Kaskus

News

loungerkaskusAvatar border
TS
loungerkaskus
Imunisasi dan Komunitas Anti Vaksin
Kampanye sporadis diupayakan oleh pemerintah, melalui gerakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) untuk menciptakan Indonesia bebas Polio. Iklan dan promosi bertebaran, televisi, radio, dan segala plakat, berharap PIN yang diselenggarakan 8-15 Maret sukses menarik minat anak bangsa.


Namun tak dipungkiri, semeriah apapun seruan negara, PIN tak bakalan dapat menarik 100 persen dari usia imunisasi untuk mendapatkan vaksin. Kendala geografis, azas prioritas, sekadar lupa, dan bahkan terdapat komunitas yang anti terhadap penggunaan vaksin. Benar, terdapat sebagaian masyarakat Indonesia yang menolak menerima atau memberikan anggota keluarganya untuk mendapatkan imunisasi vaksin.


Anti vaksin, kategori (I) adalah komunitas yang memiliki kecurigaan berlebih kepada pemerintah, sistem kesehatan, dan bisnis farmasi. Berpijak pada teori konspirasi yang beranggapan imunisasi adalah kebohongan, penyebab ketergantungan pada obat modern, bahkan menyatakan vaksinasi merupakan sumber petaka kesehatan.

Untuk kategori (II) anti vaksin, ini merupakan komunitas masyarakat yang menolak vaksinasi karena alasan teologis, berseberangan dengan keimanan, dilarang dalam kepercayaannya. Sementara kategori (III) adalah gabungan kategori (I) dan (II).

Di luar negeri gerakan anti vaksin kategori (I), banyak terdapat di negara barat. Vaksin sesuatu yang jahat, penuh konspirasi, penyebab penyakit, suatu pernyataan yang tak didasari prinsip keilmuan, menggunakan sampel random dari beberapa kejadian untuk dipelintir bagi kepentingan gerakan ini.

Sementara untuk Indonesia, gerakan anti vaksin cenderung kategori (II), dan bahkan kategori (III). Sejujurnya jauh lebih sulit melakukan pendekatan jika gerakan anti vaksin karena alasan teologis dengan bersandarkan teori konspirasi.

Alasan teologis adalah alasan untuk selalu benar dengan segala dalil pembenaran, meski membahayakan diri, keluarga, orang sekitar, dan lingkungannya. Tentu debatable, dapat diperdebatkan, karena banyak pula yang memiliki tafsir teologis sebaliknya, yang mendukung penggunaan vaksin demi kesehatan dan menyelamatkan jiwa.


Semakin parah jika alasan telogis anti vaksin, bersandar pada teori kospirasi, paranoia akut, mental bahwa dunia dan segala isinya penuh akan kejahatan yang akan menghancurkan diri dan komunitas.

Bagaimanapun, pilihan komunitas tertentu menolak imunisasi/ vaksinasi harus dihargai sebagai hak kebebasan berpikir dalam pilihan. Tentu saja sepanjang tidak membahayakan atau berisiko pada kesehatan lingkungannya.

Dalam dunia kesehatan, dapat dipastikan, tidak semua manusia dapat menerima perlakuan medis, termasuk imunisasi, penyebabnya adalah tubuh tak menerima zat tersebut yang mengakibatkan efek alergi, ini berdampak minor sampai tingkat mematikan. Dengan metode modern, sistem terukur, kejelian praktisi kesehatan, hal-hal tersebut dapat dihindari.


Dapat dibayangkan, untuk melindungi orang yang alergi terhadap vaksin dari penyakit yang seharusnya, hanya bisa dilakukan jika orang disekitarnya menjadi sehat karena menerima imunisasi.

adi Imunisasi tak hanya melindungi diri namun juga orang sekitar. Sesuatu yang masuk akal ketika komunitas anti vaksin merasa sehat meski tak mendapat imunisasi, ini disebabkan masyarakat sekitar mereka melindungi dengan menerima vaksinasi. Namun tetap saja, tanpa vaksin mereka dan keluarganya berisiko tinggi terhadap penyakit yang bisa dicegah.

- Kelompok Anti Vaksin -


Gerakan anti vaksin, gerakan relatif tanpa argumen saintifik yang teruji. Pandangan yang didasari rasa curiga yang berlebihan pada pengambil kebijakan. Dogma gosip, percakapan warung kopi, kritis tak berisi.

Gerakan serupa hampir dipastikan ada disetiap negara, dari negara maju Amerika Serikat, sampai negara berkembang seperti Indonesia. Meski dilatarbelakangi banyak alasan, namun semuanya bersandar pada teori konspirasi, teorinya para penyangkal.

Vaksin bagi kelompok ini, menyebabkan banyak penyakit, bahkan dapat berakibat autisme pada anak-anak. Yup, tudingan yang didasari dari studi Dr Andrew Wakefield yang diterbitkan pada 1998, yang ternyata memanipulasi data, dan kemudian dicabut ijin medisnya.

Wakefield sendiri merupakan ahli bedah, tak memiliki latar belakang vaksinologi, kecurangan dan manipulasinya diumumkan dalam majalah kedokteran Inggris British Medical Journal Februari 2011. Banyaknya 'intelek' yang menjabarkan kampanye hitam pada program imunisasi dan penggunaan vaksin, sejatinya tidak memiliki dasar keilmuan yang relevan. Terbitan buku, majalah, analisa koran, dilakukan oleh orang yang bukan ahli vaksin, namun para statistikus, psikolog, sarjana hukum, dan bahkan wartawan.

Uniknya, meski tak mendapat dukungan riset abad 21, terkini, para anti vaksin tak sungkan memajang karya era 50-an yang tak satu pun merupakan ahli vaksin. Diantaranya, biostatiska Dr Greenberg, Karya psikolog Dr Rimland, kolumnis Dr William Hay, Homeopatik Dr Moskowitz, Bakteriologis Bernice Eddy, dan lainnya. Semuanya karya era perang dingin. Seakan hilang akal, argumen konyol pun digunakan, seperti anti vaksin menghindari anak dari kontaminasi zat kimia dan pernyataan kekebalan alami lebih baik. Semuanya adalah senyawa kimia, bahkan air yang diminum merupakan ikatan kimia H2O, garam NaCl, udara oksigen O2.

[B]Argumen di atas juga digunakan kalangan kontra vaksin dengan alasan teologis, alasan religius, anggapa program imunisasi dan penggunaan vaksin tak sesuai dengan keimanan. Tentunya terdapat pula bumbu-bumbu teori konspirasi.


Sebagai contoh, komunitas Kristiani Quakers di Inggris dan komunitas Baptist di Swedia. Filosofi dasarnya adalah, tubuh adalah rumah Tuhan, dengan demikian penggunaan vaksin yang dikatakan berasal dari zat kotor, kuman dan virus, merupakan pencemaran atas filsafat tersebut.


Tentu saja pemikiran tersebut menjadi hak, sepanjang tidak membahayakan orang lain dan lingkungannya. Patut dicatat adalah, penemu vaksin, Edward Jenner, mendapat dukungan dari rekannya pendeta ternama inggris, Rowland Hill, pada abad 18. Penggunaan pertamakali inokulasi bagi mengantispasi cacar mematikan variola di wilayah Massachusetts, Amerika Serikat, juga seorang pendeta, Cotton Mather. Sejarah juga mencatat, misionaris Katolik dan Anglikan melakukan vaksinasi saat wabah cacar variola menyerang pesisir Baratlaut India, pada 1862.

Namun tetap saja, dalam tafsirnya, komunitas Saksi Jehovah, tidak menyarankan umatnya untuk menerima vaksin. Bahkan komunitas tersebut pernah memberikan larangan keras tentang vaksinasi pada 1931 - 1952, meski kemudian mencabutnya, dan bersikap sedikit membebaskan pengikutnya.

Beberapa aliran kepercayaan seperti komunitas Christian Science dan juga Congregation of Universal Wisdom, tetap melarang pengikutnya untuk mendapat vaksinasi, meski tanpa didukung alasan keilmuan yang kuat.

Penyakit bukanlah sesuatu yang mulia, dalam konsep teologis penyakit diberikan agar kita melakukan upaya/ ikhtiar untuk menyembuhkan. Belajar dan mengambil hikmah dari sakit itu kecerdasan, namun menikmati sakit, jelas merupakan kelainan.

Sementara sebagian umat Yahudi Ortodoks juga mempermasalahkan Vaksin, karena bertentangan dengan Kashrut, hukum religius dalam tata cara konsumsi mereka. Yakni isu penggunaan elemen bio babi dalam katalisator pembuatan vaksin. Babi sendiri merupakan hewan yang Treif alias haram untuk dikonsumsi bagi kaum Yahudi berdasarkan Torah/ Taurat.

Namun, kalangan Yahudi sendiri banyak yang tak sependapat cara pikir anti vaksin, karena dalam aturan pikuach nefesh Yahudi, untuk mempertahankan kehidupan sebagian aturan religius Yahudi dapat diabaikan.

Saat abai dengan manfaat program imunisasi dan penggunaan vaksin, maka perdebatan selalu muncul. Kalangan Yahudi anti vaksin akan kembali mempertanyakan sejauh mana manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa vaksin, kekuatan dari urgensi dan darurat. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, dengan penduduk mayoritas muslim, tentunya proses pembuatan vaksin menggunakan unsur tak halal akan menjadi alasan untuk menolak program imunisasi dan penggunaan vaksin.


Tentunya agar dapat mendiskusikan vaksin dengan lapang ada, pantas kiranya melihat sedikit detil proses pembuatan vaksin. Sebagai contoh, vaksin polio dan vaksin meningitis, tripsin pankreas babi hanya digunakan sebagai katalisator dalam proses persemaian vaksin. Namun kemudian bibit vaksin dipisah dan dibersihkan, unsur bio atau tripsin babi sendiri tidak terdapat dalam bibit vaksin.

Dalam telaah dan fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid, Imam Masjid Umar bin Abdul Aziz Arab Saudi, bahwa vaksin yang dalam proses pembuatannya terdapat bahan haram, tetapi dalam proses kimia atau ketika ditambahkan bahan yang lain yang mengubah nama dan sifatnya menjadi bahan yang mubah. Vaksin jenis ini, menurutnya, bisa digunakan karena istihalah, mengubah nama bahan dan sifatnya.



Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/leogultom/...9373ef5d4907cc

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/leogultom/...9373ef5d4907cc

gitu gan.... emoticon-I Love Kaskus
0
3.5K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan