PERINGATAN/WARNING
Ane di sini hanya murni mengajak agan/wati untuk berdiskusi mengenai topik ini, ane tidak, baik secara langsung atau tidak langsung, mengajak agan/wati untuk berganti kewarganegaraan negara manapun...!
Quote:
Selamat pagi/siang/sore/malem agan/wati semuanya...
Masih mengenai persoalan kewarganegaraan nih, salah satu topik yang belum lama ini menghiasi 'headline' banyak media massa di Indonesia karena satu dan lain hal. Di trit kali ini, ane mau mengajak agan/wati untuk berdiskusi dan saling tukar pikiran mengenai pergantian kewarganegaraan, apalagi mengingat kalau sampai hari ini Republik Indonesia tidak mengenal apa yang disebut sebagai 'kewarganegaraan ganda' untuk orang dewasa di atas 18 tahun. Nah, kenapa ane ane sebut 'di atas 18 tahun', hal tersebut karena sebenarnya Indonesia 'mengijinkan' kewarganegaraan ganda sangat terbatas seperti yang tertuang dalam:
Quote:
Anak Berkewarganegaraan Ganda adalah anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, dan huruf l serta dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Anak dalam kategori berkewarganegaraan ganda ini diberikan ruang hukum atau kesempatan untuk memiliki 2 (dua) kewarganegaraan secara bersamaan secara terbatas, yaitu hingga usia 18 (delapan belas) tahun atau sebelum itu namun sudah menikah.
Pembatasan ini diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang mengamanatkan Anak Berkewarganegaraan Ganda setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kimpoi untuk “harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya”. Batas waktu yang diberikan untuk menyampaikan pernyataan untuk memilih kewarganegaraan tersebut adalah untuk disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah. Hal ini merupakan implementasi atas penerapan Asas kewarganegaraan ganda (bipatride) sebagai pengecualian dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, yang bersifat terbatas.
Quote:
Beberapa hari yang lalu ane sempat membaca berita dalam bahasa Inggris, yang bisa diakses melalui link ini, inti dari berita tersebut adalah beberapa alasan seorang Warga Negara Indonesia berganti kewarganegaraan alias memilih untuk menjadi warga negara negara lain.
Spoiler for Seperti ini gan tampilan beritanya::
Quote:
Ane yakin agan/wati semuanya bisa berbahasa inggris, tapi ane sebisa mungkin mau menerjemahkan berita tersebut ke dalam bahasa Indonesia seobjektif munkgin, kira2 seperti ini kali yah gan bunyinya:
Beberapa alasan mengapa WNI yang tinggal di luar negeri berganti kewarganegaraan
Jakarta, GIVnews.com - Dua nama yang mungkin sempat menghebohkan media (Arcandra Tahar dan Gloria Natapradja Hamel) karena kewarganegaraan mereka yang dipertanyakan, alhasil banyak warga negara Indonesia yang mungkin bertanya2, mengapa seorang WNI berganti kewarganegaraan?
Pergantian kewarganegaraan bisa menjadi pilihan yang strategis bagi banyak WNI yang tinggal atau meniti karir di luar negeri.
Ada beberapa alasan mengapa seorang WNI memilih untuk menjadi warga negara negara lain. Salah satunya adalah faktor ekonomi. Negara-negara maju di dunia bisa dibilang menawarkan fasilitas yang memadai, khususnya untuk mereka yang berpendidikan dan berketerampilan/berpengetahuan tinggi.
Musni Umar, ahli sosiologi dari UIN Syarif Hidayatullah dan Imam Prasodjo, ahli sosiologi dari UI sepakat bahwa kesenjangan pendapatan antara pendapatan WNI yang bekerja di luar negeri dibandingkan dengan pendapatan yang mereka dapat di dalam negeri cukup tinggi, seperti yang dilaporkan oleh Dreamers.id
Alasan lainnya adalah pendidikan. Banyak negara di dunia yang menawarkan pendidikan yang gratis atau paling tidak pendidikan dengan biaya yang sangat terjangkau bagi penduduk lokalnya, tapi tidak untuk pendatang dari negara lain. Untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang demikian, WNI yang tinggal di luar negeri akhirnya memutuskan untuk melepaskan kewarganegaraan Indonesianya dan menjadi warga negara negara setempat. Musni mengemukakan kemungkinan lainnya, ada pula WNI yang berpindah negara karena negara tersebut memiliki kepatuhan hukum yang tinggi. Negara dengan populasi 'pendatang' yang tinggi memiliki kecenderungan untuk lebih terbuka terhadap pendatang baru, yang berakibat pada diskriminasi yang lebih rendah.
Sistem birokrasi Indonesia yang kadang berbelitadalah faktor lainnya. Lahir di Yogyakarta, Paul Amron adalah seorang konsultan bisnis dan sudah bekerja di Amerika Serikat selama 26 tahun. 'Banyak anggota diaspora RI di luar negeri yang ingin berkontribusi untuk Indonesia. Tapi hal itu cukup sulit untuk kita, para diaspora, untuk bertukar pikiran dan pengalaman karena setiap kali kita berkunjung ke Indonesia, kita harus melewati proses kebijakan visa yang kadang berbelit, juga urusan birokrasi lainnya', ungkap Paul seperti yang dilaporkan oleh The Jakarta Post.
Sementara itu, Imam juga menambahkan bahwa ada beberapa WNI yang menempuh pendidikan di luar negeri kemudian kesulitan mencari pekerjaan memadai di Indonesia karena keterampilan mereka yang (sampai saat ini) belum relevan dengan kondisi dalam negeri Indonesia. Meskipun pada akhirnya mereka mendapatkan pekerjaan di dalam negeri, 'diaspora' ini kadang mendapatkan apresiasi yang tidak seberapa.
Tentunya berganti kewarganegaraan adalah keputusan sulit para diaspora Indonesia di luar negeri. Di satu sisi, banyak WNI di luar negeri yang memutuskan untuk tetap menjadi WNI, namun hal tersebut adalah keterbatasan untuk mereka. Di beberapa negara, akomodasi, pendidikan dan kesehatan biasanya lebih 'dimudahkan' untuk warga negara setempat atau pemegang 'PR' negara tersebut.
Di sisi lain, apabila seorang WNI memutuskan untuk mendapatkan kewarganegaraan di negara lain, dia akan secara otomatis kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Hal ini karena sampai hari ini Republik Indonesia tidak mengenal sistem kewarganegaraan ganda.
Tapi, kewarganegaraan ganda bisa jadi solusi untuk banyak WNI yang ingin menempuh pendidikan tinggi atau meniti karir di luar negeri, dan pada saat yang bersamaan tetap memberikan kontribusi berarti bagi negara kelahiran, Indonesia. Pada saat ini, pemerintah Indonesia dikabarkan tengah mengkaji kemungkinan penerapan kewarganegaraan ganda.
Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dikabarkan mengemukakan pendapat bahwa kebijakan kewarganegaraan ganda bisa memberikan manfaat bagi Indonesia, seperti dilaporkan oleh Tempo. Beliau memberikan contoh, India dan Singapura, yang memberikan kebebasan bagi warga negara mereka untuk bekerja di banyak perusahaan besar di negeri lain tapi pada saat yang bersamaan tetap mempertahankan kewarganegaraan aslinya. Apabila Indonesia menerapkan kebijakan serupa, maka 'para ahli' dari Indonesia tidak akan 'diambil' oleh negara lain.
Berita terkait:
Quote:
Alasan-alasan ini yang buat WNI ganti kewarganegaraan
Merdeka.com - Fenomena kewarganegaraan ganda tengah heboh dibicarakan di Indonesia. Faktanya, tidak sedikit dari Warga Negara Indonesia (WNI) yang ternyata lebih memilih hijrah ke negara lain dengan berbagai alasan. Mulai dari alasan demi kelancaran kerja, ikut pasangan, tidak ada wadah dan kesempatan bagi WNI-WNI untuk berkarya dan mendapat kehidupan yang layak.
Ada juga, yang merasa kurang diapreasiasi dan diberikan penghargaan atas karya dan kinerja yang mereka buat secara pantas di Indonesia. Kondisi ini membuat para putra-putri berbakat tanah air ini mencari tempat lain untuk berkiprah, salah satu jalannya adalah hijrah ke negara lain.
Alhasil, tak sedikit pula dari WNI yang karirnya menanjak hingga dikenal dunia usai berpindah kewarganegaraan. Berbagai sektor dan bidang strategis di lembaga dan perusahaan internasional, mulai diisi oleh warga berdarah Indonesia.
Meski berdiaspora di negeri orang tak lantas membuat para WNI ini melupakan tanah airnya. Sebab dalam beberapa kasus, banyak WNI berbakat memiliki motivasi untuk mengabdi membangun Indonesia.
Lantas mengapa putra-putri Indonesia pilih berjaya di negeri orang?
Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar mengatakan, ada sejumlah faktor yang membuat WNI akhirnya hijrah dan berganti kewarganegaraan.
Pertama, kata dia, negara lain memiliki ekonomi yang lebih stabil ketimbang Indonesia.Sehingga, WNI yang berpendidikan dan berbakat punya jaminan untuk hidup lebih layak.
"Memang negara lain itu kehidupan ekonomi mereka lebih stabil. Mereka yang berpendidikan itu ada jaminan untuk kehidupan lebih layak, dan jaminan masa tua. Hidup di Indonesia hampir orang yang berpendidikan ini tidak ada jaminan, baik yang bekerja di swasta maupun negeri, gaji minim," kata Musni saat berbincang dengan merdeka.com, Jakarta, Jumat (19/8).
Musni membandingkan kebijakan negara tetangga Malaysia dengan Indonesia. Di Malaysia, menurut dia, sistem yang dibangun cukup baik dengan memandang warga negara sebagai aset. Warga Malaysia disebar ke negara-negara lain untuk menimba ilmu dan keterampilan. Setelah selesai, mereka dipanggil dan disediakan tempat dan wadah untuk membangun negaranya.
"Contoh Malaysia, mereka punya uang, sistem yang mereka bangun, mereka bisa mendapatkan uang, mendapat kesempatan untuk sekolah di luar negeri, setelah kembali disediakan tempat," jelas Musni.
Alasan lain, dari segi hukum diakui Musni, negara-negara maju memiliki supremasi hukum yang lebih tinggi dibanding Indonesia. Hal ini membuat tingkat diskriminasi di mata hukum pun minim.
Tak hanya hukum, di sektor politik, para WNI menganggap negara maju lebih memberikan ruang untuk mendapat kedudukan.
"Dari segi hukum, jadi ada jaminan bahwa orang tidak bersalah, kemudian didiskriminasi kalau di sini, ngapain pulang. Susah di negara sendiri. Dari politik, tidak ada jaminan untuk dapat kedudukan, yang terhormat," terangnya.
Senada dengan Musni, Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo menyebut, faktor kesejahteraan sosial juga menjadi pertimbangan seorang WNI pindah kewarganegaraan. Menurut dia, kesejahteraan sosial di negara lain sangat timpang ketimbang Indonesia, seorang dosen perguruan tinggi di Brunei Darussalam misalnya. Gaji tenaga pengajar (dosen) di Brunei bisa 10 kali lipat dibanding Indonesia.
"Di luar negeri, di Brunei bisa 10 kali lipat. Belum lagi ilmuwan, ahli nuklir, jadi PNS dengan gaji terbatas, dia ditawari sebagai perguruan tinggi gaji yang berlipat, situasi semacam ini realistis untuk bekerja yang tidak hanya penghasilan," ungkap Imam.
Belum lagi, lanjut Imam, ada juga kasus di mana ilmu yang dipelajari WNI di luar negeri tidak memiliki ruang dan wadah di Indonesia sehingga mencari pekerjaan di negara lain.
"Di Indonesia tidak ada tempatnya, ilmu yang dipelajari tidak ada tempatnya, kalau ada tempatnya penghargaan sangat rendah. Di sini menjadi makelar tanah, dihargai. Artis tidak memerlukan ketekunan luar biasa, tapi penghasilan lebih tinggi. Seringkali orang lari, maping di bidang apa, agar tidak lari," tutup dia. Sumber berita
Dari sumber berita yang ane tampilkan di atas, ternyata faktor ekonomi selalu pertama kali disebut sebagai faktor pendorong seorang warga negara Indonesia untuk berganti kewarganegaraan. Indonesia, sebagai sebuah negara, memang bisa dibilang sebagai negara dengan produk domestik bruto yang cukup tinggi di dunia,seperti yang dibahas di sini gan.
Tapi, apabila dilihat dari 'per kapita', ternyata pendapatan per kapita Indonesia tidak seberapa dibandingkan dengan pendapatan per kapita negara lain di dunia:
Dan inilah negara2 dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia gan:
Kalau kita melupakan faktor lainnya, ada kecenderungan WNI memilih negara-negara dengan rerata pendapatan per kapita tertinggi di dunia untuk menjadi 'negara tujuan' mereka. Singapura, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Kanada, Australia, adalah contoh negara2 yang 'laris manis' sebagai tujuan WNI meniti pendidikan dan (setelah itu) karir yang memadai.
Menurut ane pribadi nih, nilai tukar Rupiahyang sampai hari ini masih termasuk dalam daftar 'mata uang dengan nilai tukar terendah di dunia' juga menyebabkan kenapa banyak orang Indonesia yang ingin mengadu nasib di negara lain. Ane mau ambil contoh, katakanlah gaji pegawai toko kelontong di Inggris, yang dinilai 8 poundsterling per jamnya VS gaji pegawai toko kelontong di Indonesia yang mungkin 'hanya' 50.000 Rupiah per jamnya. Dengan kurs yang sekarang ini, maka kedua angka di atas adalah: 139.000 Rupiah vs 50.000 Rupiah. Ini hanya murni melihat dari faktor nilai tukar, tapi kalau kita lihat lagi dengan standar hidup negara setempat, bakalan beda ceritanya gan. Ane sambung yah penjelasannya di postingan nomor 3.
Diubah oleh charlies280590 27-08-2016 19:14
0
9K
Kutip
39
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru