- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pemerintah Kaji Koruptor Tak Dipenjara


TS
khu.lung
Pemerintah Kaji Koruptor Tak Dipenjara
Quote:
JAKARTA– Pemerintah menyatakan sedang melakukan pengkajian untuk menghilangkan hukuman penjara bagi para koruptor. Hal itu dilakukan karena hukuman penjara dinilai tidak menimbulkan efek jera.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, sebagai pengganti hukuman penjara, para koruptor akan dimiskinkan dengan dikenai hukuman mengembalikan uang negara yang diambil beserta dendanya dan dipecat dari jabatannya. ”Kita lagi exercise, melihat di negara- negara lain bagaimana.
Kalau dia merugikan negara, bisa tidak dia dihukum dengan mengembalikan uang negara plus penalti dan dia dipecat dari jabatannya,” ungkap Luhut di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin. Menurut Luhut, kajian itu dilakukan salah satunya karena melihat kondisi penjara di Indonesia yang saat ini penghuninya sudah melebihi kapasitas. Hanya saja, wacana itu masih perlu dikaji, sebab masih terlalu dini.
”Ya lagi di-exercise, artinya kita sedang melihat itu (koruptor dimiskinkan). Kalau masuk penjara, penjara kita bisa penuh nanti. Itu masih very early,” ungkap Luhut. Menurut dia, penyelesaian kasus korupsi harus ada terobosan. Misalnya, jika ada pejabat yang melakukan korupsi, tidak usah lagi dipenjarakan, tetapi hanya cukup membayar kerugian negara dan dicopot dengan tidak hormat dari jabatannya.
”Banyak sekali pejabat yang diperiksa dan tersandung kasus korupsi dengan bangga tersenyum dan tertawa. Malahan rompi berwarna oranye itu seperti sebuah kebanggaan, bukan lagi hal yang memalukan. KPK sudah menangkap menteri, jenderal, kepala daerah, juga tokoh agama. Tapi mereka juga masuk dan kayak tidak bersalah memakai jaket itu,” ujar Luhut.
Rencana pemerintah ini langsung mendapat penolakan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menyatakan, bila melihat praktik penegakan hukum dan peradilan, semua pelaku korupsi dihukum berlapis. Mulai dari pidana badan hingga ditambah mengembalikan uang yang dikorup.
”(KPK) tidak setuju dengan wacana tersebut. Jika hanya pengembalian kerugian negara akan mengaburkan batas pidana dan perdata. Di mana-mana di dunia ini, semua hukuman korupsi itu adalah penjara, denda, dan mengembalikan uang yang dikorupsi,” ungkap Syarif. Adapun Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho mengatakan, pemenjaraan bagi koruptor memang ada beberapa model.
Di antaranya ada yang menggunakan model hukuman pidana penjara, hukuman mati, dan hukuman kerja sosial, serta hukuman mengembalikan uang ke negara dan dikenai penalti. Menurut dia, model hukuman penjara seperti saat ini jika tidak dikelola secara baik akan menjadi masalah yang amat serius.
”Misalnya terlalu banyaknya para narapidana yang tidak seimbang dengan gedung atau lembaga pemasyarakatan yang ada, beban anggaran untuk kehidupan narapidana, pegawai lembaga pemasyarakatan yang mencukupi atau rasio yang ideal antara jumlah narapidana dan pegawai serta anggaran yang secara umum terus meningkat,” ujarnya.
Sementara itu, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyatakan, persepsi masyarakat menganggap kejahatan korupsi telah meningkat bila dibandingkan dengan dua tahun silam. Hal itu didasarkan pada hasil survei CSIS yang dilakukan pada 17-29 April 2016.
Peneliti CSIS Vidhyandika D Perkasa mengatakan, sebanyak 66,4% responden mengatakan peningkatan ini dikarenakan lemahnya penegakan hukum kepada terpidana kor up s i . ”Sebanyak 50,7% menilai penegakan hukum belum memberikan efek jera bagi koruptor,” ungkap Vidhyandika di Jakarta kemarin.
Menurut dia, masyarakat juga menyarankan agar ada peningkatan hukuman bagi koruptor, sanksi pemberhentian bagi pejabat yang terindikasi korup hingga edukasi sejak dini sebagai bagian dari upaya mencegah perilaku korupsi kepada generasi selanjutnya.
”Selain itu ada harapan agar KPK bisa terus bekerja memberantas korupsi. Ini tecermin dari tingginya kepercayaan masyarakat terhadap institusi itu hingga 88,2% (lembaga paling bertanggung jawab dalam memberantas korupsi),” paparnya.
Di luar itu ada keyakinan besar juga dari masyarakat bahwa ada keseriusan pemerintah untuk terus meningkatkan pemberantasan korupsi dan menegakkan hukum bagi pelakunya. ”Sebanyak 58,5% berpendapat pemerintah sudah serius, hanya 32,4% saja yang mengatakan belum serius, dan 9,2% yang bilang tidak tahu,” tambahnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, sebagai pengganti hukuman penjara, para koruptor akan dimiskinkan dengan dikenai hukuman mengembalikan uang negara yang diambil beserta dendanya dan dipecat dari jabatannya. ”Kita lagi exercise, melihat di negara- negara lain bagaimana.
Kalau dia merugikan negara, bisa tidak dia dihukum dengan mengembalikan uang negara plus penalti dan dia dipecat dari jabatannya,” ungkap Luhut di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin. Menurut Luhut, kajian itu dilakukan salah satunya karena melihat kondisi penjara di Indonesia yang saat ini penghuninya sudah melebihi kapasitas. Hanya saja, wacana itu masih perlu dikaji, sebab masih terlalu dini.
”Ya lagi di-exercise, artinya kita sedang melihat itu (koruptor dimiskinkan). Kalau masuk penjara, penjara kita bisa penuh nanti. Itu masih very early,” ungkap Luhut. Menurut dia, penyelesaian kasus korupsi harus ada terobosan. Misalnya, jika ada pejabat yang melakukan korupsi, tidak usah lagi dipenjarakan, tetapi hanya cukup membayar kerugian negara dan dicopot dengan tidak hormat dari jabatannya.
”Banyak sekali pejabat yang diperiksa dan tersandung kasus korupsi dengan bangga tersenyum dan tertawa. Malahan rompi berwarna oranye itu seperti sebuah kebanggaan, bukan lagi hal yang memalukan. KPK sudah menangkap menteri, jenderal, kepala daerah, juga tokoh agama. Tapi mereka juga masuk dan kayak tidak bersalah memakai jaket itu,” ujar Luhut.
Rencana pemerintah ini langsung mendapat penolakan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menyatakan, bila melihat praktik penegakan hukum dan peradilan, semua pelaku korupsi dihukum berlapis. Mulai dari pidana badan hingga ditambah mengembalikan uang yang dikorup.
”(KPK) tidak setuju dengan wacana tersebut. Jika hanya pengembalian kerugian negara akan mengaburkan batas pidana dan perdata. Di mana-mana di dunia ini, semua hukuman korupsi itu adalah penjara, denda, dan mengembalikan uang yang dikorupsi,” ungkap Syarif. Adapun Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho mengatakan, pemenjaraan bagi koruptor memang ada beberapa model.
Di antaranya ada yang menggunakan model hukuman pidana penjara, hukuman mati, dan hukuman kerja sosial, serta hukuman mengembalikan uang ke negara dan dikenai penalti. Menurut dia, model hukuman penjara seperti saat ini jika tidak dikelola secara baik akan menjadi masalah yang amat serius.
”Misalnya terlalu banyaknya para narapidana yang tidak seimbang dengan gedung atau lembaga pemasyarakatan yang ada, beban anggaran untuk kehidupan narapidana, pegawai lembaga pemasyarakatan yang mencukupi atau rasio yang ideal antara jumlah narapidana dan pegawai serta anggaran yang secara umum terus meningkat,” ujarnya.
Sementara itu, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyatakan, persepsi masyarakat menganggap kejahatan korupsi telah meningkat bila dibandingkan dengan dua tahun silam. Hal itu didasarkan pada hasil survei CSIS yang dilakukan pada 17-29 April 2016.
Peneliti CSIS Vidhyandika D Perkasa mengatakan, sebanyak 66,4% responden mengatakan peningkatan ini dikarenakan lemahnya penegakan hukum kepada terpidana kor up s i . ”Sebanyak 50,7% menilai penegakan hukum belum memberikan efek jera bagi koruptor,” ungkap Vidhyandika di Jakarta kemarin.
Menurut dia, masyarakat juga menyarankan agar ada peningkatan hukuman bagi koruptor, sanksi pemberhentian bagi pejabat yang terindikasi korup hingga edukasi sejak dini sebagai bagian dari upaya mencegah perilaku korupsi kepada generasi selanjutnya.
”Selain itu ada harapan agar KPK bisa terus bekerja memberantas korupsi. Ini tecermin dari tingginya kepercayaan masyarakat terhadap institusi itu hingga 88,2% (lembaga paling bertanggung jawab dalam memberantas korupsi),” paparnya.
Di luar itu ada keyakinan besar juga dari masyarakat bahwa ada keseriusan pemerintah untuk terus meningkatkan pemberantasan korupsi dan menegakkan hukum bagi pelakunya. ”Sebanyak 58,5% berpendapat pemerintah sudah serius, hanya 32,4% saja yang mengatakan belum serius, dan 9,2% yang bilang tidak tahu,” tambahnya.
Spoiler for source:
enak banget ya....mungkin konco-konconya luhut ini banyak yg kena kasus korupsi. atau jadi nggak leluasa korupsi ke depannya

0
1.4K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan