia, yakni Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan Realisme Sosialis ala Indonesia.

LEKRA merupakan organisasi kebudayaan dan seni progresif yang didirikan atas inisiatif anggota yang aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada 17 Agustus 1950. Namun LEKRA sama sekali terpisah dari partai tersebut,LEKRA hanya mengambil "intisari-intisari" keadilan sosial dan anti-kapitalisme dari sosialisme / komunisme, namun basis gerakannya sama sekali tidak sama dengan PKI. Bahkan, Njoto dalam berbagai kesempatan sangat menolak wacana pelekatan LEKRA sebagai underbow PKI (TEMPO 2013).

Dalam perkembangannya, A.S. Dharma yang bertindak sebagai sekertaris jenderal pertama menyatakan (dalam Mukadimah I) bahwa LEKRA didirikan demi mewujudkan Republik Indonesia yang demokratis, mengapa? Karea revolusi belumlah selesai, dan Indonesia merupakan negara berkesenian, di seluruh penjurunya terdapat seni rakyat yang melambangkan hiburan yang dapat berjalan beriringan dengan gagasan anti-kolonialisme.

Barulah pada pertengahan tahun 1950, LEKRA mulai menyajikan gagasan "realisme sosialis", sebuah seni - realisme yang menjadi moncong gerakan akar rumput Uni Soviet kala itu (walaupun Indonesia sendiri "ditengah-tengah" perang dingin USSR dan Cina). Seni ini merupakan anti-tesis dari seni-seni yang dianggap "tidak menapak" ke tanah, proyek-proyek seni neo-realis maupun romantis yang terkesan tidak sesuai dengan konteks perjuangan Indonesia pasca-kemerdekaan.

"...(bagi LEKRA) Seorang seniman yang menciptakan karya-karyanya dengan fantasi liar, bebas, tak terkekang, suka kepada eksperimen pribadi, tidak ikut organisasi, dan hanya bertumpu pada humanisme merupakan gelandangan tanpa arah." (TEMPO 2013)


LEKRA menginginkan sebuah seni yang menggelorakan semangat rakyat, menolak injeksi-injeksi paham kapitalisme, idealisme yang semu dan fana, dan menggambarkan secara nyata penderitaan dan perjuangan rakyat di berbagai pelosok Indonesia. Oleh karena itu, LEKRA memiliki "paham" 1-5-1 (Tempo 2013), yakni:

a. 1 = Angka satu yang pertama berbunyi "Politik sebagai panglima". Njoto dalam pidatonya di Kongres LEKRA mengatakan bahwa politik dan kebudayaan mesti diletakkan pada tempat yang semestinya. "Kekeliruan besar mempersilakan kebudayaan berjalan sendiri, polos, tanpa bimbingan politik," tulisnya kala itu. Politik dalam hal ini dimaknai sebagai cara dan orentasi berpikir, bukan organisasi atau partai politik.

b. 5 = Prinsip pertama itu selanjutnya menjadi pondasi pelaksanaan lima kombinasi kerja dalam berkesenian: memadukan kreativitas individu dengan kearifan massa. Tujuannya supaya karya seni tidak bertentangan dengan cita-cita rakyat, meluas dan meninggi, sebaran karya seni mesti melebar dan tetap unggul di kualitas, tinggi mutu artistik dan ideologi, karya seni mesti mampu memadukan ideologi sebagai isi dan keindahan sebagai bentuknya, memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner, artinya memadukan tradisi yang positif dengan cita-cita modern, memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner.

c. 1 = Sedangkan angka satu terakhir berarti turun ke bawah atau "turba" yang menjadi metode pelaksanaan dari seluruh prinsip sebelumnya. Seniman Lekra diwajibkan untuk blusukan, membaur dan hidup bersama rakyat untuk bisa mengetahui kondisi dan keinginan rakyat

Dengan (klaim) LEKRA yang menyatakan telah memiliki 100 ribu anggota di 200 cabang di seluruh Indonesia pada tahun 1963, adalah sebuah keniscayaan jika mereka menjadi sebuah tunggangan politik yang seksi. LEKRA mampu merangkul "buruh-buruh" seni, khususnya para penulis, pematung, pelukis hingga pemain ketoprak. Metode 1-51 yang diterapkan oleh LEKRA juga menjadikannya sangat dekat dengan rakyat pedesaan, seperti tulisan / drama dari J.J Kusni yang menulis tentang perjuangan petani dalam mengkalim lahan-lahan rakyat, yang akhirnya dimatangkan dalam sebuah karya berjudul "Api di pematang". Demikian dengan kelompok ketoprak Kridomardi, yang mengubah sudut pandang Bandung Bondowosoyang pada awalnya merupakan kisah tentang pembuatan seribu candi, menjadi kisah kerja paksa yang menindas rakyat.

Pada intinya rakyat diajak "melihat" realitas kemiskinan dan penindasan tak nampak yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia. Dikemas dalam berbagai bentuk, menjadikan karya-karya LEKRA merupakan salah satu "wajah utama" Seni Indonesia pada era 1950-1965. Walaupun terdapat pergolakan dan dinamika (seperti konflik laten terkait Manifesto Kebudayaan), para seniman-seniman seperti Pramodeya Ananta Toer, Hendra Gunawan, Djoko Pekik, Amrus Natalsya, Sobron Aidit, Putu Oka, Lilik M, dsb.merupakan seniman-seniman hebat yang karyanya tidak akan pernah mati dilintas jaman.

Mari berdiskusi!


* Melepas Dahaga oleh Amrus Natalsya


Code:
Sumber:
Mustafa, Ardita. 2015. Seniman Lekra, Besar dan Terhapus dari Sejarahnya Sendiri. [Portal Berita Online]. Dapat dikutip melalui: http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150929200551-241-81689/seniman-lekra-besar-dan-terhapus-dari-sejarahnya-sendiri/
TEMPO - Tim Liputan Khusus LEKRA. 2013. Lekra dan Geger 1965. Jakarta [ID]: KPG
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria, Dahlan, Muhidin M. Laporan dari Bawah: Sehimpun Cerita Pendek LEKRA Harian Rakjat 1950-1965. Yogyakarta [ID]: Merakesumba
0
3.1K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan