Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ardisutrisnoAvatar border
TS
ardisutrisno
Rambu-Rambu Perusahaan Startup agar Bernapas Panjang
Daftar perusahaan perintis (startup) di Indonesia yang rontok di tengah jalan bertambah panjang. Setelah startup layanan pembelian dan pengantaran makanan Foodpanda menutup bisnisnya Senin lalu (3/10), YesBoss juga berencana menghentikan layanan asisten virtualnya mulai akhir Oktober nanti. Padahal, Foodpanda bernaung di bawah Rocket Internet, perusahaan peternak startup internasional, dengan permodalan kuat dan sudah beroperasi beberapa tahun.

Rambu-Rambu Perusahaan Startup agar Bernapas Panjang


Sejak awal tahun ini, juga ada beberapa startup yang menyerah dan menutup usahanya. Antara lain HaloDiana, Shopious, Ensogo, dan Rakuten. Sedangkan tahun lalu, seperti diberitakan Tech in Asia, setidaknya ada tujuh startup yang berhenti beroperasi. Jika ditilik lebih jauh, beberapa startup itu sudah beroperasi lebih dari tiga tahun, didukung pemodal kuat, dan jaringan internasional, seperti Rakuten dan Foodpanda.

Namun, ketersediaan modal --- yang selama ini dianggap sebagai isu utama bagi perusahaan perintis untuk mulai naik kelas-- ternyata bukan jaminan untuk melanggengkan bisnisnya. Pengajar mata kuliah Business Financing di Prasetiya Mulya Business School, Nico Fernando Samad, mengidentifikasi kelemahan-kelemahan startup dari tiga sudut pandang. “Pertama, dari startup sendiri,” katanya kepada Katadata, Kamis (6/10) lalu.

Dari sisi startup, menurut dia, kelemahannya adalah kurangnya daya juang para pendirinya. Selain itu, model bisnis yang dijalankan kurang sesuai, serta minimnya kemampuan eksekusi.

Kedua, dari kekuatan yang ada di pasar. Nico menjelaskan, para pendiri perusahaan perintis seharusnya memperhatikan berbagai aspek di lingkungan industrinya untuk memperkuat usaha. Aspek itu meliputi para pesaingnya, pembeli produk atau jasanya, serta para pemasok atau vendor yang bermain di industri tersebut.

Selain itu, memantau para pendatang baru startup yang mengincar peluang masuk, serta mengamati substitusi dari produk yang ditawarkan industri tersebut.

Ketiga, dari sisi pendanaan dan penetrasi pasar. Menurut Nico, ketepatan memilih waktu masuk ke pasar (timing to market) menjadi penting, terutama saat pasar sedang rentan. Jika produk memasuki pasar ketika calon pembeli belum membutuhkannya, maka akan terjadi kegagalan pemasaran produk. "Namun, keterlambatan memasuki pasar juga membuat semua kue sudah habis terbagi," ujarnya.

Ia pun mengingatkan pentingnya peran akses pada pendanaan agar pemilik startup bisa mendongkrak skala (scale up) penjualan produk atau jasanya. Misalnya, ada startup dengan model bisnis yang bagus, seperti membuat perhiasan perak dari pengolahan kembali bahan limbah industri. Produk ini kemudian dipasarkan kepada pembeli yang peduli pada seni dan lingkungan.

“Startup ini memiliki diferensiasi produk, selain dari pemuliaan limbah, juga tidak mengandung nikel seperti pada perhiasan lainnya,” kata Nico. Pembeli produk seperti ini umumnya berasal dari luar negeri, yang memang mensyaratkan model bisnis tersebut. Selain itu dari sisi timing to market, model seperti ini tepat karena tren daur ulang, konsep hijau dan semacamnya sedang berkembang.

Skema permodalan

Meski begitu, para pendiri startup masih sering menghadapi kesulitan dalam menggalang dana untuk meningkatkan usahanya, membangun jaringan pemasaran, serta merekrut sumber daya manusia. Permasalahan itu akan timbul ketika para pendiri sudah menemukan waktu yang tepat untuk masuk ke pasar.

Nico memaparkan berbagai pilihan permodalan yang bisa dimanfaatkan startup. Ada pendanaan dengan model boot strapping, family-friends-and-fools, grants, prizes, hingga angel investor dan venture capital, serta perbankan. (Baca: Pengembangan Startup Hadapi Persoalan Regulasi)

Sayangnya, sering terjadi salah kaprah karena startup ingin mendapatkan pendanaan dari perbankan. Nico menilai, hal ini nyaris tidak mungkin dilakukan karena startup, baik dengan basis digital maupun nondigital, tidak layak pendanan bank (bankable).

Banyak persyaratan perbankan yang gagal dipenuhi startup. Misalnya, jaminan. Secara umum, startup belum memiliki aset yang dapat diagunkan untuk menggaet pinjaman bank. Selain itu, karakter maupun profil pendiri startup juga belum dikenal perbankan, sehingga sulit mendapatkan kredit.

Karena itu, para pendiri sebaiknya fokus dahulu pada pendanaan lain yang tersedia sebelum mengembangkan startup agar bankable. Menurut Nico, ada secercah harapan ketika pemerintah membuka kesempatan bagi startup kategori Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2016 tentang permodalan perseroan terbatas.

Melalui peraturan tersebut, bentuk perseroan terbatas bisa didirikan dengan modal di bawah Rp 50 juta. Dengan begitu, bentuk badan hukum ini memungkinkan startup memperoleh akses pendanaan ke perbankan.

Di sisi lain, Nico memberikan catatan terhadap permodalan dari angel financing atau venture capital. Ada bermacam-macam tipe angel atau malaikat., mulai dari yang sekadar chip in atau patungan modal, hingga memberikan dukungan penuh pendanaan bagi startup tersebut.

“Mulai dari seperti malaikat penyelamat, hingga 'setan pencabut nyawa'. Demikian pula pada modal ventura atau venture capital,” ujar Nico.

Ia juga mengungkapkan potensi tarik-menarik kepentingan antara pendiri dan pemilik modal utama dalam hal imbalan, kontrol, risiko, serta besaran dana. Para pendiri perlu pandai-pandai memilih sumber pendanaan dan jejaring tentang aturan hukum, agar tidak terberlit masalah dalam pendanaan pihak ketiga.

Memahami pasar

Deputi Bidang Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Fajar Hutomo juga mengingatkan pentingnya permodalan bagi startup. “Terkait permodalan, sangat berlaku adagium cash is the king,” ujarnya.

Ia mengibaratkan arus kas atau cashflow dalam suatu entitas usaha sebagai darah dalam tubuh manusia. Jika darah habis, maka manusia akan mati. Begitu pula yang terjadi dalam bisnis. Karena itu, kemampuan pengelolaan keuangan penting dimiliki oleh para founder startup.

Ia menilai ketidakmampuan startup bertahan selama ini karena sudah gagal mendatangkan pendapatan operasional dan hanya mengandalkan pemasukan dari pemodal. Padahal, selain permodalan, market validation merupakan tahap yang harus senantiasa dilakukan, bukan hanya di masa awal pendirian.

Fajar menjelaskan, pasar memiliki sifat dinamis, dengan permintaan dan persoalan yang selalu berubah. “Apakah produk kita selalu meet on demand (dibutuhkan) dan solving the problem (menjawab permasalahan)?” katanya.

Pertanyaan seperti ini harus terus diulang agar produk maupun layanan bisnis yang dijalankan bisa berjalan langgeng. Dalam tahap ini, proses penelitian dan pengembangan (research and development / R&D) berperan untuk memperoleh masukan dalam mengambil keputusan untuk pengembangan usaha.

Fajar pun mengingatkan, para founder startup harus membekali diri dengan kekuatan mental serta mindset. Kesuksesan dalam menjalankan usaha rintisan bukanlah one night success, melainkan dibangun dari jerih payah, jatuh bangun, serta kegagalan demi kegagalan.

Ketika kesuksesan sudah diraih, kata Fajar, jangan pernah merasa sukses. Ia menjelaskan, ketika para pendiri merasa telah mencapai puncak kesuksesan, di situlah awal kegagalan dimulai. Ada kemungkinan para pendiri yang merasa sudah berada di puncak, kemudian berhenti melakukanm pengembangan. Sementara, para pesaingnya terus bergerak dan berinovasi.

Salah satu founder startup di industri busana, Cotton Ink, Ria Sarwono menceritakan proses bisnis yang dijalaninya sejak berdiri delapan tahun lalu dan bisa terus eksis hingga sekarang. Ketika itu, ia dan rekannya, Carline Darjanto, tidak mempersiapkan banyak hal dan hanya bermodal ide.

Pada masa-masa awal berdiri, Cotton Ink tumbuh secara organik dengan modal Rp 1 juta. Tanpa proses R&D, mereka memanfaatkan media sosial Facebook untuk berjualan pakaian merek sendiri. Dalam perjalanannya, usaha tersebut menemui tantangan dalam produksi dan mencari sumber daya manusia yang berkualitas.

Saat ini, tantangan yang dihadapi adalah ekspansi pasar. Cotton Ink kini telah memiliki gerai offline di Plaza Senayan, Jakarta. Meski demikian, Ria menolak jika Cotton Ink dikatakan sukses. “Ketika saya dan Carline sudah tidak ada, tapi Cotton Ink masih tetap bertahan, itu baru berhasil,” katanya.

Ria mengaku, membuat bisnis itu gampang. Namun, mengembangkan dan mempertahankannya bukan perkara mudah.

Sumber: Katadata
0
779
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan