- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Bagaimana Pokemon GO dan Playstation menggerakkan ekonomi kreatif


TS
p0congkaskus
Bagaimana Pokemon GO dan Playstation menggerakkan ekonomi kreatif
Bagaimana Pokemon GO dan Playstation menggerakkan ekonomi kreatif

Parade boneka Pikachu (flickr.com)
Belakangan ini media mainstream baik online maupun cetak banyak memberitakan tentang game Pokemon GO yang memang sedang banyak digemari. Maraknya Pokemon GO saat ini mengingatkan saya pada ramainya game konsol Playstation di awal tahun 2000’an. Saya menjadi tergelitik ikut membahasnya dari sudut pandang yang lebih santai, dan sedikit nostalgia.
Sedikit cerita tentang Pokemon GO, game produksi Nintendo ini sesungguhnya merupakan game yang sudah lama ada, yaitu sejak tahun 80’an akhir. Game ini berkembang dari konsol Game Boy hingga bentuknya yang kini dapat diunduh dan dimainkan pada telepon pintar.
Game-nya sendiri berangkat dari ide yang sederhana, tentang seorang anak yang dapat menangkap monster Pokemon yang bisa bicara dan bertarung. Pokemon sendiri adalah singkatan dari Pocket Monster atau monster kantong. Makhluk unik ini punya rumah yang bisa dikantongi oleh pemiliknya yang diistilahkan Pokedex.
Dengan perkembangan teknologi telepon pintar, bermain game Pokemon di era generasi media sosial saat ini menjadi terasa lebih nyata. Jika di generasi sebelumnya Pokemon hanya dapat ditangkap di dalam layar konsol, maka Pokemon GO saat ini sudah memanfaatkan kecanggihan augmented reality dengan bantuan fitur kamera, GPS, dan koneksi internet.
Saat gamers memainkan Pokemon GO, mereka berada pada dunia simulasi yang berhubungan dengan kenyataan, sehingga monster-monster Pokemon menjadi seolah hidup di dunia nyata—semacam simulasi simulakra yang pernah disebut filsuf Jean Baudillard. Tak ada lagi batas dunia fiksi dan realitas, karena kita khayalan dan kenyataan bisa tersambung secara langsung.
Media di dalam dan luar negeri lantas memuat berbagai kehebohan game ini. Para trainer—penangkap monster Pokemon—melakukan perbuatan tidak lazim saat memburu Pokemon: menginjak-injak taman Holocaust—lokasi yang sangat sensitif, atau dirampok saat berburu Pokemon langka, hingga yang terbaru, surat edaran dari pemangku birokrasi pemerintah dan militer Republik Indonesia yang melarang aktivitas menangkap Pokemon di gedung dan instalasi penting milik negara.
Meski belum diluncurkan secara resmi, game Pokemon GO juga begitu heboh di masyarakat. Banyak gamers yang mengunduh game ini secara ilegal dengan memanfaatkan penyedia aplikasi pihak ketiga. Bahkan fenomena Pokemon GO ini juga dimanfaatkan perusahaan untuk mempromosikan produk jualan mereka seperti online shop. Media-media lokal yang sebelumnya jarang menginformasikan dunia game pun tak mau kalah memberitakan kehebohan Pokemon GO.
Ironisnya meski Pokemon GO mencatat angka yang mencengangkan terkait kesuksesan ekonominya, seperti meraup 20 juta US$/hari dan naiknya harga saham Nintendo hingga 20 persen, masih sedikit dari uang pendapatan game tersebut kemudian berimbas ke warga lokal kita atau dalam kata lain ekonomi kerakyatan di Indonesia. Artinya generasi gamers Pokemon GO sementara ini hanya menjadi konsumen, yang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya takluk pada kuasa pemilik modal.
Bagi mereka yang hidup sebagai generasi milenial, kehebohan Pokemon GO ini pernah terjadi di awal 2000’an dengan bentuk yang lain yaitu hebohnya konsol Playstation. Namun demikian ada perbedaan fundamental antara hebohnya Pokemon Go dengan bentuk permainan zaman dulu yang saya alami, terutama dalam sektor ekonomi.
Heboh Rental Playstation
Saat fenomena konsol Playstation di tahun 2000-an muncul, masyarakat Indonesia juga tidak kalah riuh menyambutnya. Playstation menjadi ikon modernitas dan sebuah gaya hidup yang harus diikuti. Saat itu Playstation digemari tidak hanya oleh masyarakat di kota besar, juga warga kota kecil bahkan desa-desa. Melalui game-game fenomenal seperti Final Fantasy, Winning Eleven atau Crash Bandicot, Playstation bisa dimainkan oleh siapa saja, walaupun konsol buatan Sony tersebut secara resmi tidak dipasarkan di Indonesia.
Konon saat itu seluruh Playstation yang beredar di Indonesia adalah barang selundupan dari Tiongkok, dengan keistimewaan dapat memainkan CD Bajakan lewat chip khusus yang ditanamkan oleh penyelundupnya. Keramaian masyarakat tentang Playstation mungkin hampir sama dengan demam Pokemon GO saat ini, meski belum ada media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Menariknya heboh Playstation saat itu bersentuhan secara langsung dengan perekonomian warga lokal, yaitu dengan maraknya rental Playstation.Warga yang mempunyai keinginan berwirausaha, dengan hanya bermodal sekitar 10 juta rupiah dapat membuka usaha rental Playstation di rumahnya, dan membuka lapangan kerja bagi warga sekitarnya.
Rental Playstation ini mempunyai efek domino bagi lapangan pekerjaan lainnya yang berkaitan seperti jasa service Playstation, penjualan cd bajakan, jasa warung makan—termasuk warung kelontong yang menjual rokok—di sekitar lokasi rental hingga jasa parkir dadakan untuk rental Playstation berukuran besar.
Tentu perputaran uang yang terjadi tidak kecil sebab rental playstation ini dapat kita temukan hingga ke desa-desa entah di pulau Jawa maupun Sumatera dan Kalimantan. Sisa-sisa dari kejayaan rental Playstation masih dapat saya lihat di beberapa kota, meski jumlahnya tidak sebanyak beberapa tahun lalu.
Lantas harus bagaimana?
Saya sendiri berasumsi positif bahwa kehadiran Pokemon GO nantinya bisa juga menggerakan perekonomian di tingkat akar rumput. Baru-baru ini saya mendengar sudah ada penawaran jasa transportasi untuk mencari Pokemon di Jakarta, begitu juga penjual makanan yang mangkal di tempat pencarian Pokemon melonjak drastis, karena ramainya anak muda berkunjung ke sana. Ada juga cerita tentang museum yang mempromosikan tempat berburu pokemon sekaligus wisata sejarah.
Sebuah kreativitas dari masyarakat yang saya pikir jika dikelola dengan baik dapat berujung positif seperti era rental Playstation dahulu. Saya berharap tentunya kehebohan Pokemon GO tidak lagi dianggap sebagai ancaman, namun sebaliknya sebuah peluang bagi pengembangan ekonomi kreatif yang saat ini sedang digencarkan pemerintah.
Sumber: https://youngage.co/bagaimana-pokemo...onomi-kreatif/

Parade boneka Pikachu (flickr.com)
Belakangan ini media mainstream baik online maupun cetak banyak memberitakan tentang game Pokemon GO yang memang sedang banyak digemari. Maraknya Pokemon GO saat ini mengingatkan saya pada ramainya game konsol Playstation di awal tahun 2000’an. Saya menjadi tergelitik ikut membahasnya dari sudut pandang yang lebih santai, dan sedikit nostalgia.
Sedikit cerita tentang Pokemon GO, game produksi Nintendo ini sesungguhnya merupakan game yang sudah lama ada, yaitu sejak tahun 80’an akhir. Game ini berkembang dari konsol Game Boy hingga bentuknya yang kini dapat diunduh dan dimainkan pada telepon pintar.
Game-nya sendiri berangkat dari ide yang sederhana, tentang seorang anak yang dapat menangkap monster Pokemon yang bisa bicara dan bertarung. Pokemon sendiri adalah singkatan dari Pocket Monster atau monster kantong. Makhluk unik ini punya rumah yang bisa dikantongi oleh pemiliknya yang diistilahkan Pokedex.
Dengan perkembangan teknologi telepon pintar, bermain game Pokemon di era generasi media sosial saat ini menjadi terasa lebih nyata. Jika di generasi sebelumnya Pokemon hanya dapat ditangkap di dalam layar konsol, maka Pokemon GO saat ini sudah memanfaatkan kecanggihan augmented reality dengan bantuan fitur kamera, GPS, dan koneksi internet.
Saat gamers memainkan Pokemon GO, mereka berada pada dunia simulasi yang berhubungan dengan kenyataan, sehingga monster-monster Pokemon menjadi seolah hidup di dunia nyata—semacam simulasi simulakra yang pernah disebut filsuf Jean Baudillard. Tak ada lagi batas dunia fiksi dan realitas, karena kita khayalan dan kenyataan bisa tersambung secara langsung.
Media di dalam dan luar negeri lantas memuat berbagai kehebohan game ini. Para trainer—penangkap monster Pokemon—melakukan perbuatan tidak lazim saat memburu Pokemon: menginjak-injak taman Holocaust—lokasi yang sangat sensitif, atau dirampok saat berburu Pokemon langka, hingga yang terbaru, surat edaran dari pemangku birokrasi pemerintah dan militer Republik Indonesia yang melarang aktivitas menangkap Pokemon di gedung dan instalasi penting milik negara.
Meski belum diluncurkan secara resmi, game Pokemon GO juga begitu heboh di masyarakat. Banyak gamers yang mengunduh game ini secara ilegal dengan memanfaatkan penyedia aplikasi pihak ketiga. Bahkan fenomena Pokemon GO ini juga dimanfaatkan perusahaan untuk mempromosikan produk jualan mereka seperti online shop. Media-media lokal yang sebelumnya jarang menginformasikan dunia game pun tak mau kalah memberitakan kehebohan Pokemon GO.
Ironisnya meski Pokemon GO mencatat angka yang mencengangkan terkait kesuksesan ekonominya, seperti meraup 20 juta US$/hari dan naiknya harga saham Nintendo hingga 20 persen, masih sedikit dari uang pendapatan game tersebut kemudian berimbas ke warga lokal kita atau dalam kata lain ekonomi kerakyatan di Indonesia. Artinya generasi gamers Pokemon GO sementara ini hanya menjadi konsumen, yang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya takluk pada kuasa pemilik modal.
Bagi mereka yang hidup sebagai generasi milenial, kehebohan Pokemon GO ini pernah terjadi di awal 2000’an dengan bentuk yang lain yaitu hebohnya konsol Playstation. Namun demikian ada perbedaan fundamental antara hebohnya Pokemon Go dengan bentuk permainan zaman dulu yang saya alami, terutama dalam sektor ekonomi.
Heboh Rental Playstation
Saat fenomena konsol Playstation di tahun 2000-an muncul, masyarakat Indonesia juga tidak kalah riuh menyambutnya. Playstation menjadi ikon modernitas dan sebuah gaya hidup yang harus diikuti. Saat itu Playstation digemari tidak hanya oleh masyarakat di kota besar, juga warga kota kecil bahkan desa-desa. Melalui game-game fenomenal seperti Final Fantasy, Winning Eleven atau Crash Bandicot, Playstation bisa dimainkan oleh siapa saja, walaupun konsol buatan Sony tersebut secara resmi tidak dipasarkan di Indonesia.
Konon saat itu seluruh Playstation yang beredar di Indonesia adalah barang selundupan dari Tiongkok, dengan keistimewaan dapat memainkan CD Bajakan lewat chip khusus yang ditanamkan oleh penyelundupnya. Keramaian masyarakat tentang Playstation mungkin hampir sama dengan demam Pokemon GO saat ini, meski belum ada media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Menariknya heboh Playstation saat itu bersentuhan secara langsung dengan perekonomian warga lokal, yaitu dengan maraknya rental Playstation.Warga yang mempunyai keinginan berwirausaha, dengan hanya bermodal sekitar 10 juta rupiah dapat membuka usaha rental Playstation di rumahnya, dan membuka lapangan kerja bagi warga sekitarnya.
Rental Playstation ini mempunyai efek domino bagi lapangan pekerjaan lainnya yang berkaitan seperti jasa service Playstation, penjualan cd bajakan, jasa warung makan—termasuk warung kelontong yang menjual rokok—di sekitar lokasi rental hingga jasa parkir dadakan untuk rental Playstation berukuran besar.
Tentu perputaran uang yang terjadi tidak kecil sebab rental playstation ini dapat kita temukan hingga ke desa-desa entah di pulau Jawa maupun Sumatera dan Kalimantan. Sisa-sisa dari kejayaan rental Playstation masih dapat saya lihat di beberapa kota, meski jumlahnya tidak sebanyak beberapa tahun lalu.
Lantas harus bagaimana?
Saya sendiri berasumsi positif bahwa kehadiran Pokemon GO nantinya bisa juga menggerakan perekonomian di tingkat akar rumput. Baru-baru ini saya mendengar sudah ada penawaran jasa transportasi untuk mencari Pokemon di Jakarta, begitu juga penjual makanan yang mangkal di tempat pencarian Pokemon melonjak drastis, karena ramainya anak muda berkunjung ke sana. Ada juga cerita tentang museum yang mempromosikan tempat berburu pokemon sekaligus wisata sejarah.
Sebuah kreativitas dari masyarakat yang saya pikir jika dikelola dengan baik dapat berujung positif seperti era rental Playstation dahulu. Saya berharap tentunya kehebohan Pokemon GO tidak lagi dianggap sebagai ancaman, namun sebaliknya sebuah peluang bagi pengembangan ekonomi kreatif yang saat ini sedang digencarkan pemerintah.
Sumber: https://youngage.co/bagaimana-pokemo...onomi-kreatif/
0
2.2K
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan