- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Sengketa Merek BMW Jadi Contoh Buruk Kinerja Kemenkum HAM


TS
valkyr1
Sengketa Merek BMW Jadi Contoh Buruk Kinerja Kemenkum HAM
Mobil BMW harus menelan pil pahit karena baju BMW tidak bisa dicoret dari daftar merek. Pangkalnya, belum ada Peraturan Pemerintah (PP) terkait sengketa itu sehingga terjadi kekosongan hukum. Alhasil Mahkamah Agung (MA) tidak bisa mengadili kasus itu.
PP yang dimaksud sejatinya harus dibuat Kemenkum HAM sebagai perintah Pasal 6 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal itu terkait sengketa merek terkenal tetapi tidak satu kelas atau beda jenis. Seperti di kasus sengkete BMW, satu adalah merek mobil dan satunya adalah merek baju/fashion.
Tapi 15 tahun berlalu, Dirjen Kekayaan Intelektual cq Kemenkum HAM tidak kunjung membuat PP itu.
"Lambannya pemerintah dalam hal ini Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM untuk memenuhi perintah pembentukan Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan Pasal 6 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek merupakan contoh buruk ketaatan aparatur pemerintah terhadap UU," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Selasa (30/8/2016).
Kelambanan Kementerian Hukum dan HAM telah secara nyata membawa kerugian yaitu ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan aparat penegak hukum. Dalam hal ini pengadilan terutama dalam menyelesaikan sengketa merek yang sering muncul di dunia usaha sebagaimana terjadi beberapa waktu terakhir ini.
"Salah satu ciri negara hukum yang dalam era modern adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif, partisipatif dan populis," papar Direktur Puskapsi, Universitas Jember itu.
Responsif yang dimaksud adalah pemerintah sebagai salah satu pemegang kuasa mengatur harus membuat skala prioritas peraturan perundang-undangan mana yang penting untuk segera dibentuk dalam rangka memberikan kepastian dan tertib hukum di masyarakat.
"Dalam hal ini PP pelaksanaan UU Merek seharusnya menjadi salah satu prioritas mengingat keberadaannya sangat penting untuk mengatur persaingan usaha yang sehat terutama dalam hal menyelesaikan sengketa merek antar pelaku usaha," ucap peraih doktor dari FH UI dalam bidang perundang-undangan itu.
Pasal 6 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 itu berbunyi:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b (permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis) dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Lambatnya Kemenkum HAM tidak membuat PP menjadikan perdebatan di Mahkamah Agung (MA). Kekosongan hukum itu membuat Kamar Perdata MA menggelar rapat pleno pada Desember 2015 dan menghasilkan rumusan hukum yang akhirnya dijadikan Surat Edaran Nomor 3/2015.
"Gugatan pembatalan terhadap merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain untuk barang atau jasa tidak sejenis, maka amar putusan adalah 'Gugatan Tidak Dapat Diterima'. Hal itu sesuai dengan prinsip legalistik, ketentuan pasal 6 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek belum berlaku efektif, karena Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, belum diundangkan," ujar SEMA yang ditandatangani Ketua MA Hatta Ali pada Desember 2015.
SUMBER
5 + 10 tahun yang sia sia..
ini salah satu peninggalan si ucril nih.. 2 periode jadi menteri hukum tapi bikin PP aja ga becus..





PP yang dimaksud sejatinya harus dibuat Kemenkum HAM sebagai perintah Pasal 6 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal itu terkait sengketa merek terkenal tetapi tidak satu kelas atau beda jenis. Seperti di kasus sengkete BMW, satu adalah merek mobil dan satunya adalah merek baju/fashion.
Tapi 15 tahun berlalu, Dirjen Kekayaan Intelektual cq Kemenkum HAM tidak kunjung membuat PP itu.
"Lambannya pemerintah dalam hal ini Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM untuk memenuhi perintah pembentukan Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan Pasal 6 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek merupakan contoh buruk ketaatan aparatur pemerintah terhadap UU," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Selasa (30/8/2016).
Kelambanan Kementerian Hukum dan HAM telah secara nyata membawa kerugian yaitu ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan aparat penegak hukum. Dalam hal ini pengadilan terutama dalam menyelesaikan sengketa merek yang sering muncul di dunia usaha sebagaimana terjadi beberapa waktu terakhir ini.
"Salah satu ciri negara hukum yang dalam era modern adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif, partisipatif dan populis," papar Direktur Puskapsi, Universitas Jember itu.
Responsif yang dimaksud adalah pemerintah sebagai salah satu pemegang kuasa mengatur harus membuat skala prioritas peraturan perundang-undangan mana yang penting untuk segera dibentuk dalam rangka memberikan kepastian dan tertib hukum di masyarakat.
"Dalam hal ini PP pelaksanaan UU Merek seharusnya menjadi salah satu prioritas mengingat keberadaannya sangat penting untuk mengatur persaingan usaha yang sehat terutama dalam hal menyelesaikan sengketa merek antar pelaku usaha," ucap peraih doktor dari FH UI dalam bidang perundang-undangan itu.
Pasal 6 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 itu berbunyi:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b (permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis) dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Lambatnya Kemenkum HAM tidak membuat PP menjadikan perdebatan di Mahkamah Agung (MA). Kekosongan hukum itu membuat Kamar Perdata MA menggelar rapat pleno pada Desember 2015 dan menghasilkan rumusan hukum yang akhirnya dijadikan Surat Edaran Nomor 3/2015.
"Gugatan pembatalan terhadap merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain untuk barang atau jasa tidak sejenis, maka amar putusan adalah 'Gugatan Tidak Dapat Diterima'. Hal itu sesuai dengan prinsip legalistik, ketentuan pasal 6 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek belum berlaku efektif, karena Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, belum diundangkan," ujar SEMA yang ditandatangani Ketua MA Hatta Ali pada Desember 2015.
SUMBER
5 + 10 tahun yang sia sia..

ini salah satu peninggalan si ucril nih.. 2 periode jadi menteri hukum tapi bikin PP aja ga becus..






0
926
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan