Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ardisutrisnoAvatar border
TS
ardisutrisno
[Telaah] Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas
Rencana pemerintah menurunkan harga gas untuk industri menghadapi setumpuk masalah. Rantai persoalannya memanjang, dari hulu hingga hilir. Padahal, Presiden Joko Widodo mematok tenggat penurunan harga gas bulan depan lantaran rencana itu sudah masuk dalam paket kebijakan ekonomi setahun lalu.

[Telaah] Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas


Dalam rapat terbatas kabinet mengenai harga gas untuk industri di kompleks Istana Jakarta, Selasa (4/10) pekan lalu, Presiden kembali menyoroti tingginya harga gas di dalam negeri sehingga mengganggu perekonomian. Rata-rata harga gas bumi di Indonesia mencapai US$ 9,5 per juta British Thermal Unit (mmbtu). Bahkan, ada yang harganya US$ 11-12 per mmbtu.

Bandingkan dengan beberapa negara jiran, seperti Vietnam hanya US$ 7 per mmbtu, Malaysia US$ 4 per mmbtu, dan Singapura US$ 4 per mmbtu. Padahal, Indonesia mempunyai potensi cadangan gas bumi yang sangat banyak. Sebaliknya, Vietnam, Malaysia, Singapura tergolong negara pengimpor gas bumi.

“Jangan sampai produk industri kita kalah bersaing hanya gara-gara masalah harga gas kita yang terlalu mahal,” kata Jokowi dalam rapat terbatas itu.

Kepada para peserta rapat, yaitu Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Polhukam Wiranto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Plt Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito, Presiden meminta melakukan langkah-langkah konkret, seperti memotong rantai pasokan, agar harga gas bisa diturunkan tanpa mengganggu iklim investasi di hulu minyak dan gas bumi (migas).

Jokowi pun mematok target harga gas berkisar US$ 5-6 per mmbtu pada akhir November nanti. “Syukur-syukur di bawah itu,” katanya.

Patokan target itu seakan sebuah ultimatum Presiden kepada para bawahannya lantaran tingginya harga gas telah menjadi masalah menahun. Padahal, rencana penurunan harga gas sudah masuk dalam paket kebijakan ekonomi jilid III yang dirilis 7 Oktober tahun lalu.

Saat itu, Darmin menyatakan, harga gas untuk industri akan diturunkan sesuai dengan kemampuan industri masing-masing. Caranya dengan melakukan efisiensi pada sistem distribusi gas serta pengurangan penerimaan negara. Namun, kebijakan ini tidak akan mempengaruhi besaran penerimaan yang menjadi bagian kontraktor migas.

Penurunan harga gas untuk industri tersebut akan efektif berlaku mulai 1 Januari 2016. Dengan begitu, industri bisa memperoleh dorongan untuk memacu usahanya di tengah kondisi perlambatan ekonomi sejak tahun lalu.

Namun, hingga kini –genap setahun usia paket kebijakan ekonomi itu---penurunan harga gas tak kunjung terealisasi. Pemerintah selama ini bukannya berpangku tangan. Berbagai rapat melibatkan menteri-menteri terkait digelar dan sejumlah aturan sudah digodok dan diterbitkan.

Misalnya, pada 3 Mei lalu, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi. Isinya adalah, jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri dan lebih tinggi dari US$ 6 per mmbtu, Menteri ESDM dapat menetapkan harga gas bumi tertentu.”Harga miring” gas ini dinikmati oleh tujuh industri, yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.

Selain itu, muncul Peraturan Menteri ESDM No.16 Tahun 2016 yang merupakan turunan dari Perpres Nomor 40 tahun 2016. Aturan itu menyatakan, penurunan harga gas mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berlaku surut sejak 1 Januari 2016.

Lagi-lagi, aturan itu tak kunjung berjalan karena Menteri ESDM menanti daftar industri yang disetujui oleh Menteri Perindustrian untuk menikmati hargas gas rendah tersebut. Belakangan, daftar itu diserahkan namun ada tambahan jumlah industrinya. Padahal, Perpres No. 40 dan Permen ESDM No. 16 hanya mencantumkan tujuh industri yang bisa menikmati harga gas murah.

Sumber Katadata di pemerintahan menyatakan, Menteri Perindustrian juga memasukkan empat industri tambahan, yaitu industri ban dan sarung tangan karet; kertas dan bubur kertas; makanan dan minuman dan industri alas kaki. "Long list selalu lebih baik dari short list. Kami usul industri yang dapat rekomendasi menjadi 10," kata Airlangga, seperti dikutip Kompas.com (15/8).

Tak cuma itu, Menteri BUMN Rini Soemarno ikut-ikutan memasukkan industri farmasi. Artinya, ada 11 macam industri yang direkomendasikan mendapatkan harga gas yang murah. Jika rekomendasi Menteri Perindustrian dituruti, maka akan ada 52 perjanjian kontrak jual beli gas (PJBG) yang harus diubah. Selain itu, perlu merevisi Perpres No. 40 dan Permen ESDM No. 16.

Airlangga juga meminta penurunan harga gas turut berlaku untuk harga di atas US$ 4 per mmbtu, atau tidak hanya US$ 6 per mmbtu. Namun, kalau itu dilakukan, pemerintah bisa tidak memperoleh penerimaan sama sekali dari kontrak bagi hasil di sektor hulu migas.

“Bagian negara dari penjualan gas sesuai dengan kontrak PSC (bagi hasil produksi) tidak mencukupi untuk mengurangi harga gas yang ada,” ujar Direktur Pembinaan Program Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi. Berdasarkan simulasi SKK Migas, penurunan harga gas industri pada PJBG di atas US$ 4 per mmbtu akan mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Gas sebesar US$ 474,9 juta.

Hulu hingga ke hilir

Upaya menurunkan harga gas untuk industri bukan perkara mudah karena mencakup rantai yang banyak dan panjang. Jika dibedah per sektor, yaitu hulu, midstream dan hilir, maka masing-masing menyimpan masalah sehingga harga gas tinggi. Alhasil, para pelaku usaha di setiap sektor itu saling adu kuat agar marginnya tak menciut gara-gara penurunan harga gas. Karena itu, ke depan, Kementerian ESDM berencana menyusun ulang formula harga gas. Kedua, mengaudit biaya operasi kegiatan hulu migas, penyederhanaan proses bisnis dan percepatan eksekusi proyek sehingga menciptakan efisiensi. Ketiga, formulasi ulang kebijakan pemanfaatan hasil gas bumi untuk menggerakkan ekonomi.

Jika harga gas di hulu ditekan, maka bisa berujung pada berkurangnya nilai keekonomian dari suatu proyek yang diperoleh kontraktor migas. Sedangkan kalau margin di midstream ditekan, bakal memantik protes para trader gas yang balik menuding harga gas di hulu yang kemahalan. Adapun, pelaku industri ogah membeli gas kalau harganya kemahalan.

Padahal, harga gas di hulu sulit ditekan karena menggunakan rumus harga tetap dengan persentase eskalasi tahunan alias tidak mengikuti harga minyak bumi. Rumus ini dibuat sebagai insentif ketika harga minyak di atas US$ 60 per barel. Namun, saat harga minyak rendah saat ini, perhitungan harga gas itu malah menjadi disinsentif.

Karena itu, ke depan, Kementerian ESDM berencana menyusun ulang formula harga gas. Kedua, mengaudit biaya operasi kegiatan hulu migas, penyederhanaan proses bisnis dan percepatan eksekusi proyek sehingga menciptakan efisiensi. Ketiga, formulasi ulang kebijakan pemanfaatan hasil gas bumi untuk menggerakkan ekonomi.

Persoalan lainnya adalah, harga gas di hilir merupakan harga gas hulu ditambah toll fee atau biaya pipa dan distribusi hingga ke pembeli akhir. Menurut Agus, harga gas di hilir ditetapkan oleh badan usaha dan hanya biaya pipa yang ditetapkan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas. Jadi, harga gas berpotensi naik tinggi ketika sampai di hilir.

Selain itu, rata-rata biaya distribusi gas bumi masih tinggi, yakni US$ 2 per mscf. Lewat revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 tahun 2009, pemerintah berencana mengatur biaya kegiatan midstream dan downstream alias tarif distribusi tersebut.

Besaran tarifnya berdasarkan batasan maksimal tingkat pengembalian investasi/Internal Rate of Return (IRR) infrastruktur dan margin niaga. Tarif penyaluran ini juga dibedakan antara badan usaha yang memiliki infrastruktur dan badan usaha yang menyewa infrastruktur.

Di sektor hilir, Agus juga menyoroti penjualan gas melalui trader atau badan usaha bertingkat. Sudirman Said, Menteri ESDM terdahulu, pernah menyebut hanya 25 persen dari 60 badan usaha penyaluran gas bumi, yang memiliki infrastruktur gas.

Hal inilah yang ditengarai turut menyebabkan harga gas tinggi ketika sampai ke tangan konsumen akhir. Ke depan, Menko Perekonomian mempercepat masa transisi kewajiban pembangunan infrastruktur oleh trader gas dari dua tahun menjadi sampai akhir 2016. Artinya, jika sampai 1 Januari 2017 tak membangun infrastruktur maka para trader itu tidak akan mendapatkan alokasi gas.

Saling tuding

Ketua Indonesian Natural Gas Trader (INGTA) Sabrun Jamil Amperawan menolak anggapan bahwa harga gas mahal karena ulah para trader. “Masalahnya bukan di kami, masalahnya di hulu,” kata dia kepada Katadata, akhir pekan lalu.

Sebaliknya, dia mengklaim, para trader turut meringankan beban pemerintah. Sebab, sebelum ada trader, tidak ada yang mau masuk ke dalam bisnis gas lantaran masalah infrastruktur. Belakangan, dalam 10 tahun terakhir, para trader bermunculan untuk memasok kebutuhan gas kapasitas kecil sebesar 0,5 juta kaki kubik per hari (mmscfd).

Menurut Sabrun, salah satu penyebab mahalnya harga gas untuk industri adalah margin yang diambil BUMN terlalu besar. Dari 29 perusahaan anggota INGTA, marginnya tidak lebih dari US$ 1 per mmbtu, kecuali ada permintaan khusus lain dari industri maka bisa mencapai 5 persen.

Sedangkan margin yang diperoleh BUMN mencapai US$ 2,5-3 per mmbtu. Hal ini sangat mempengaruhi harga karena pangsa pasar distribusi gas oleh BUMN mencapai 80 persen. “Margin itu terlalu besar, tapi tidak pernah disinggung. Yang disinggung itu ‘trader kertas’ perdagangan bertingkat,” katanya.

Ia pun menyodorkan tiga usulan agar harga gas lebih rendah. Pertama, margin BUMN harus dipotong. Kedua, pengaturan kembali harga gas di hulu. Ketiga, membuka keran impor agar harga gas lebih murah.

Selengkapnya: Katadata News
0
1.2K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan