- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Setengah Tahun Perjalanan 'Gudang Raksasa' Ciptaan Pemerintahan Jokowi


TS
InRealLife
Setengah Tahun Perjalanan 'Gudang Raksasa' Ciptaan Pemerintahan Jokowi
http://finance.detik.com/berita-ekon...intahan-jokowi

Pusat Logistik Berikat
Selain berusaha menarik kembali uang orang Indonesia dari Spore, sekarang barang orang Indonesia di Spore pun ditarik. Tapi memang, perbaikan logistik nasional tidak hanya perlu jalan: gudang juga perlu. Semoga rencana ini bisa menurunkan biaya logistik nasional.

Pusat Logistik Berikat
Quote:
Rabu 19 Oct 2016, 07:39 WIB
Setengah Tahun Perjalanan 'Gudang Raksasa' Ciptaan Pemerintahan Jokowi
Maikel Jefriando - detikFinance
Jakarta - Pada Maret 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengimplementasikan paket kebijakan ekonomi jilid II yang terkait dengan Pusat Logistik Berikat (PLB). Ini ditandai dengan peresmian PLB di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, Jakarta.
PLB adalah sejenis gudang raksasa. Bersifat multifungsi, modern, luas, dan terotomasi untuk menimbun barang dengan mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk dan Pajak dalam rangka impor (PDRI) dan fasilitas operasional lainnya.
"Ini sebenarnya ditunggu lama, sejak beberapa tahun yang lalu," ungkap Dirjen Bea Cukai, Heru Pambudi, kepada detikFinance, Senin (17/10/2016).
Munculnya kebijakan PLB berawal dari buruknya kondisi logistik nasional. Dwell time atau waktu bongkar muat di pelabuhan sangat tinggi, yaitu di atas 4,3 hari, sementara negara lain hanya 1 hari. Biaya logistik mencapai 24% dari total PDB atau Rp 1.820 triliun per tahun. Angka tersebut diketahui menjadi yang paling tinggi di dunia. Sehingga wajar, industri dalam negeri menjadi tidak kompetitif dan sulit bersaing dengan hasil produksi dari negara lain.
"Presiden kemudian memerintahkan kepada DJBC untuk memikirkan satu skema pusat logistik Indonesia yang bisa menjadi pilihan bagi pelaku bisnis untuk menimbun barangnya dengan bebas bea masuk dan pajak impor sebelum dikeluarkan untuk konsumsi," paparnya.
Selama ini, Heru menyatakan, kalangan dunia usaha memilih untuk menyimpan barang di Singapura dibandingkan langsung dibawa ke Indonesia. Dengan cara itu, perusahaan bisa lebih efisien dari sisi belanja operasional. Contoh, alat-alat berat untuk aktivitas pertambangan seperti traktor dan eskavator. Barang tersebut, bila dibeli satuan dari negara lain tentu akan lebih mahal dibandingkan pembelian 20 sekaligus.
Maka perusahaan tetap akan membeli dalam jumlah besar, kemudian menyimpan di Singapura. Barang yang akan dibawa ke Indonesia hanya sesuai kebutuhan. Misalnya dua atau tiga unit saja. Negara tetangga tersebut menawarkan area sebagai gudang untuk menimbun barang tanpa dikenakan bea masuk, atau pun pajak impor. Barang baru akan dikenakan biaya (bea dan pajak) setelah keluar dari gudang.
"Kalau dibawa semua ke Indonesia, begitu sampai Tanjung Priok, keluar dari pelabuhan kan kena bea masuk dan pajak impor. Nah padahal mungkin cuma 2 (digunakan).Sementara kalau dia bayar 20 tentu berat," terangnya.
"Jadi taruh di Singapura karena tidak bayar bea masuk dan pajak impor. Hanya sewa gudang saja. Nanti kalau butuh 2, dia ambil dari Singapura baru bawa ke Kalimantan misalnya," ujar Heru.
Format yang sama kemudian dibawa ke Indonesia dengan mana PLB. Pemerintah yakin banyak dunia usaha yang akan tertarik. Indikasi utamanya adalah pasar yang besar. Ada sekitar 257 juta penduduk dan Indonesia sekarang juga tengah dalam proses pembangunan.
Dunia usaha pastinya mendapat banyak keuntungan. Paling jelas bahwa sisi cashflow, karena dapat membeli secara parsial dari PLB. Kemudian keuntungan dari segi biaya, karena barang yang dibeli dari PLB hanya dikenakan pajak 1 layer, yaitu pajak impor saja. Adanya efisiensi lalu lintas barang, karena dengan semua fleksibilitas yang dimiliki, masuk dan keluar barang dari PLB dapat dilakukan dengan lebih cepat.
"Sama persis seperti barang ditaruh di Singapura. Nggak bayar bea masuk dulu atau pajak impor. Bahkan di sana pemasoknnya lapor, bukan saat di luar negeri. Bisa juga cek barang di sana. Pokoknya itu seakan-akan di luar negeri," jelasnya.
Untuk mendirikan PLB, ada beberapa prosedur yang harus dilewati. Dimulai dengan permohonan ke KPPBC tempat perusahaan berlokasi. Selanjutnya pengecekan syarat administratif dan pemeriksaan lapangan. Bila sesuai, maka diteruskan ke Kantor Pusat untuk kemudian pimpinan perusahaan diundang untuk sesi pemaparan proses bisnis. Syarat terpenuhi, izin diterbitkan. Prosesnya 10 hari kerja.
PLB, pada prinsipnya dibuka untuk seluruh sektor. Akan tetapi pada tahap awal, memang diutamakan untuk barang modal dan barang penolong. Nantinya secara bertahap akan dilanjutkan dengan barang konsumsi.
Reputasi perusahaan yang ingin mendapatkan PLB juga menjadi pertimbangan. Heru akan memantau rekam jejak perusahaan dalam aktivitas ekspor impor serta bisnis di dalam negeri. Ini bertujuan agar risiko pelanggaran aturan bisa diminimalisasi. Sedangkan untuk pemain baru, akan disediakan waktu untuk konsultasi dalam pelaksanaan PLB.
"Tentunya karena ini adalah fasilitas, maka verifikasi dilakukan secara betul-betul," imbuhnya.
Heru memastikan tidak ada pelonggaran pengawasan. Barang tetap akan diawasi dari hulu ke hilir. Mulai dari kapal datang membawa kontainer, kemudian dibongkar, masuk ke penimbunan sementara, hingga keluar dari pelabuhan sampai ke PLB. Seluruhnya akan bersifat pengawasan fisik maupun elektronik.
Pengawasan lainnya adalah terkait pajak. DJBC telah bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk kecocokan data wajib pajak sebagai pelaku logistik. Kepada wajib pajak yang dianggap berisiko, maka akan ada peningkatan pengawasan.
Berjalan selama enam bulan, PLB terbukti sangat diminati kalangan dunia usaha. Dari yang awalnya 11 PLB, sekarang sudah menjadi 24 PLB. Ini tersebar dari berbagai wilayah, baik di Jakarta, Merak, Karawang, Subang, Denpasar, Surabaya, Kepulauan Riau, Medang, Balikpapan, hingga Sorong.
Sektor yang tersedia juga beragam, yakni pertambangan, minyak dan gas bumi (migas), tekstil, bahan kimia, otomotif, dan makanan dan minuman. "Bagaimana progres ke depan, wah yang antre sekarang banyak. Karena jelas hitungannya," tegas Heru.
Heru meyakini program ini akan berkembang dengan sangat cepat. Bahkan ada semacam bisnis baru yang bisa dijalankan oleh PLB, yaitu jasa layanan antar barang atau delivery service. Konsumen hanya perlu memesan barang, pihak PLB yang akan mengimpor barang dan langsung mengantarkan ke lokasi konsumen.
"Nanti ke depan, ini ada bisnis lanjutan. Jadi semacam GoFood. Sehingga PLB itu bisa one stop service. Di samping dia menimbun juga bisa mengantar," ungkapnya.
Pemerintah akan membuktikan keseriusan lewat komitmen dan konsistensi. Walau sekalipun harus berhadapan dengan Singapura yang punya banyak cara agar gudang-gudang tersebut tidak pindah ke Indonesia. Kembali pada tujuannya, pemerintah ingin biaya logistik di Indonesia bisa serendah mungkin.
"Indonesia diharapakan menjadi pusat logistik untuk suplai barang ke market kita, kawasan ASEAN. Bahkan kita berharap Indonesia menjadi logistic center untuk internasional," tandasnya. (mkl/wdl)
Setengah Tahun Perjalanan 'Gudang Raksasa' Ciptaan Pemerintahan Jokowi
Maikel Jefriando - detikFinance
Jakarta - Pada Maret 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengimplementasikan paket kebijakan ekonomi jilid II yang terkait dengan Pusat Logistik Berikat (PLB). Ini ditandai dengan peresmian PLB di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, Jakarta.
PLB adalah sejenis gudang raksasa. Bersifat multifungsi, modern, luas, dan terotomasi untuk menimbun barang dengan mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk dan Pajak dalam rangka impor (PDRI) dan fasilitas operasional lainnya.
"Ini sebenarnya ditunggu lama, sejak beberapa tahun yang lalu," ungkap Dirjen Bea Cukai, Heru Pambudi, kepada detikFinance, Senin (17/10/2016).
Munculnya kebijakan PLB berawal dari buruknya kondisi logistik nasional. Dwell time atau waktu bongkar muat di pelabuhan sangat tinggi, yaitu di atas 4,3 hari, sementara negara lain hanya 1 hari. Biaya logistik mencapai 24% dari total PDB atau Rp 1.820 triliun per tahun. Angka tersebut diketahui menjadi yang paling tinggi di dunia. Sehingga wajar, industri dalam negeri menjadi tidak kompetitif dan sulit bersaing dengan hasil produksi dari negara lain.
"Presiden kemudian memerintahkan kepada DJBC untuk memikirkan satu skema pusat logistik Indonesia yang bisa menjadi pilihan bagi pelaku bisnis untuk menimbun barangnya dengan bebas bea masuk dan pajak impor sebelum dikeluarkan untuk konsumsi," paparnya.
Selama ini, Heru menyatakan, kalangan dunia usaha memilih untuk menyimpan barang di Singapura dibandingkan langsung dibawa ke Indonesia. Dengan cara itu, perusahaan bisa lebih efisien dari sisi belanja operasional. Contoh, alat-alat berat untuk aktivitas pertambangan seperti traktor dan eskavator. Barang tersebut, bila dibeli satuan dari negara lain tentu akan lebih mahal dibandingkan pembelian 20 sekaligus.
Maka perusahaan tetap akan membeli dalam jumlah besar, kemudian menyimpan di Singapura. Barang yang akan dibawa ke Indonesia hanya sesuai kebutuhan. Misalnya dua atau tiga unit saja. Negara tetangga tersebut menawarkan area sebagai gudang untuk menimbun barang tanpa dikenakan bea masuk, atau pun pajak impor. Barang baru akan dikenakan biaya (bea dan pajak) setelah keluar dari gudang.
"Kalau dibawa semua ke Indonesia, begitu sampai Tanjung Priok, keluar dari pelabuhan kan kena bea masuk dan pajak impor. Nah padahal mungkin cuma 2 (digunakan).Sementara kalau dia bayar 20 tentu berat," terangnya.
"Jadi taruh di Singapura karena tidak bayar bea masuk dan pajak impor. Hanya sewa gudang saja. Nanti kalau butuh 2, dia ambil dari Singapura baru bawa ke Kalimantan misalnya," ujar Heru.
Format yang sama kemudian dibawa ke Indonesia dengan mana PLB. Pemerintah yakin banyak dunia usaha yang akan tertarik. Indikasi utamanya adalah pasar yang besar. Ada sekitar 257 juta penduduk dan Indonesia sekarang juga tengah dalam proses pembangunan.
Dunia usaha pastinya mendapat banyak keuntungan. Paling jelas bahwa sisi cashflow, karena dapat membeli secara parsial dari PLB. Kemudian keuntungan dari segi biaya, karena barang yang dibeli dari PLB hanya dikenakan pajak 1 layer, yaitu pajak impor saja. Adanya efisiensi lalu lintas barang, karena dengan semua fleksibilitas yang dimiliki, masuk dan keluar barang dari PLB dapat dilakukan dengan lebih cepat.
"Sama persis seperti barang ditaruh di Singapura. Nggak bayar bea masuk dulu atau pajak impor. Bahkan di sana pemasoknnya lapor, bukan saat di luar negeri. Bisa juga cek barang di sana. Pokoknya itu seakan-akan di luar negeri," jelasnya.
Untuk mendirikan PLB, ada beberapa prosedur yang harus dilewati. Dimulai dengan permohonan ke KPPBC tempat perusahaan berlokasi. Selanjutnya pengecekan syarat administratif dan pemeriksaan lapangan. Bila sesuai, maka diteruskan ke Kantor Pusat untuk kemudian pimpinan perusahaan diundang untuk sesi pemaparan proses bisnis. Syarat terpenuhi, izin diterbitkan. Prosesnya 10 hari kerja.
PLB, pada prinsipnya dibuka untuk seluruh sektor. Akan tetapi pada tahap awal, memang diutamakan untuk barang modal dan barang penolong. Nantinya secara bertahap akan dilanjutkan dengan barang konsumsi.
Reputasi perusahaan yang ingin mendapatkan PLB juga menjadi pertimbangan. Heru akan memantau rekam jejak perusahaan dalam aktivitas ekspor impor serta bisnis di dalam negeri. Ini bertujuan agar risiko pelanggaran aturan bisa diminimalisasi. Sedangkan untuk pemain baru, akan disediakan waktu untuk konsultasi dalam pelaksanaan PLB.
"Tentunya karena ini adalah fasilitas, maka verifikasi dilakukan secara betul-betul," imbuhnya.
Heru memastikan tidak ada pelonggaran pengawasan. Barang tetap akan diawasi dari hulu ke hilir. Mulai dari kapal datang membawa kontainer, kemudian dibongkar, masuk ke penimbunan sementara, hingga keluar dari pelabuhan sampai ke PLB. Seluruhnya akan bersifat pengawasan fisik maupun elektronik.
Pengawasan lainnya adalah terkait pajak. DJBC telah bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk kecocokan data wajib pajak sebagai pelaku logistik. Kepada wajib pajak yang dianggap berisiko, maka akan ada peningkatan pengawasan.
Berjalan selama enam bulan, PLB terbukti sangat diminati kalangan dunia usaha. Dari yang awalnya 11 PLB, sekarang sudah menjadi 24 PLB. Ini tersebar dari berbagai wilayah, baik di Jakarta, Merak, Karawang, Subang, Denpasar, Surabaya, Kepulauan Riau, Medang, Balikpapan, hingga Sorong.
Sektor yang tersedia juga beragam, yakni pertambangan, minyak dan gas bumi (migas), tekstil, bahan kimia, otomotif, dan makanan dan minuman. "Bagaimana progres ke depan, wah yang antre sekarang banyak. Karena jelas hitungannya," tegas Heru.
Heru meyakini program ini akan berkembang dengan sangat cepat. Bahkan ada semacam bisnis baru yang bisa dijalankan oleh PLB, yaitu jasa layanan antar barang atau delivery service. Konsumen hanya perlu memesan barang, pihak PLB yang akan mengimpor barang dan langsung mengantarkan ke lokasi konsumen.
"Nanti ke depan, ini ada bisnis lanjutan. Jadi semacam GoFood. Sehingga PLB itu bisa one stop service. Di samping dia menimbun juga bisa mengantar," ungkapnya.
Pemerintah akan membuktikan keseriusan lewat komitmen dan konsistensi. Walau sekalipun harus berhadapan dengan Singapura yang punya banyak cara agar gudang-gudang tersebut tidak pindah ke Indonesia. Kembali pada tujuannya, pemerintah ingin biaya logistik di Indonesia bisa serendah mungkin.
"Indonesia diharapakan menjadi pusat logistik untuk suplai barang ke market kita, kawasan ASEAN. Bahkan kita berharap Indonesia menjadi logistic center untuk internasional," tandasnya. (mkl/wdl)
Selain berusaha menarik kembali uang orang Indonesia dari Spore, sekarang barang orang Indonesia di Spore pun ditarik. Tapi memang, perbaikan logistik nasional tidak hanya perlu jalan: gudang juga perlu. Semoga rencana ini bisa menurunkan biaya logistik nasional.
0
5.3K
Kutip
32
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan