Kaskus

News

mol1605Avatar border
TS
mol1605
Panas! Koalisi Pendukung Ahok Jalan Sendiri-sendiri
Panas! Koalisi Pendukung Ahok Jalan Sendiri-sendiri


Jakarta - Baru saja mendaftarkan diri ke KPU DKI, pasangan cagub DKI Basuki Thajaha Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat menghadapi guncangan internal di parpol pendukung. Memang belum pecah, namun parpol koalisi jalan sendiri-sendiri, bakal mengganggu langkah Ahok-Djarot? Memang dari mulai pendaftaran cagub terlihat ada salah satu parpol yang seolah ingin terlihat menjadi 'pemilik' Ahok. Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang ikut mendaftarkan Ahok ke KPU bahkan memakaikan jas merah ke Ahok. Semakin jelas PDIP ingin punya tempat sendiri di tim pemenangan Ahok-Djarot. Bahkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bicara soal rencana partai banteng moncong putih ini membentuk tim pemenangan sendiri.Rupanya hal ini memancing reaksi keras dari parpol yang lebih awal mendeklarasikan dukungan ke Ahok yani Golkar dan NasDem. Sekjen Golkar Idrus Marham langsung mengingatkan PDIP bahwa tak boleh ada parpol yang dominan dan itu justru kontrakproduktif buat Ahok-Djarot yang sebenarnya menurut sejumlah survei masih jadi pasangan terkuat saat ini."Yang harus dipahami PDIP, kemenangan Ahok-Djarot bisa dicapai bila rasa kebersamaan ada, kalau tidak ada kebersamaan, masing-masing partai ingin dominan ini kontraproduktif, tanpa kebersamaan pasangan Ahok-Djarot sulit dimenangkan, apalagi pasangan lain cukup bagus," ujar Idrus usai menghadiri Rapat Pleno Pengurus DPD I Golkar Sulsel di kantornya, Jalan Botolempangan, Makassar, Minggu (25/9/2016).Tak hanya Golkar yang bereaksi. Anggota Dewan Pakar Partai NasDem Taufiqulhadi menyebut seluruh partai koalisi yang mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat harus bersinergi.NasDem tak mempersoalkan kalau PDIP membentuk tim pemenangan sendiri. Tapi tak bisa kalau empat parpol pengusung yakni PDIP, Golkar, NasDem, dan Hanura jalan sendiri-sendiri."Tidak berjalan nafsi-nafsi (sendiri-sendiri). Jika bersatu pasti lebih mudah memenangkan. Jangan nafsi-nafsi," kata Taufiqulhadi dalam perbincangan, Senin (26/9/2016)."Yang terpenting juga adalah tidak kontraproduktif satu sama lain," sambungnya.Lalu apakah gesekan halus di antara parpol pengusung Ahok ini bakal berpengaruh ke pemenangan Ahok di Pilgub DKI?


http://news.detik.com/berita/d-33066...=ShareWhatsapp

komen :ajgmj

Panas! Koalisi Pendukung Ahok Jalan Sendiri-sendiri


Merdeka dari Penjajahan Elit Politik

*Artikel ini merupakan tulisan opini Resmi dari Teman Ahok

Ada yang tidak pernah berubah sejak negara ini merdeka 70 tahun yang lalu, bahkan jauh sebelum merdeka-pun masih seperti itu. Bahwa bangsa ini tidak pernah dipegang oleh rakyatnya, sebagai pemilik yang sah. Bahwa nusantara ini dikuasai oleh sekelompok orang yang berkuasa penuh terhadap jalannya negara sebagai entitas politik.

Ketika zaman kolonial jelas, kuasa itu berada pada asing. Sekelompok pengusaha yang bernama VOC pada awalnya, sebelumnya digantikan oleh pendudukan Kerajaan Belanda yang menentukan kepemimpinan rakyat sampai di tingkat terendah. Bahkan Gubernur Jendral sampai Karesidenan (pejabat dibawah Gubernur Jendral diatas Bupati) masih harus merupakan pihak Belanda.

Merdekanya kita sebagai sebuah negara sendiri sejujurnya tidak memberikan perubahan pada kemerdekaan politik. Perpindahannnya kekuasaan hanya dari satu kelompok ke kelompok lain, tidak kepada rakyat. Masa pemerintahan orde lama, otomatis tidak ada kekuasaan rakyat yang benar-benar jadi penentu. Hasil Pemilu 1955 misalnya, yang dianggap sebagai salah satu pemilu paling demokratis di negeri ini gagal jadi manifestasi kekuasaan rakyat, dan tidak berpengaruh pada struktur kepemimpinan nasional.

Situasi orde lama masih bisa kita pahami, bahwa saat itu golongan intelektual sangat terbatas. Angka buta huruf masih terlalu tinggi, serts negara ini masih belajar bernegara dan memiliki pemerintahan sendiri. Kepercayaan penuh kepada pemimpin dan organisasi yang rata-rata masih didorong idealisme membuat kepercayaan rakyat tetap penuh pada pemimpin, sehingga ini masih dapat terus melaju.

Serupa tapi tak sama, hal ini masih berulang di masa orde baru. Sejarah Indonesia mencatat tidak adanya Pemilu demokratis yang dilakukan oleh pemerintah Orba. Suara rakyat dipakai dihegemoni sebagai legitimasi pemerintah yang sudah ada. Tidak pernah ada yang benar-benar tahu apa suara rakyat pada kurun waktu 32 tahun. Seperti hidup segan mati tak mau, Partai Politik (Parpol) sebagai satu-satunya wadah berdemokrasi rakyat dibuntungkan hak dan suaranya.

Harapan itu baru ada disaat era Reformasi. Otonomi Daerah dan Pemilihan Langsung mulai dilaksanakan. Parpol bebas berdiri, mengikuti Pemilu, dan otomatis memiliki kekuasaan politik. Sisi positifnya, kekuasaan jadi terpecah-pecah. Yang semula terpusat pada satu orang atau satu partai, sekarang menjadi lebih imbang.

Namun ternyata itu tidak mengubah apa-apa dimata masyarakat. Kekuasaan juga tidak berpindah ke tangan mereka. Orde yang paling baru ini memang memperkuat posisi partai politik yang memang dijamin undang-undang sebagai wadah demokrasi. Akan tetapi dalam perkembangannya, Parpol gagal menjadi perwujudan kehendak rakyat. Parpol berkembang menjadi pusat kekuasaan sendiri yang dimiliki oleh elit-elit politiknya sendiri.

Kita bisa saja mengetes diri pribadi masing-masing dan orang sekitar (yang bukan anggota Parpol) dengan menanyakan Partai Politik mana yang masih bisa dipercaya. Hasilnya tentu tidak jauh dengan hasil survey mengkonfirmasi Parpol tidak lagi dipercaya oleh rakyat. Bahkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat menjadi lembaga yang paling tidak dipercayai ketika menjalankan fungsinya.

Masih segar diingatan kita ketika DPR mencoba mengambil alih kekuasaan rakyat dengan merampok Hak Rakyat memilih kepala Daerah. Terlalu kentara, bahwa Parpol hendak memperkuat posisi politiknya dan memperlemah hak rakyat. Atas dosa ini juga, Ahok langsung memutuskan hubungan dengan Partai Gerindra. Meskipun kemudian hal ini gagal, rakyat semestinya tidak boleh lupa.

Selain perampokan, DPR sebagai wakil rakyat juga ternyata tidak banyak bekerja untuk rakyat, kecuali atas kepentingan Parpol. Pada tahun 2015 sampai bulan ini (Agustus), DPR belum menelorkan satupun Undang-Undang kecuali UU Pilkada yang merupakan kewajiban atas masalah yang mereka buat sendiri. Itu pun dengan memuat banyak kepentingan parpol.

Salah satu yang berubah adalah, syarat memajukan calon Independen (Perseorangan). Jalur ini memungkinkan seseorang pemimpin tidak perlu menyembah ke Partai Politik untuk dapat menjadi pemimpin rakyat. Pemimpin tersebut jika menang tidak perlu merasa berhutang pada Parpol dan bisa bebas dari kebijakan yang dicampuri oleh kepentingan Parpol.

Dalam UU tersebut, yang diturunkan oleh KPU ke Peraturan KPU no.9 tahun 2015, Calon perseorangan diminta mengumpulkan 7,5% KTP dari rakyat yang memiliki penduduk enam sampai 12 juta penduduk. Naik sekitar 4% dari UU sebelumnya. Jika kita masukkan data ini ke DKI Jakarta misalnya, DPR menginginkan 750 ribu KTP untuk maju. Ini menjadikan jika pengumpulan KTP ini berhasil, maka calon Independen itu harus menjadi partai pemenang Pemilu Kedua di DKI, melewati Gerindra yang hanya mempunyai 592ribu suara pada Pemilu lalu di DKI.

Adil dan tidaknya peraturan buatan Parpol itu tentu perlu diuji, Fadjroel Rahman dkk. hari ini tengah menguji UU tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun yang perlu kita garisbawahi dan syukuri Jalur Independen sebagai jalur non Parpol itu belum disunat.

Teman Ahok disini mencoba menjadikan jalur Independen sebagai pelajaran bagi Partai Politik sekaligus pendidikan politik bagi warga Jakarta. Bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, masyarakat Jakarta bisa lepas dari kepentingan penguasa dan memegang kekuasaannya sendiri.

Pertama kalinya, bukan berarti baru kali ini Jalur Independen ada di Republik. Kita bisa mencatat serangkaian nama Kepala Daerah yang terpilih perseorangan, Aceng Fikri dari Garut misalnya. Tapi ini yang lebih khusus, ini pertama kalinya seorang Gubernur petahana bisa maju lewat partai politik, dan bahwa Pejabat terpilih nanti tidak bermain mata dengan Parpol jaminannya adalah pribadi seorang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Pemimpin seperti Ahok sangat jarang dan langka. Tidak untuk menyebutkan bahwa Ahok adalah pemimpin ideal, tapi kami melihat Ahok sebagai orang yang cocok untuk memimpin Ibukota. Ketegasan dan keberaniannya sudah terbukti dan mulai memperlihatkan hasil, dan yang paling memberikan harapan adalah sikap anti korupsi Ahok dan kemampuan mengatakan tidak pada kelompok kelompok penguasa elit politik di Jakarta.

Kami tidak akan membahas panjang kenapa anda harus ikut bergabung bersama kami. Sosok Ahok sudah terlalu terbuka untuk dikampanyekan. Dukungan kepada Ahok tidak bisa dipaksakan, akan muncul seiring dengan hasil yang dilihat dan mulai untuk jujur kepada sendiri. Lepas dari kacamata SARA dan merdeka sejak dari pikiran sendiri.

Bagi kami, untuk pertama kalinya di Indonesia, bagi kami, Kemerdekaan Politik dimana masyarakat sebagai penguasa bisa diwujudkan di Jakarta. Dan saat ini kami mengumpulkan KTP warga DKI Jakarta secara sukarela untuk mewujudkan mimpi tersebut. Bahwa warga DKI bisa menginspirasi seluruh Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan yang belum pernah kita dapat sejak kita merdeka. Merdeka dari kepentingan elit politik, Merdeka untuk mencalonkan pemimpin sendiri yang pasti tidak disukai oleh Partai Politik.

Dan tiket menuju Kemerdekaan itu sekarang ada di dompet anda masing-masing. Tiket Kemerdekaan itu bernama Kartu Tanda Penduduk. KTP tidak lagi kita pakai sebagai tanda bahwa kita bangsa yang merdeka. KTP bisa kita pakai untuk memerdekakan diri kita. (TAD)
0
1.2K
12
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan