Kaskus

Entertainment

act.idAvatar border
TS
act.id
Buru, Mendamba Pembaharu
Buru, Mendamba Pembaharu

AMBON - Gerbang pelabuhan Namlea menyambut saya dan para penumpang yang baru turun dari Kapal KMP Wayangan. Penumpang yang baru usai diombang-ambing delapan jam perjalanan laut dari pelabuhan Galala - Ambon, sudah disambut tukang ojek, atau para kenek yang menawarkan jasa angkutan umum.

Waktu masih menunjukkan pukul 04.00 waktu setempat, saat waktu di Jakarta baru pukul 02.00 dinihari. Penerangan di dermaga, hanya ada beberapa lampu sorot. Lampu-lampu itu cukup membantu penglihatan para anak buah kapal dan kuli pelabuhan menurunkan muatan kapal. Selebihnya, tak banyak yang bisa diamati di sekitar pelabuhan pada hari sepagi itu. Mendung dan hujan gerimis menyambut kami. "Sudah tiga hari ini Kabupaten Buru di guyur hujan," ujar Latif Khoir, relawan lokal yang menjemput saya di dermaga. Semoga ini hujan rahmat, seiring dengan hadirnya program Global Qurban (GQ) di tahun kedua di pulau ini.

Hari pertama saya di pulau Buru, menghimpun informasi kesiapan tim, briefing singkat dan penyampaian motivasi. Transformasi energi berupa pengantar visi, berbekal tulisan Presiden ACT pak Ahyudin "Peradaban Qurban", sangat menyemangati tim implementasi GQ Pulau Buru. Menu motivasi hari itu, ditambah wawasan kerelawanan. Semua antusias menyimak. Pertemuan berlangsung penuh semangat, sejak maghrib sampai jelang tengah malam. Kami membincang kesiapan semua sisi, terutama demi menjamin akurasi laporan, kesempurnaan dokumentasi dan penguatan kelancaran semua tahapan pelayanan.

Malam kedua, dua kali listrik padam. Penerangan pun lumpuh. Dalam temaram penerangan darurat yang agak redup, saya menulis laporan ini di sudut kamar. Di luar, sejauh mata memandang: gelap melingkup seantero Buru.

Malam itu saya masih di Namlea, kota terbesar di pulau Buru, Ibukota Kabupaten Buru. Pelabuhan di kota kecamatan ini, gerbang para warga untuk berhubungan dengan dunia luar. Lapangan terbang milik TNI AU hanya menyediakan satu maskapai yang melayani penerbangan dari dan menuju Ambon. Jadwal penerbangannya pun paling sering hanya dua kali dalam seminggu, dengan pesawat bermuatan 12 penumpang. Tak ayal, transportasi laut masih menjadi moda utama untuk berhubungan dengan pulau-pulau sekitar termasuk dengan Kota Ambon, Ibukota Provinsi Maluku.Termasuk hari ketika saya mendarat di Namlea.

Pulau Buru sendiri, salah satu pulau besar di Kepulauan Maluku. Luasnya 1,5 kali pulau Bali, tak kurang dari 8.473,2 km². Dengan panjang garis pantai 427,2 km, Pulau Buru menempati urutan ketiga setelah Pulau Halmahera di Maluku Utara dan dan Pulau Seram di Maluku Tengah. Secara umum Pulau Buru berupa perbukitan dan pegunungan. Puncak tertinggi mencapai 2.736 m.

Ada beberapa kelompok etnik menetap di Buru: etnis asli, yakni Suku Buru (baik di pesisir maupun di pedalaman); dan etnis pendatang, yakni Ambon, Maluku Tenggara (terutama Kei), Ambalau, Kep. Sula (terutama Sanana), Buton, Bugis, dan Jawa (terutama di daerah pemukiman transmigrasi). Tidak diketahui data mengenai komposisi penduduk berdasarkan etnis. Ada beberapa suku lain yang dikenal, seperti Suku Lisela, Suku Ambelau, Suku Kayeli.

Layak Sasaran

Kabupaten Buru sendiri terdiri dari 10 kecamatan, yaitu: Air Buaya, Batabual, Namlea, Waeapo, Waplau, Lolong Guba, Waelata, Fena Leisela, Teluk Kaiely, Lilialy, dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebesar 73.666 jiwa. Semua wilayah ini insyaAllah akan menjadi wilayah sasaran program GQ ACT 2016 ini. Di Buru, kemiskinan dan pengangguran masih mendominasi. Ada penurunan angka kemiskinan tapi belum signifikan. Tingkat kemiskinan di Kabupaten Buru apabila dirinci dari sisi tahapan rumah tangga miskin adalah 2.887 jiwa atau 27,99 %, kategori sangat miskin 2.204 jiwa, 21, 37 %, kategori hampir miskin 833 atau 8.08 % dari total jumlah penduduk.

Warga pulau buru masih banyak hidup dalam kemiskinan. Mereka banyak berdiam di rumah kayu dengan atap rumbia. Tak sedikit yang sudah bolong di berbagai tempat menggambarkan kemiskinan penghuninya. Rumah seperti itu jadi tempat tinggal ribuan warga di Pulau Buru, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Maluku.

Sebagian besar warga miskin di pulau ini bekerja kasar dan berkebun, seperti menjadi buruh penyulingan daun kayu putih dengan upah hanya tujuh ribu rupiah per hari. Ada juga yang mencari ranting kayu kering di hutan untuk memasak dan dijual.

Di sini banyak anak putus sekolah karena tidak punya biaya. Sebagian dinikahkan dalam usia sangat muda oleh orangtua mereka. Ada kabar warga akan mendapat bantuan sapi, namun hingga kini belum juga direalisasikan. APS (Angka Partisipasi Sekolah) untuk kelompok umur 19-24 mencapai peringkat terendah kedua setelah Kabupaten Seram Bagian Barat yakni 2,95%, sementara Kota Ambon telah mencapai 45,29%. Ini berarti tingkat partisipasi penduduk Pulau Buru untuk melanjutkan ke perguruan tinggi masih sangat rendah.

Jumlah penduduk miskin di Namlea, Kabupaten Buru, saat ini mencapai sekitar dua ribu kepala keluarga. Mereka tersebar di pesisir dan daerah pedalaman. Namlea adalah kota terbesar di pulau buru dengan gambaran seperti itu, kita bisa bayangkan bagaiman daerah-daerah yang lain di pulau buru.

GQ dan sebaran daging kurban, menjadi secercah harapan. Buru merindu pembaharu, dan kurban menjadi titik masuk berbagai program kemanusiaan selanjutnya.[]

Penulis: M. Insan Nurrohman

Ayo Berpartisipasi



0
1.6K
23
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan