

TS
alishba
Alishba

CHAPTER I

Perkenalkan boy, nama gue Alishba. Umur, jangan dibahas dulu, karena menurut gue itu privasi. Tapi, yang pastinya gue uda tua dan gak tua-tua amat. Gue akan berbagi pengalaman pada kalian semua mengenai perjalanan hidup gue yang gak seberapa ini. Semoga bisa bermanfaat dan dapat menjadi acuan dalam menghadapi hidup lu kedepannya. Dari sini dan kedepannya gue akan membahas banyak mengenai kisah-kisah hidup gue dari pertama gue nongol ke Bumi, sampai gue terlahir kembali. Hehehe, bercanda, maksud gue terlahir kembali dalam artian memaknai hidup yang sesungguhnya. Tapi perlu diingat boy, ini versi gue, bukan versi –On the Spot- ya.
Mungkin banyak diantara, kalian, dan yang numpang lewat, bertanya-tanya mengapa harus susah-susah nyempatin waktu untuk baca tulisan gue? Jawabannya singkat aja boy, karena gue perlu lo semua tahu bahwa hidup gak sesulit yang lo kira, dan hidup juga gak segampang yang lo fikir. Kira-kira sampai disini ngerti gak? Belum ya? Atau Bosan? Entar gue jelasin semua.
Gue penulis boy, penulis amatiran, belum terkenal dan ingin menjadi terkenal seperti penulis-penulis lainnya. Namun, semua gak semudah yang lu bayangin dan gak sesulit yang lu kira. Nah, bingung lagi kan? Maksud gue gini, kalau menjadi seorang penulis itu sulit, gue jawab enggak boy, karena lu Cuma ngarang sebuah cerita, baik itu pengalaman hidup lu, kisah nyata, karangan yang berbau setan, cerita fiksi, kemudian lu kirim deh tuh naskah lu ke Penerbit-penerbit online yang sifatnya –Self Publishing. Gue yakin, karya lu semua gak bakal ditolak, asalkan tidak berbau porno, sara, politik dan hinaan pada orang tertentu. Setelah paling lama lima belas hari, karya lu akan di olah oleh redaksi (Editor), didaftarin ISBN (International Strandart Book Number), kemudian di cetak sesuai pesanan lu. Ya, cetaknya sesuai pesanan lu. Jadi boy, sistemnya seperti –Print on Demand- gitu. Buku dicetak saat lu pesan aja, dan lu gak bakal nemu’in buku lo ada di toko-toko buku seperti Gramedia, dsb. Lu bisa promosiin sendiri melalui Blog, Websites, dan Fanspage lu sendiri. Sehingga pada intinya lu bekerja sendiri untuk hasil karya lu, penerbit hanya menjadi mesin pengolah dan pencetak buku lu, itu sebabnya mereka disebut –Self Publishing. Jadi boy, untuk menjadi penulis dan menghasilkan karya tulisan itu gak sesulit yang lu bayangin. Dan Alhamdulillah gue uda berhasil nyelesain satu buah novel yang berjudul "Aku, Dia dan Sahabatku", dan berhasil diproduksi sebanyak 1 (satu) Eksemplar, dan yang pesan itu gue sendiri. Gue harap lu semua gak ada yang penasaran dengan buku yang gue tulis tersebut, karena ceritanya gak begitu menarik (kalau belum dibaca) dan sangat menarik (kalau lu barani baca). Namun, menjadi seorang penulis juga sangat susah boy, jika karya lu akan lu niatin untuk diproses pada penerbit Mayor, sekelas Gramedia Pustaka, Mizan, Kompas, dsb. Sangat berat perjuangan untuk bisa menjadi penulis pada tahap ini.
Jika lu mau coba-coba mengirim naskah lu pada penerbit ini, lu bakal ngalamin yang namanya putus cinta yang teramat dahsyat. Naskah lu akan diproses lebih kurang Sembilan puluh hari. Dan belum tentu diterima, namun jika diterima, buku lu akan nongol di Gramedia dan took-toko buku seluruh Indonesia, nama lu akan terkenal, lu akan menjadi penulis hebat, orang-orang akan mengidolakan lu, dan mimpi-mimpi itu semua pernah bersarang di otak gue selama berhari-hari hingga gue muntah. Lu bisa bayangin, menunggu selama Sembilan puluh hari, dan selama lu menunggu ternyata naskah lu berakhir di mesin penghancur, dan lu hanya mendapat surat balasan berupa email yang isinya “permohonan maaf” karena naskah lu belum masuk dalam kriteria mereka? Lebih pedih dari penolakan saat lu nembak cewek boy!. Kalau nembak cewek lu hanya diberi waktu maksimal satu minggu, dan dalam satu minggu itu lu bakal meriang, gak bisa tidur, jadi orang gila, ngomong-ngomong sendiri, males, gak mau mandi, dan keputusan terakhir lu ditolak, lu langsung –Move On, dan ngerasa bahwa cewek yang lu tembak bukan jodoh lu, dan cerita pun selesai. Tapi, kalau naskah lu di tolak, selama Sembilan puluh hari lu jadi orang yang diem kalau ditanya, kalem, sering sendiri, ketawa-ketawa dalam hati, banyak melamun, males nulis-nulis yang lain, sebelum lu tahu hasil keputusan dari penerbit, dan hasilnya setelah lu menerima tolakan dari penerbit, lu pun patah hati, gila, nangis, stres, bahkan gak mau nulis lagi. Tapi pada dasarnya setiap orang berbeda, kekuatan dan ketahanan jiwa seseorang terhadap kerasnya hidup juga berbeda, tergantung lu semua menyikapinya seperti apa, dan kalau gue pribadi semua sudah pernah gue laluin dan hasilnya gue gak gila-gila, gak terkenal juga.
Hidup masih terus berjalan boy, apapun yang lu alami, sepahit-pahitnya hidup lu, itulah yang harus lu tempuh. Gue pernah berkhayal akan menjadi penulis terkenal boy, karya gue ada di setiap toko buku seluruh Indonesia, orang-orang pada antri minta tanda tangan gue, gue di undang –Talk Show dan bedah buku di kampus-kampus dan event-event resmi, buku gue dijadikan film oleh Sutradara terkenal sekelas –Riri Riza,dkk. Namun itu hanya mimpi dan angan-angan gue di toilet boy, cita-cita gue sebelum tidur, lamunan gue sambil berbaring dikasur. Belum ada yang terwujud, belum ada yang contact gue untuk event, belum ada yang minta tanda tangan gue, belum ada orang yang pesen buku gue, dan gue masih menjadi orang biasa pada umumnya. Padahal boy, gue masih ringan tangan pada siapapun yang ingin meminta tanda tangan gue jika mereka mau, mumpung gue masih belum terlalu sibuk mengarang dan mengarang buku-buku gue selanjutnya.
Menjadi penulis itu memang cita-cita gue dari kecil boy. Menggambar dan Menulis menjadi satu kesatuan dalam hidup gue, gue mengenalnya ketika kelas tiga SD dulu. Gue senang mengarang cerita, menggambar, mengarang, menggambar, sampai pada saat nya karya-karya gue bener-bener dihargai oleh seorang guru gue dikelas.
Ups, sebelum jauh, gue mau kasih tau ke lu semua bahwa gue tinggal di Sumatera, gue lahir di Sumatera. Jadi, mohon maaf kalau gue pake bahasa –Jakarte, karena gue pernah lama tinggal di Jakarte, lebih kurang empat puluh lima hare, lalu gue balek lage ke Sumatre, oke.
Kembali ke topik, gue ketika kelas tiga SD. Gue sangat suka nulis boy, karangan gue selalu diberi nilai sempurna oleh guru gue, Seratus Boy! Seratus!!!. Dan saat itu juga kegemaran gue, cita-cita gue semakin menggebu-gebu. Gue seneng banget dengan pelajaran Bahasa Indonesia, karena gue yakin pasti dikelas disuruh mengarang lagi dan gue yakin nilai gue “Seratus” boy. Mengarang kisah liburan, kisah kehidupan, apapun temanya, Ibu guru gue saat itu selalu ringan tangan memberi nilai sempurna pada kertas karangan gue. Sampai pada suatu ketika, gue penasaran boy, mengapa guru gue yang satu ini begitu tertarik dengan tulisan gue hingga akhirnya beliau memberi nilai seratus setiap gue ngarang sebuah tulisan. Suatu ketika, wali kelas gue menyuruh mengambil Kapur tulis di ruang Kepala sekolah, Nah, dari sinilah awal mula gue mengetahui kebohongan yang dilakukan guru gue boy. Guru gue tersebut sedang asyik mengobrol dengan guru olahraga gue sambil tertawa terbahak-bahak, hingga beliau tak sadar kalau gigi palsunya masuk kedalam kopi guru olahraga gue boy. Awalnya gue melihat dan tertawa dalam hati, namun setelah gue tahu inti ceritanya, gue sangat kecewa. Sepuluh batang kapur yang gue pegang lima batang ditangan kanan dan lima batang ditangan kiri dengan seketika gue remukkan hingga patah tak bersisa, semua hancur berserakan. Dalam cerita kedua guru gue tersebut, gue mendengar bahwa mereka membahas mengenai tulisan gue yang sering gue karang. Padahal, kalau difikir-fikir karangan gue gak begitu bagus-bagus amat boy, ceritanya hanya sekedar kisah fiksi pertarungan Giant dan Suneo ketika berebut ingin bermain -Remote Control, Petualangan Power Ranger, Gaban dan Ultraman. Namun, akhirnya gue sadar bahwa guru gue memberi nilai tersebut hanya karena Tulisan gue terlalu panjang namun gak bisa dibaca.
Dari kejadian itu, gue akhirnya tahu boy, begitu pahit dan sakitnya kebohongan. Ibarat lu meminum Kopi hitam tanpa gula dengan air panas mendidih, kemudian lu membuang air berisi kopi tersebut dan menelan sendoknya sambil menutup mata, tragis boy.
Sampai pada akhirnya gue berniat untuk lebih memperdalam ilmu menulis agar tulisan gue terlihat lebih rapih dan bisa dibaca. Setiap hari gue latihan menulis, menulis, dan akhirnya membuahkan hasil. Setelah gue menulis, hasil tulisan gue, gue serahin ke kakak gue yang pertama untuk dibaca, kemudian gue tanya’in tuh tulisan kira-kira kebaca apa gak, dan kakak gue bilang tulisannya lumayan bisa dibaca, namun isinya kok sama?! Tanpa fikir panjang, gue tarik tuh buku yang baru gue tulis, eh, ternyata gue salah kasih buku boy, itu kan buku tugas gue, hehehe. Gue di beri PR oleh guru gue untuk menulis sebanyak seratus kata dengan kalimat “ Ini Ibu Budi dan Ini Ayah Budi”.
Setelah semua gue rasa cukup, gue beranikan menulis dengan gaya dan tulisan gue yang baru. Kebetulan saat itu pas banget moment nya boy, gue lagi belajar Bahasa Indonesia dan lagi-lagi akan ada mengarangnya. Dan ternyata, prasangka gue gak salah, kami pun ditugaskan untuk mengarang sesuka hati alias mengarang bebas, dan gue pun memulai dengan harapan kali ini tidak kecewa karena tulisan gue yang buruk. Akhirnya setelah Ibu guru gue berhasil membaca tulisan gue, gue tak pernah lagi menerima nilai sempurna, kertas karangan gue hanya di bandrol dengan nilai delapan puluh saja. Gue penasaran dan maju menghampiri Ibu guru gue untuk bertanya mengapa beliau hanya memberi nilai delapan puluh. Alasannya sih karena ceritanya gak menarik, gak logis, dan terlalu berlebihan, tak masuk akal dan terlalu imajinatif. Gue langsung duduk kembali, karena apa yang disampaikan guru gue saat itu gue gak ngerti, asli itu semua kalimat yang aneh buat gue. Pada intinya beliau menyampaikan bahwa karangan gue gak berbobot karena mungkin saat itu gue mengarang cerita mengenai kisah Gaban yang bertarung melawan Giant dalam film Doraemon. “Ketika Giant hendak bernyayi, Gaban tiba-tiba pingsang, dikarenakan ulah Suneo yang begitu tega memberi -Microphone pada Giant hingga ia leluasa bernyanyi sekeras-kerasnya”. Saat itu juga gue dendam banget sama Giant dan Suneo, mereka berdua meracuni otak gue hingga disetiap cerita dan karangan gue mereka selalu ada, hingga pada suatu ketika gue berdoa semoga Doraemon datang memberi bantuan agar memindahkan mereka berdua ke hutan Amazon.
Setelah gue tahu bahwa gue memiliki keinginan menulis namun ternyata bakat gue gak sebanding dengan ekspektasi gue untuk bisa menulis dengan bagus, akhirnya gue putus harapan boy, gue minder, gue malas, gue mutusin untuk berhenti menulis dan mengarang cerita. Tapi boy, gue masih punya hoby lainnya, yaitu menggambar.
Gue berbakat menjadi pelukis boy, dari kelas 1 SD sampai anak kelas 6 SD, kenal siapa gue, dan nama gue diberi embel-embel 'yang jago ngelukis itu ya', seperti itu kira-kira boy, sehingga tak tertutup kemungkinan kalau gue selalu ditawarin ikut event kejuaraan melukis dan menggambar sampai ke tingkat nasional.
Ingat boy, kejadian ini sudah lama, jadi kalau lu nyuruh gue menggambar wajah lu, atau melukis wajah pacar lu, sori, gue mohon maaf, gue gak berani coba, tangan gue gemeteran. Gue uda lama ninggalin kanvas gue, pensil gue, cat air gue, dan segala pernak pernik untuk melukis. Karena ada sesuatu hal, pengalaman pahit yang gue alami untuk kedua kalinya. Pengalaman gue emang pahit melulu boy, gak ada enak-enaknya, burem, kelam, hitam, pokoknya gak asik.
Gue pernah diikutkan dalam perlombaan melukis boy, saat itu yang mengadakan adalah Bank Indonesia, kalau gue gak salah itu tepatnya tahun 1995, gue kelas 3 SD, dan kakak gue kelas 5 SD. Gue ditawarin oleh guru olah raga gue untuk ikut, dan karena kekurangan peserta akhirnya kakak gue diikut sertakan. Padahal boy, bukan mau menyombongkan diri, jika di adu lukisan gue jauh lebih bagus dari kakak gue, dan niat nya kakak gue hanya sebagai pelengkap agar kuota peserta mencukupi.
Akhirnya acara pun dimulai, gue bangun subuh-subuh boy, padahal malam gue lama banget tidur, karena banyak ngelamun sedang pegang trophy, ngelamun jadi juara untuk event besok, sementara kakak gue uda tidur pulas malam itu.
Dengan berat gue guyur badan gue jam setengah lima pagi, setelah semua persiapan selesai, gue, kakak gue, dianterin dan didampingi bokap gue ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia.
Kertas kanvas dibagikan, peralatan melukis pun disediakan panitia, wah, asik boy, alatnya bagus-bagus, pasti mahal, fikirku dalam hati. Kemudian panitia membacakan tertib acara dan menginfokan tema melukis dan menggambar saat itu, dan temanya adalah "MENABUNG".
Wah, gue kalap boy, gue gak tahu harus berbuat apa, sementara kakak gue uda mulai melukis pada kanvasnya, gue, hampir setengah jam menunggu dan gak berbuat apa-apa, Bokap gue pun cemas melihat gue karena takut gue kehabisan waktu. Akhirnya gue mulai menggambar di kertas gue, awalnya gua menggambar sebuah konter pada suatu Bank dan ada Nasabah yang hendak menabung, Nasabah itu adalah Giant dan Suneo.Mereka hendak menabung di Bank tersebut dengan memaksa staf pelayanan membukakan rekening dan memberikan mereka sejumlah uang sesuai kebutuhan, istilah kerennya merampok kecil-kecilan. Terlihat jelas dari mimik wajah Giant dan Suneo yang gue setting terlihat antagonis. Waktu pun habis, panitia mengumumkan untuk segera mengumpulkan hasil karya masing-masing. Gue selesai dan punya kakak gue juga selesai.
Sambil menunggu hasil keputusan juri, gue dan kakak gue naik turun lift, maklum kakak gue rada usil, kami naik lift dari lantai dasar sampai ke lantai dua puluh, lokasi pembacaan pemenang. Naik, turun, naik, turun, begitu seterusnya. Untung saja listiknya gak mati, kalau listriknya mati, gue dan kakak gue tamat boy. Akhirnya panitia pun mengumumkan hasil penilaian mereka. Juara Pertama, bukan nama gue, Juara kedua juga bukan nama gue, dan yang terakhir juga bukan nama gue. Tapi, masih ada pengumuman untuk juara harapan pertama, kedua dan ketiga boy. Setelah pembagian trophy juara pertama, kedua dan ketiga dibagikan, tiba giliran untuk pembacaan Juara harapan pertama. Dan betapa terkejutnya gue dan Bokap gue, ternyata Juara harapan pertama adalah kakak gue. Diselimuti rasa kecewa, gue tetep harus tabah, tersenyum dan tak lupa bertepuk tangan gembira, karena biar bagaimanapun dia kakak gue, sodara gue boy. Pada saat itu Bokap gue cuma ngomong, "Panitianya salah, sebenarnya elu yang menang tong!", gue yakin Bokap hanya menghibur gue saat itu, tapi tak apalah.
Kakak gue di panggil kedepan untuk pembagian trophy dan uang tunai sebesar Rp.75.000,-. Boy, uang segitu tahun 1995 cukup gede boy, seharga dengan Rp.750.000,- tahun sekarang. Jadi, lu jangan heran kalau uangnya hanya Rp.75.000,-. Gue tak berhenti tepuk tangan atas keberhasilan kakak gue, akhirnya dia pemenangnya. Saat itu gue mengubur keinginan gue dalam-dalam, gue ragu dengan kemampuan gue, gue merasa gue gak mampu dan sungguh gue minder saat itu. Betapa gue menanggung malu di sekolah boy, gue yang dikenal dengan 'Jago' menggambar dan melukis akhirnya yang menang justeru bukan gue, tapi kakak gue. Gue akhirnya terserang penyakit, dan penyakit ini merupakan penyakit menular yang penyebarannya cukup cepat. Penyakit ini disebut oleh ilmu kedokteran dengan penyakit -Malas. Hampir berjuta-juta orang mengidap penyakit berbahaya ini, namun yang perlu gue tegaskan bahwa bukan gue yang ngenularin penyakit ini ke mereka, gue bersumpah bukan gue, bukan kakak gue, dan bukan Bokap atau Nyokap gue. Karena gue yakin degan sepenuh hati, bahwa gue belum sempat menggigit leher mereka.
(*)
Wah, tangan gue pegel boy, nanti gue sambung lagi ya?! Yang pastinya, gue harap lu semua suka dengan apa yang gue tulis, dan harapan gue bagi yang cowok jangan ada yang nembak gue, karena sebaik dan sealim-alimnya gue, gue gak akan pernah memakai rok atau mukena, karena gue cowok!
Loh, lantas nama lu kok Alishba?
Gue bahas pada Chapter berikutnya, oke?
gue juga janji boy, akan mengganti kata "Boy" menjadi "Gan" atau "Agan" di Chapter berikutnya.
Salam.
- Alishba
Diubah oleh alishba 09-09-2016 15:54


anasabila memberi reputasi
1
2.4K
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan