- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Setan Pun Tinggal di Kota Ini


TS
bigbullshit
Setan Pun Tinggal di Kota Ini

Korban pembunuhan di San Pedro Sula
Quote:
Di San Pedro Sula, kota terbesar kedua di Honduras, nyawa kadang hanya sama harganya dengan kostum tim sepak bola. Dua putra Geraldina mati ditembak anggota geng Megalocos hanya lantaran ribut-ribut soal kostum tim sepak bola.
Berandal-berandal itu tak suka kedua anak laki-laki Geraldina mengenakan kaus tim sepak bola asal Kota Tegucigalpa, Club Deportivo Olimpia. Klub asal ibu kota Honduras itu merupakan seteru bebuyutan Club Deportivo Marathon, yang bermarkas di San Pedro Sula. Dua putra Geraldina, 19 tahun dan 22 tahun, mati sia-sia hanya gara-gara urusan sepele itu.
Nelson, putra sulung Geraldina, memilih kabur dari geng-geng kriminal di San Pedro dan lari ke Amerika Serikat. Malang nasib pemuda itu, Nelson tertangkap razia imigrasi dan dipulangkan ke kampungnya. Di San Pedro, anggota geng sudah menunggunya. Anak perempuan Geraldina menjadi saksi mata eksekusi keji terhadap kakaknya. “Mereka datang ke rumah menyumpalkan pistol ke mulut anak perempuanku dan mengancamnya supaya tidak banyak bicara,” kata Geraldina.
Bahaya sudah lekat dengan kehidupan sehari-hari San Pedro Sula. Sejak 2011, menurut data yang dikumpulkan Citizen Council for Public Security, Justice and Peace, San Pedro merupakan kota paling berbahaya di dunia. Di siang bolong pada akhir tahun lalu, enam orang bersenjata datang ke terminal San Pedro, naik bus demi bus, dan membunuh delapan sopirnya.
Pada 2013, di antara 100 ribu penduduk, terjadi 187 kasus pembunuhan. Dengan jumlah penduduk San Pedro dan sekitarnya sekitar 1,5 juta orang, dalam setahun terjadi lebih dari 2.800 pembunuhan atau delapan orang mati dibunuh setiap hari. Bahkan beberapa hari berturut-turut pada Agustus tahun lalu, lebih dari 100 orang mati dibunuh di San Pedro.
Ibu kota Provinsi Cortes itu membuat kota-kota “berbahaya” di Amerika Serikat, seperti Saint Louis, Detroit, dan Baltimore, tampak bak surga. “Bahkan setan sendiri pun tinggal di kota ini,” kata Lucas, petugas kamar mayat di salah satu rumah sakit di San Pedro, kepada Guardian. Setiap hari, nyaris tak ada waktu rehat sejenak bagi Lucas dan kawan-kawannya. Mayat demi mayat datang susul-menyusul. “Orang-orang di sini membunuh orang lain seperti menyembelih ayam.”
Jalan-jalan sempit di San Pedro sudah lama menjadi “medan perang” antargeng, terutama di antara dua geng besar Mara Salvatrucha alias MS-13 dan 18th Street alias Barrio 18. Lembaga penyalur bantuan pemerintah Amerika Serikat (USAID) menaksir ada lebih dari 36 ribu warga Honduras yang menjadi anggota geng kriminal. Di tengah-tengah kemiskinan, peluru malah jadi seperti barang murah. “Hampir tiap hari terjadi baku tembak di antara mereka,” kata Petronila, warga San Pedro.
Korban terus berjatuhan. Sebagian besar anak-anak muda itu mati sia-sia. Vladimir Nunez adalah saksi matanya. Dokter Nunez merupakan spesialis forensik di sebuah rumah sakit di Kota San Pedro Sula. Setiap hari, Dokter Nunez menuturkan kepada wartawan Telegraph, paling tidak ada lima atau enam mayat korban pembunuhan yang dikirim ke ruangannya. Kadang, tak ada keluarga yang datang menjemput mayat-mayat itu. Pada 2014, ada 700 mayat korban pembunuhan di Rumah Sakit San Pedro yang tak diurus oleh keluarganya. Jika korbannya saja tak terurus, jangan berharap pelakunya bakal pernah sampai ke meja pengadilan.
“Hanya sepersepuluh kasus pembunuhan yang diinvestigasi polisi. Sisanya lupakan saja,” kata Dokter Nunez.Dengan jumlah kasus pembunuhan sebanyak itu, memang hampir mustahil bagi polisi dan Dokter Nunez untuk adu cepat dengan semua kasus yang masuk dan mengumpulkan bukti satu per satu. “Kami tak punya kemampuan, tak punya sumber daya dan logistik, untuk mengumpulkan semua bukti di pengadilan bagi kasus-kasus pembunuhan itu.”
Tak mengherankan jika sebagian besar kasus pembunuhan itu lewat begitu saja di koran-koran. Hari ini ditulis, besok sudah dilupakan dan ditimpa dengan kasus pembunuhan lain. “Sebagian besar korban pembunuhan itu masih belia…. Sungguh menyedihkan. Mereka tak pernah tahu seperti apa masa depannya,” kata Dokter Nunez. Tak perlu alasan penting untuk mati di San Pedro Sula. “Bahkan seorang perempuan yang salah memilih warna cat rambut saja bisa mati dibunuh anggota geng,” kata Supaya Martinez, aktivis hak perempuan di Honduras, kepada Irish Times.
Maribel, 30 tahun, dan keluarganya sudah ribuan kilometer jaraknya dari rumah mereka di San Pedro Sula. Sejak beberapa bulan lalu, setelah melalui perjalanan sangat panjang melewati Meksiko, Maribel bersama ketiga anaknya yang masih kecil—Miguel, Carlos, dan Alejandro—sampai juga di Los Angeles, Amerika Serikat. Tapi ketiga anak itu masih tetap trauma dengan kejadian yang menimpa ayah mereka.
Pada Desember 2013, sekelompok anggota geng menyambangi rumah Maribel. Sembari memangku si bungsu Alejandro, Javier, suami Maribel, menemui mereka. Geng itu menginginkan rumah tersebut untuk operasi penyelundupan narkotik. Tapi Javier menolak permintaan mereka. Tanpa banyak omong lagi, salah satu anggota geng, mencabut pistolnya dan memuntahkan pelurunya ke kepala Javier, persis di depan mata Alejandro yang masih kecil. Mendengar suara tembakan, Miguel dan Carlos keluar dari kamar. Mereka menyaksikan ayahnya terkapar berkubang darah. “Sekarang ayahku ada di surga,” Miguel, dikutip PRI, mengenang ayahnya. Matanya merah menahan air mata.
Bertahun-tahun menyandang gelar “kota paling berbahaya di dunia”, setahun lalu “gelar” San Pedro Sula digeser oleh Caracas, ibu kota Venezuela. Sejak meninggalnya Presiden Hugo Chavez, Caracas terjun bebas dalam kekacauan. Sebaliknya, dengan sokongan bantuan dana dari Amerika Serikat, pemerintah Honduras terus berperang melawan Mara Salvatrucha, Barrio 18, Los Tercerenos, Ponce, dan geng-geng kriminal lain.
Rasa aman masih jadi barang mewah di San Pedro Sula, tapi jumlah jenazah yang dikirim ke kamar mayat sudah berkurang. Salah satu orang yang punya jasa dalam menekan angka pembunuhan di San Pedro adalah Pastor Daniel Pacheco. Dengan sokongan dana dari Amerika, Daniel membuat rupa-rupa kegiatan, salah satunya bermain sepak bola bersama antara anak-anak asuhannya di Casa de la Esperanza atau Rumah Harapan melawan anggota geng Los Tercerenos.
Satu anggota Los Tercerenos yang ikut pertandingan sesumbar telah membunuh 121 orang. Tapi di lapangan sepak bola, tak ada pistol, tak ada peluru, hanya ada bola yang diperebutkan. “Jika anggota-anggota geng ini pulang, mereka akan segera tidur karena sudah kecapekan. Tak ada yang akan mereka bunuh malam ini,” kata Daniel, kepada New York Times, beberapa pekan lalu. “Dan kalau mereka sering bertemu di lapangan sepak bola, makin sedikit yang akan mereka anggap sebagai musuh.”
bersyukurlah, kota jakarta yg skrg ini .... msh jauh dr sikon yg spt di san pedro sula, di honduras tsb.....





anasabila dan sebelahblog memberi reputasi
2
3.1K
Kutip
22
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan