- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Wah, Anak Muda Yogya Terancam Tunawisma gan!


TS
lanaseven
Wah, Anak Muda Yogya Terancam Tunawisma gan!


Buat momod dan minin, ane izin posting thread perdana ane. Kebetulan isinya soal kota favorit ane, DIY Yogyakarta.

Pembukaan
Ane emang bukan anak asli Yogya gan, dan nggak kuliah atau pernah kerja di Yogya juga. Cuman emang kepikiran aja mau tinggal di Yogya, soalnya kota ini menurut ane asik banget buat ditinggalin. Setelah browsing sana-sini cari informasi, ane shock berat pas nemu berita soal Yogya yang intinya, Anak Muda Yogya Terancam Tunawisma!

Quote:
Harga rumah di Yogyakarta semakin lama akan semakin naik. Sementara itu, banyak pegawai negeri atau pegawai swasta yang ingin membeli rumah. Standar gaji yang memenuhi syarat kelonggaran dalam mencicil rumah diketahui antara Rp4,5-5 juta rupiah perbulan agar bisa ikut program kredit pemilikan rumah (KPR). Lalu, bagaimana nasib anak muda Yogya yang bergaji rata-rata standar upah minimum regional?
Spoiler for Harga rumah di Yogya:
Memiliki rumah masih merupakan mimpi bagi sebagian orang di Yogya. Harganya kini sudah selangit. Di wilayah Giwangan, Kota Yogya, kurang lebih 6 km dari Malioboro, harga rumah dengan luas bangunan (LB) 62 dan luas tanah 60 meter persegi mencapai Rp916 juta. Sedangkan untuk tipe lebih besar 75/76 menembus Rp1,1 miliar.
Contoh lainnya lagi, di kawasan Wirobrajan duit Rp1,2 miliar baru dapat rumah tipe 77/ 82 meter persegi.
Masih di kota Yogya, di daerah Sorogenen untuk tipe rumah 86/ 126 harganya sampai Rp1,3 miliar.
Bagaimana dengan di daerah Sleman, yang notabene bukan ring pertama Yogyakarta? Penelusuran tirto.id di wilayah seperti di jalan Magelang, jalan Wonosari, Prambanan harganya relatif lebih rendah dibandingkan dengan kawasan strategis seperti di jalan Kaliurang atau Jalan Palagan.
Sebagai contoh, di jalan Magelang KM 14, rumah tipe 65/140 dijual dengan harga Rp385 juta. Sementara rumah di kawasan Jl.Wonosari km 9 dijual dengan harga Rp345 juta untuk tipe 45/80. Di Prambanan, rumah dengan tipe 45/100 meter persegi dijual dengan harga Rp220 juta.
Di kawasan strategis seperti di kawasan Jalan Kaliurang Km 12,5 rumah tipe 76/176 harganya mencapai Rp525 juta. Sedangkan di kawasan strategis lain, di dekat RS Puri Husada, Jalan Palagan km 12, dijual dengan harga Rp565 juta, untuk tipe 60/120.
Sementara itu, kawasan pinggiran selatan Yogyakarta, Bantul, harganya relatif jauh lebih murah dibanding dengan di Sleman atau Kota Yogyakarta. Akan tetapi, jaraknya dari pusat keramaian dan fasilitas kurang lebih mencapai 15 km dari titik nol Yogyakarta. Misalnya, perumahan di kawasan Kasongan, dengan tipe rumah lantai satu tipe 54/122 dijual dengan harga Rp464 juta, tipe 45/117 dijual dengan harga Rp408 juta dan tipe lebih besar lagi 45/211 dijual dengan harga Rp591 juta.
Mengapa harga perumahan di Yogyakarta bisa semahal itu? Kepada tirto.id awal Agustus lalu, Rizal Safii, marketing pengembang CV Panji Utama mengungkapkan harga perumahan di Yogyakarta saat ini dipengaruhi oleh harga tanah per meter yang cukup tinggi. Ia mencontohkan, di Tempel, Sleman—perbatasan DIY dan Jawa Tengah— harga tanah kosong saja sudah mencapai Rp350 ribu per meter persegi.
“Untuk harga beli [tanah] sendiri biasanya di Sleman pun ada pengkategorian jadi ketika lebih dekat dengan kota ataupun akses ke lokasi lebih bagus harga akan lebih tinggi, di tempat kami sendiri di daerah Tempel harga beli sekitar Rp350 ribu per meter ini termasuk kawasan menengah karena dekat dengan jalan provinsi dan pusat perekonomian pasar Tempel,” jelasnya.
Dengan harga tanah sebesar itu Rizal menjelaskan, pihaknya menjual rumah tipe 45 sekitar Rp300juta, sedangkan tipe rumah dua lantai dijual dengan harga Rp950 juta, belum termasuk pajak.
Contoh lainnya lagi, di kawasan Wirobrajan duit Rp1,2 miliar baru dapat rumah tipe 77/ 82 meter persegi.
Masih di kota Yogya, di daerah Sorogenen untuk tipe rumah 86/ 126 harganya sampai Rp1,3 miliar.
Bagaimana dengan di daerah Sleman, yang notabene bukan ring pertama Yogyakarta? Penelusuran tirto.id di wilayah seperti di jalan Magelang, jalan Wonosari, Prambanan harganya relatif lebih rendah dibandingkan dengan kawasan strategis seperti di jalan Kaliurang atau Jalan Palagan.
Sebagai contoh, di jalan Magelang KM 14, rumah tipe 65/140 dijual dengan harga Rp385 juta. Sementara rumah di kawasan Jl.Wonosari km 9 dijual dengan harga Rp345 juta untuk tipe 45/80. Di Prambanan, rumah dengan tipe 45/100 meter persegi dijual dengan harga Rp220 juta.
Di kawasan strategis seperti di kawasan Jalan Kaliurang Km 12,5 rumah tipe 76/176 harganya mencapai Rp525 juta. Sedangkan di kawasan strategis lain, di dekat RS Puri Husada, Jalan Palagan km 12, dijual dengan harga Rp565 juta, untuk tipe 60/120.
Sementara itu, kawasan pinggiran selatan Yogyakarta, Bantul, harganya relatif jauh lebih murah dibanding dengan di Sleman atau Kota Yogyakarta. Akan tetapi, jaraknya dari pusat keramaian dan fasilitas kurang lebih mencapai 15 km dari titik nol Yogyakarta. Misalnya, perumahan di kawasan Kasongan, dengan tipe rumah lantai satu tipe 54/122 dijual dengan harga Rp464 juta, tipe 45/117 dijual dengan harga Rp408 juta dan tipe lebih besar lagi 45/211 dijual dengan harga Rp591 juta.
Mengapa harga perumahan di Yogyakarta bisa semahal itu? Kepada tirto.id awal Agustus lalu, Rizal Safii, marketing pengembang CV Panji Utama mengungkapkan harga perumahan di Yogyakarta saat ini dipengaruhi oleh harga tanah per meter yang cukup tinggi. Ia mencontohkan, di Tempel, Sleman—perbatasan DIY dan Jawa Tengah— harga tanah kosong saja sudah mencapai Rp350 ribu per meter persegi.
“Untuk harga beli [tanah] sendiri biasanya di Sleman pun ada pengkategorian jadi ketika lebih dekat dengan kota ataupun akses ke lokasi lebih bagus harga akan lebih tinggi, di tempat kami sendiri di daerah Tempel harga beli sekitar Rp350 ribu per meter ini termasuk kawasan menengah karena dekat dengan jalan provinsi dan pusat perekonomian pasar Tempel,” jelasnya.
Dengan harga tanah sebesar itu Rizal menjelaskan, pihaknya menjual rumah tipe 45 sekitar Rp300juta, sedangkan tipe rumah dua lantai dijual dengan harga Rp950 juta, belum termasuk pajak.
Spoiler for Infografis (Awas BWK):

Spoiler for Menabung Sampai Mati:
Lalu, berapa lama bagi anak-anak muda Yogya dengan gaji UMR untuk bisa mendapatkan rumah, bertipe kecil dan letaknya jauh dari pusat kota sekalipun seperti di Tempel?
Hitung-hitungan tirto.id dengan gaji UMR Rp1,3 juta untuk memiliki rumah senilai Rp300 juta, butuh waktu menabung selama 230 bulan atau sekitar 19 tahun. Syaratnya gaji sebesar itu harus dialokasikan semua untuk menabung membeli rumah. Belum lagi dihitung inflasi yang mungkin terjadi selama 19 tahun ke depan.
Bila merujuk ketentuan Bank Indonesia, yang mensyaratkan down payment (uang muka) sebesar 15 persen dari harga rumah, maka setidaknya butuh Rp45 juta bagi karyawan ber-UMR Rp1,3 juta/bulan. Meski sudah memiliki DP sebesar itu, karyawan bergaji UMR tak akan sanggup membayar besarnya cicilan per bulan. Perhitungannya dengan asumsi bunga flat 12 persen setahun dan tenor maksimal 180 bulan maka angsuran per bulan sekitar Rp1,57 juta.
Sementara untuk kelayakan kredit umumnya bank mensyaratkan besarnya angsuran minimal 1/3 dari pendapatan. Artinya seseorang yang layak mendapatkan kredit KPR rumah, pendapatannya minimal Rp4,5 juta per bulan.
Di Yogyakarta—juga di kota lain--gaji sebesar itu hanya bisa diraih PNS golongan 4E dengan masa kerja 18 tahun.
Meskipun begitu, ada beberapa PNS yang tidak akan kesulitan dalam mencicil rumah di Yogyakarta. Pegawai itu, minimal harus berstatus dosen dengan gelar profesor!
Menurut Anggota Komisi XI DPR, Anwar Arifin, standar gaji seorang dosen bergelar profesor dan doktor di Indonesia ke depan minimal Rp7-8 juta setiap bulan.
Kepada Antara, Anwar Arifin menjelaskan penerimaan lain-lain yang akan diterima seorang profesor dan doktor di luar variabel tetap adalah tunjangan kehormatan.
Berikutnya, tambah Anwar, seorang profesor juga bisa memperoleh dana untuk penelitian kompetensi sebesar Rp100 juta/tahun, menulis buku (satu buah per tahun) dengan anggaran Rp25 juta, serta untuk profesor yang berusia di atas 70 tahun akan mendapatkan tambahan tunjangan profesi lagi berupa satu kali gaji pokok setiap bulannya.
Akan tetapi, berapa jumlah PNS di Provinsi Yogyakarta yang bergelar profesor? Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta mendata jumlah total pegawai negeri sipil daerah menurut tingkat pendidikan dan daerah penempatan di DIY, kuartal I-2016 sejumlah 55.412 pegawai. Dari besaran jumlah tersebut, pegawai dengan tingkat pendidikan akhir doktor hanya 4 orang, master degree sebanyak 2.297 orang, dan sarjana 24.815 orang. Sisanya pegawai lulusan DIII, SMA, SMP, dan SD.
Melihat data tersebut, PNS dosen yang memenuhi syarat untuk menjadi profesor empat orang. Empat orang inilah yang berpeluang besar bisa kredit rumah dengan mudah. Sisanya, hanya berpeluang melunasi KPR separuh hidup. Sementara ribuan lain yang bergaji UMR dan masih lajang bisa jadi terancam tunawisma!
Pemikiran Ane
Setelah ane baca lebih lanjut, ane juga nemu informasi kalau gaji yang pantas untuk bisa beli rumah idaman di Yogya itu minimal 5 juta per bulan. Sedangkan kalo gaji ane masih setara UMR, maka ane harus nabung selama 230 bulan gan

Quote:
Pertumbuhan kelas menengah di Yogyakarta semakin cepat. Mereka yang memiliki dana berlebih, mengincar properti sebagai sarana investasi. Akibatnya, harga properti semakin menjulang tinggi. Ini tentu saja membuat mereka yang penghasilannya pas-pasan semakin terpinggirkan karena harga properti yang semakin tak terjangkau.
Spoiler for Harga Rumah di Yogya:
Kenaikan harga tanah di Yogyakarta memang sudah mulai tidak masuk akal. Di beberapa titik, harganya sudah mencapai puluhan juta per meternya. Aqil Hasib Asad, seorang broker profesional di Lembaga Property Today kepada tirto.id mengatakan saat ini harga tanah di Yogyakarta sudah berada di kisaran Rp200 ribu-Rp40 juta per meter persegi. “Dengan harga seperti itu, pengembang tak mungkin menjual properti mereka dengan harga dimulai dari Rp150 juta,” katanya.
Oleh karena itulah, kata Aqil, pengembang memilih sasaran konsumen kelas menengah ke atas. Alasannya sederhana, perputaran ekonomi bagi pengembang menjadi lebih mudah untuk diperhitungkan. “Kelak jika terjadi perubahan pada nilai kurs rupiah di mata dolar, situasi regional, dan suku bunga bank, tidak akan terlalu banyak merepotkan pengembang dalam memperhitungkan harga jual,” katanya.
Perhitungan bisnis itu membuat pengembang menjual harga propertinya senilai lebih dari Rp350 juta. Dengan harga setinggi itu, pengembang menyasar konsumen kelas menengah dan atas. “Untuk persentasenya sendiri 70 persen kelas menengah dan 30 persen kalangan atas,” terang Rizal Safii, Marketing CV Pandji Utama pada tirto.id di awal Agustus silam.
Sejalan dengan keterangan Aqil dan Rizal, menurut data UrbanIndo, sebuah situs penyedia jasa database perumahan, terungkap bahwa minat kelas menengah-atas akan perumahan memang sangat tinggi.
Pada data itu disebutkan di Sleman, Yogyakarta, untuk rumah dengan kisaran harga Rp398-785 juta peminatnya mencapai 25 ribu orang. Sementara untuk rumah dengan harga Rp785-Rp1,5 miliar peminatnya fluktuatif antara 20-25 ribu orang.
Hampir mirip dengan di Sleman, di Kota Yogyakarta, rumah dengan harga Rp437 juta-Rp934 juta memiliki peminat mencapai 35 ribu. Di bawah kisaran harga tersebut, peminatnya lebih rendah berkisar antara 10-25 ribu konsumen. Sementara untuk perumahan dengan harga lebih dari Rp1 miliar peminatnya 5-15 ribu konsumen.
Dengan harga rumah berkisar Rp400 juta-Rp1 miliar, akan terjangkau hanya oleh orang dengan penghasilan mendekati Rp15 juta seperti keterangan Aqil.
“Rumus perbankan kan begini, mencicil berarti harus mengeluarkan sepertiga dari gaji, kalau punya pendapatan Rp15 juta, maka pengeluaran untuk nyicil bisa antara Rp5-7 juta per kamu bisa ambil KPR rumah seharga Rp400 juta bahkan sampai Rp700 jutaan,” terang Aqil.
Sementara untuk orang yang gajinya UMR, misalnya Rp1,3 juta paling banter mampu membeli rumah dengan harga berkisar Rp300 juta dengan KPR, dengan catatan ia mengalokasikan seluruh gajinya untuk mencicil. Pengembang penyedia rumah dengan harga tersebut masih ada di Yogyakarta, contohnya CV Pandji Utama.
UrbanIndo menunjukkan data persediaan properti dengan kisaran harga dari Rp205 juta-398 juta masih ada di wilayah Sleman, jumlahnya sekitar 10 ribu buah properti. Sementara di kota Yogyakarta, masih tersedia properti dengan harga mulai dari Rp243 juta-473 juta dengan jumlah 5 ribu buah properti.
Oleh karena itulah, kata Aqil, pengembang memilih sasaran konsumen kelas menengah ke atas. Alasannya sederhana, perputaran ekonomi bagi pengembang menjadi lebih mudah untuk diperhitungkan. “Kelak jika terjadi perubahan pada nilai kurs rupiah di mata dolar, situasi regional, dan suku bunga bank, tidak akan terlalu banyak merepotkan pengembang dalam memperhitungkan harga jual,” katanya.
Perhitungan bisnis itu membuat pengembang menjual harga propertinya senilai lebih dari Rp350 juta. Dengan harga setinggi itu, pengembang menyasar konsumen kelas menengah dan atas. “Untuk persentasenya sendiri 70 persen kelas menengah dan 30 persen kalangan atas,” terang Rizal Safii, Marketing CV Pandji Utama pada tirto.id di awal Agustus silam.
Sejalan dengan keterangan Aqil dan Rizal, menurut data UrbanIndo, sebuah situs penyedia jasa database perumahan, terungkap bahwa minat kelas menengah-atas akan perumahan memang sangat tinggi.
Pada data itu disebutkan di Sleman, Yogyakarta, untuk rumah dengan kisaran harga Rp398-785 juta peminatnya mencapai 25 ribu orang. Sementara untuk rumah dengan harga Rp785-Rp1,5 miliar peminatnya fluktuatif antara 20-25 ribu orang.
Hampir mirip dengan di Sleman, di Kota Yogyakarta, rumah dengan harga Rp437 juta-Rp934 juta memiliki peminat mencapai 35 ribu. Di bawah kisaran harga tersebut, peminatnya lebih rendah berkisar antara 10-25 ribu konsumen. Sementara untuk perumahan dengan harga lebih dari Rp1 miliar peminatnya 5-15 ribu konsumen.
Dengan harga rumah berkisar Rp400 juta-Rp1 miliar, akan terjangkau hanya oleh orang dengan penghasilan mendekati Rp15 juta seperti keterangan Aqil.
“Rumus perbankan kan begini, mencicil berarti harus mengeluarkan sepertiga dari gaji, kalau punya pendapatan Rp15 juta, maka pengeluaran untuk nyicil bisa antara Rp5-7 juta per kamu bisa ambil KPR rumah seharga Rp400 juta bahkan sampai Rp700 jutaan,” terang Aqil.
Sementara untuk orang yang gajinya UMR, misalnya Rp1,3 juta paling banter mampu membeli rumah dengan harga berkisar Rp300 juta dengan KPR, dengan catatan ia mengalokasikan seluruh gajinya untuk mencicil. Pengembang penyedia rumah dengan harga tersebut masih ada di Yogyakarta, contohnya CV Pandji Utama.
UrbanIndo menunjukkan data persediaan properti dengan kisaran harga dari Rp205 juta-398 juta masih ada di wilayah Sleman, jumlahnya sekitar 10 ribu buah properti. Sementara di kota Yogyakarta, masih tersedia properti dengan harga mulai dari Rp243 juta-473 juta dengan jumlah 5 ribu buah properti.
Spoiler for Infografis lagi gan:

Spoiler for Kenyamanan dan Investasi:
Berdasarkan data yang disajikan oleh UrbanIndo, para peminat properti kelas menengah atas ini memilih perumahan di kecamatan Depok, Mlati, Ngaglik, Godean, Gamping, Kalasan, dan Ngemplak di wilayah Kabupaten Sleman. Sementara di Kota Yogyakarta, daerah yang dipilih para peminat ini meliputi Umbulharjo, Gondokusuman, Kota gede, Tegalrejo, Mantijeron, Jetis, dan Mergangsan.
Kawasan–kawasan itu merupakan titik-titik strategis di Yogyakarta, relatif dekat dengan akses pendidikan, hiburan, perbelanjaan tetapi tetap memberikan kenyamanan untuk hunian lingkungan asri.
Sebagai contoh, jarak hunian dari Condong Catur di Depok Sleman, akses ke universitas ternama seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dapat ditempuh tak kurang dari 15 menit dengan kendaraan bermotor. Untuk bersantai atau berbelanja, cuma butuh 10 menit ke Hartono Mall. Sedangkan untuk berobat telah tersedia rumah sakit bertaraf internasional seperti Jogja International Hospital. Akses ke Bandara Adisucipto cukup ditempuh 20 menit saja.
Namun, tidak semua konsumen perumahan premium di Yogyakarta menjadikan rumah itu sebagai hunian pertama atau kedua. Ada di antara mereka yang memilih menyewakan kembali atau hanya untuk berinvestasi.
Aqil menjelaskan, kontribusi kelas menengah dalam bisnis properti di Yogyakarta bisa mendekati 55 persen dan kalangan atas mendekati 45 persen.
Sementara untuk kontribusi kelas menengah bawah sebagai konsumen dalam bisnis properti di Yogyakarta smakin menyusut. Aqil hanya mengatakan lama kelamaan akan terjadi konflik sosial jika kelas menengah ke bawah tak digarap.
Senada dengan itu Sekretaris Dewan Perwakilan Daerah (DPD) REI Yogyakarta, Rama Pradipta, menjelaskan seratus persen konsumen properti di kelas premium berasal dari kalangan atas yang berprofesi sebagai wiraswasta, pejabat eselon III ke atas, karyawan BUMN, dan multinasional. Motif kepemilikan rumah pun kebanyakan adalah untuk investasi jangka panjang. “Properti kelas premium 100 persen dibeli kelas atas,” katanya melalui email pada Senin lalu.
Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam acara peluncuran buku “Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta: Jalan Politik Kemakmuran Indonesia,” di Universitas Gadjah Mada, pada pertengahan bulan Agustus lalu menyampaikan bahwa ada ketimpangan dalam pembangunan di Indonesia saat ini.
“Pembangunan Indonesia saat ini adalah pembangunan yang menggusur orang miskin bukan menggusur kemiskinan,” katanya.
Menurut menantu mantan Wakil Presiden Moh. Hatta, kesimpulan itu ia dapatkan dari pengamatan sehari-harinya. Ia melihat pembangunan yang terjadi di Indonesia, lebih khusus pembangunan yang terjadi di kota Yogyakarta, yang surah hiruk pikuk dengan mal, hotel, dan apartemen megah di beberapa titik.
Baginya pembangunan itu seharusnya dapat menggusur kemiskinan. Kenyataannya, warga miskin di Indonesia justru hanya dapat menikmati emperan toko atau pelosok-pelosok kumuh sebagai tempat tinggal.
Rumah-rumah yang berdempetan di antara hotel, mal, dan pusat perkantoran itu memperlihatkan ada suatu ketimpangan besar dalam pembangunan. “Setelah pembangunan selesai , jadi, yang tinggal di sana orang lain! Orang miskin dapat yang pinggir jalan,” kata Edi.
Kawasan–kawasan itu merupakan titik-titik strategis di Yogyakarta, relatif dekat dengan akses pendidikan, hiburan, perbelanjaan tetapi tetap memberikan kenyamanan untuk hunian lingkungan asri.
Sebagai contoh, jarak hunian dari Condong Catur di Depok Sleman, akses ke universitas ternama seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dapat ditempuh tak kurang dari 15 menit dengan kendaraan bermotor. Untuk bersantai atau berbelanja, cuma butuh 10 menit ke Hartono Mall. Sedangkan untuk berobat telah tersedia rumah sakit bertaraf internasional seperti Jogja International Hospital. Akses ke Bandara Adisucipto cukup ditempuh 20 menit saja.
Namun, tidak semua konsumen perumahan premium di Yogyakarta menjadikan rumah itu sebagai hunian pertama atau kedua. Ada di antara mereka yang memilih menyewakan kembali atau hanya untuk berinvestasi.
Aqil menjelaskan, kontribusi kelas menengah dalam bisnis properti di Yogyakarta bisa mendekati 55 persen dan kalangan atas mendekati 45 persen.
Sementara untuk kontribusi kelas menengah bawah sebagai konsumen dalam bisnis properti di Yogyakarta smakin menyusut. Aqil hanya mengatakan lama kelamaan akan terjadi konflik sosial jika kelas menengah ke bawah tak digarap.
Senada dengan itu Sekretaris Dewan Perwakilan Daerah (DPD) REI Yogyakarta, Rama Pradipta, menjelaskan seratus persen konsumen properti di kelas premium berasal dari kalangan atas yang berprofesi sebagai wiraswasta, pejabat eselon III ke atas, karyawan BUMN, dan multinasional. Motif kepemilikan rumah pun kebanyakan adalah untuk investasi jangka panjang. “Properti kelas premium 100 persen dibeli kelas atas,” katanya melalui email pada Senin lalu.
Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam acara peluncuran buku “Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta: Jalan Politik Kemakmuran Indonesia,” di Universitas Gadjah Mada, pada pertengahan bulan Agustus lalu menyampaikan bahwa ada ketimpangan dalam pembangunan di Indonesia saat ini.
“Pembangunan Indonesia saat ini adalah pembangunan yang menggusur orang miskin bukan menggusur kemiskinan,” katanya.
Menurut menantu mantan Wakil Presiden Moh. Hatta, kesimpulan itu ia dapatkan dari pengamatan sehari-harinya. Ia melihat pembangunan yang terjadi di Indonesia, lebih khusus pembangunan yang terjadi di kota Yogyakarta, yang surah hiruk pikuk dengan mal, hotel, dan apartemen megah di beberapa titik.
Baginya pembangunan itu seharusnya dapat menggusur kemiskinan. Kenyataannya, warga miskin di Indonesia justru hanya dapat menikmati emperan toko atau pelosok-pelosok kumuh sebagai tempat tinggal.
Rumah-rumah yang berdempetan di antara hotel, mal, dan pusat perkantoran itu memperlihatkan ada suatu ketimpangan besar dalam pembangunan. “Setelah pembangunan selesai , jadi, yang tinggal di sana orang lain! Orang miskin dapat yang pinggir jalan,” kata Edi.
Kesimpulan ane
Ane memang jadi berpikir ulang gan buat pindah ke Yogya. Tapi ane gak patah semangat.

Buat ane, Yogya bakal selalu istimewa


Gimana pendapat agan-agan? Mungkin agan ada yang tinggal di Yogya dan punya rumah di sana? Share dong di sini

Sumber-sumber:
- Anak Muda Yogya Terancam Tunawisma
- Yogya, Rumah, dan Ketimpangan Kelas
0
10.4K
Kutip
87
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan