- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Membangun Kesadaran dan Kesiapsiagaan Masyarakat


TS
act.id
Membangun Kesadaran dan Kesiapsiagaan Masyarakat

Wahyu Novyan
Disaster Management Institute of Indonesia (DMII)
Mengenang 10 Tahun Tsunami Pangandaran:
Disaster Management Institute of Indonesia (DMII)
Mengenang 10 Tahun Tsunami Pangandaran:
Sore hari, tanggal 17 bulan Juli tahun 2006 pasti akan selalu dikenang sebagai sore nan pilu bagi masyarakat pesisir pantai Pangandaran. Betapa tidak. Gempa bumi berkekuatan 7,7 Skala Richter seketika disusul gelombang tsunami setinggi 21 meter mengakibatkan 668 korban jiwa, 65 hilang (hingga kini diasumsikan meninggal dunia), sementara itu 9.299 lainnya luka-luka (WHO, 2007. Mengutip dari berbagai sumber yang berserak di media daring, korban jiwa terhimpun dari 8 Kabupaten di pesisir Selatan Pulau Jawa, yakni Kab. Ciamis (Pangandaran), Kab Tasikmalaya, Kab Garut, Kab Banjar, Kab Cilacap, Kab Kebumen, Kab. Bantul, dan Kab Gunung Kidul.
Gempa dan tsunami Pangandaran terjadi hanya berjarak kurang dari 2 bulan pasca gempa tragis di Wilayah Yogyakarta yang menewaskan lebih dari 5000 jiwa. Mengembalikan kembali ingatan, di sepanjang tahun 2006 itu pula terjadi sejumlah bencana dalam skup “lebih kecil” lainnya di seantero nusantara, tentu rentetan bencana di tahun 2006 ini menimbulkan kisah pilu tentang hitungan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit.

Pada kenyataannya, Indonesia memang merupakan negeri dengan garis pantai sangat luas, berada di antara 2 samudera, Hindia dan Pasifik, dihimpit oleh 3 lempeng tektonik; Euro-Asia, Pasific, dan Australia, serta dilewati jalur pegunungan api. Kondisi ini jelas memiliki sekompleks potensi bencana. Masih terngiang tentunya di benak kita semua betapa dahsyatnya Tsunami Aceh (2004) yang menewaskan lebih dari 160 ribu jiwa di Propinsi paling ujung barat Nusantara.
Kesadaran dan Kesiapsiagaan
Menjadi warga di sebuah Negara “supermarket” bencana seperti Indonesia tentu bukan lah kutukan. Jelas bukan sebuah kondisi yang patut kita sesali. Pilihan sikap bijak yang semestinya kita lakukan adalah secara sadar “bersahabat” dengan bencana. Caranya? Tentu dengan memahami alam kita dengan segala potensinya, kemudian mencoba untuk menjaganya, dan membangun basis masyarakat yang siap siaga terhadap bencana.
Membangun masyarakat yang siap siaga terhadap bencana pun bukan perkara mudah. Bahkan mungkin masuk kategori sangat sulit, waktu yang dibutuhkan pun tak bisa dianggap singkat. Sekurang-kurangnya ada dua faktor utama yang melatarbelakangi hal diatas.
Pertama, faktor geografis Indonesia yang sangat luas dan memiliki beragam potensi bencana, tentu berkontribusi terhadap tingkat kesulitan yang mengedukasi, dan menyadarkan masyarakat luas, di seantero negeri.
Kedua, faktor komitmen pemerintah. Ini tergambar nyata dari minimnya alokasi anggaran yang diperuntukkan bagi program edukasi dan mitigasi bencana. Karena sudah pasti membutuhkan investasi yang besar untuk membangun infrastruktur mitigasi bencana, semisal pemasangan Tsunami Early Warning System di setiap wilayah yang berpotensi tsunami.
Berkaca pada Tsunami yang melanda Tohoku Jepang pada 2011 lalu, dimana Pemerintah dan masyarakat Jepang yang notabene sangat melek teknologi dan Highly concern terhadap pembangunan infrastruktur mitigasi gempa dan tsunami, pun nyatanya tetap tidak dapat mencegah ‘kehadiran’ tsunami di wilayah Jepang bagian Timur ini. Lebih dari 15 ribu jiwa menjadi korban tewas akibat tsunami. Artinya, mitigasi bencana yang sudah dilakukan pun bisa tidak berarti dan sia-sia, bagaimana pula bila tanpa ada tindakan dan upaya mitigasi bencana?
Terkait dengan Tsunami Pangandaran 2006, sebuah pernyataan yang penulis kutip dari Penelitian Muhari dkk. (2007) menyebut bahwa rata-rata 40 persen masyarakat di Cilacap, Sukaresik, Wonoharjo, dan Pangandaran tidak merasakan adanya gempa sebelum tsunami datang. Sebanyak 40 persen lainnya merasakan gempa yang sangat lemah dan kurang dari 20 persen lainnya yang merasakan gempa cukup kuat. Data tersebut menjadi dasar yang menjelaskan kenapa sebagian besar masyarakat tidak melakukan evakuasi sebelum tsunami datang atau baru evakuasi setelah gelombang sudah berada di bibir pantai.
Tentu tidak cukup hanya mengandalkan ketersediaan early warning system (EWS) berbasis teknologi an sich, yang terkadang juga tidak dipahami kegunaannya oleh masyarakat sekitar, tapi yang paling penting adalah membangunkan sikap-mental yang tepat dalam merespons potensi bencana.
Selain itu, juga perlu dibentuk organisasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat, semacam Kelompok Siaga Bencana (KSB) yang sudah dididik basic skill PB, sehingga dapat melakukan tugas secara baik, termasuk dalam konteks aktivitas edukasi dan mitigasi bencana. Penekanan tugas pokok tim KSB bukan pada fase tanggap darurat, melainkan pada fase pra-bencana, dengan menggiatkan edukasi dan mitigasi bencana.
Dengan adanya masyarakat yang memiliki kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bencana, ditambah lagi di-organize oleh Kelompok Siaga Bencana, maka kita dapat berharap untuk menekan sekecil mungkin risiko bencana yang akan terjadi di masa depan.
Wallahu a’lam bisshowaab. []
Ayo Berpartisipasi
0
863
15


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan