BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menimbang kerugian dari pemangkasan tarif interkoneksi

Direktur Network Telkomsel, Sukardi Silakahi (kedua kiri) melakukan pemeriksaan BTS Telkomsel di sekitar lokasi banjir bandang di Mekar Asih, Kampung Cimacan, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat, Kamis (22/9/2016) untuk memastikan kondisi jaringan beroperasi dengan normal.
Rencana pemerintah untuk menetapkan biaya interkoneksi secara simetris dinilai akan berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Salah satunya adalah praktik predatory pricing atau berlomba-lomba memasang tarif serendah-rendahnya.

Memang, jika dilihat sepintas, tarif murah tersebut menguntungkan bagi konsumen. Namun, jangka panjangnya praktik ini bisa mengorbankan kepentingan konsumen yang lebih luas.

Melalui praktik predatory pricing, para operator seluler akan menurunkan tarif pembicaraan serendah-rendahnya, yang kemudian berimplikasi pada margin keuntungan operator yang semakin tipis.

"Ketika rugi, mereka tidak bayar pajak ke negara. Akhirnya tidak ada penerimaan yang seharusnya bisa digunakan untuk belanja publik," ujar Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (11/10/2016).

Prastowo menduga, perang tarif tersebut dipicu oleh rencana penentuan tarif interkoneksi yang menggunakan metode simetris, yang besaran tarifnya dibuat sama antara satu operator dengan yang lain, tanpa memperhitungkan investasi yang sudah dikeluarkan operator.

Sebagai catatan, pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, tengah menyusun revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang mengatur active network sharing (berbagi jaringan aktif) dan batas atas tarif interkoneksi.

Dalam surat edaran tentang Implementasi Biaya Interkoneksi Tahun 2016 dinyatakan secara rerata biaya interkoneksi turun 26 persen bagi 18 skenario panggilan untuk jasa seluler. Dalam surat tersebut acuan biaya interkoneksi terbaru Rp204 per menit dari Rp250 per menitnya.

Tarif interkoneksi adalah biaya yang harus dibayar operator asal kepada operator yang dituju dalam percakapan, SMS juga MMS telepon lintas operator. Interkoneksi terdiri dari 18 jenis, dari seluler ke seluler, seluler ke telepon tetap, seluler ke telepon satelit, juga sebaliknya.

"Kominfo sebaiknya menetapkan harga interkoneksi secara asimetris berbasis ongkos pemulihan dan coverage masing-masing operator secara berimbang," sambungnya.

Pasalnya, sektor telekomunikasi tidak mengenal biaya pemulihan (cost recovery) layaknya sektor pertambangan.

Prastowo menganalogikan perang tarif ini seperti yang terjadi di sektor transportasi berbasis aplikasi. "Pemain ridesharing datang, membuat harga tak wajar ke pelanggan. Mereka injeksi modal terus hingga bisa beri tarif di bawah pokok. Memang merugi, tapi dapat pasar," ujarnya.

Ketika perusahaan merugi, maka secara tidak langsung negara juga akan merugi karena kehilangan penghasilan dari PPh badan dan kontribusi PPN, dan PNBP yang seharusnya dibayarkan provider tadi.

Estimasi perhitungan terjadinya kerugian atas keuntungan industri ini mencapai Rp14 triliun per tahun. Kondisi itu juga akan berakibat pada penurunan penerimaan PPN sebesar Rp1,4 triliun (10 persen dari Rp14 triliun), PPh Badan sebesar Rp599 miliar (25 persen dari 14 triliun), dan PNBP sebesar Rp245 miliar (1,75 persen dari Rp14 triliun).

Dampak lain yang mungkin terjadi adalah multiplier effect karena turunnya capital expenditure (capex) dan operating expenditure (opex). Di samping itu, penerapan kebijakan network sharing yang diatur dalam PP tersebut harus dilakukan dengan cermat melalui sejumlah pertimbangan.

Belum lagi komitmen kewajiban pembangunan jaringan masing-masing operator berbeda meski mendapatkan lisensi frekuensi yang relatif sama.

Di beberapa negara, network sharing digunakan sebagai insentif untuk pembangunan jaringan telekomunikasi di wilayah pedesaan, daerah jarang penduduk, dan atau nonkomersial hingga hanya ditujukan bagi penyelenggara telekomunikasi baru.

Malaysia misalnya, hanya untuk operator yang berpotensi pada pita frekuensi dan teknologi berbeda. Di Eropa, network sharing dengan komitmen membangun operator sama besar dan mayoritas di rural area. Sementara di India, hanya maksimum dua operator dan harus ada dua operator lainnya yang beroperasi pada pita frekuensi tersebut.

Prastowo menyebutkan, beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah perbedaan kontribusi investasi antar provider dan kemungkinan pembatasan waktu penerapan skema berbagi jaringan aktif dan kewajiban lainnya.

Karena itu, menurutnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan bisa menerapkan harga interkoneksi secara asimetris. Penetapan itu berbasis pada ongkos pemulihan dan jangkauan masing-masing operator secara berimbang.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...f-interkoneksi

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Ahok minta maaf kepada umat muslim, apa kata netizen?

- Dokumen kematian Munir lenyap, siapa yang bertanggung jawab?

- 'Simsalabim' Dimas Kanjeng

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.9K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan