manjuntak15Avatar border
TS
manjuntak15
Brexit dan Mudik


Berikut ini kutipan wawancara SBY dengan CNNNEWS:

“10 tahun saya mengelola mudik lebaran. Ada masalah. Saya selalu meninjau melalui Nagrek, Bakahuni, Merak, Cikampek, bahkan kemudian Jawa Timur sampai Jawa Tengah saya datangi. Di mana? Nagrek 3 kali saya meninjau untuk mencari solusi. Memang ada masalah-masalah itu. Tetapi memang tidak separah ini!

"Setiap mendekati lebaran, paling tidak 3 kali sidang kabinet. Mungkin tidak terlalu banyak diberitakan dulu. Saya pastikan kalau sudah mudik lebaran, yang ngatur transportasi ada, yang menyiapkan bahan bakar bahkan keliling juga ada, yang petugas kesehatan kalau kecelakaan juga ada, logistik juga ada, demikian juga yang laut dan udara, itu operasi total, mengapa? Kita harus melayani masyarakat,” papar SBY.


halah quontol luh



Brexit dan Mudik

Dari dulu Brebes terkenal karena telur asin dan bawang merahnya.

Kesohoran dari kedua komoditas itu sudah menusantara dan siapa pun yang akan ke Tegal atau Semarang melewati jalur pantura, akan melewati deretan telur asin dan bawang merah dipajang di toko-toko sepanjang jalan raya Brebes; dan buat saya, setiap pulang dari Tegal atau Cilacap (kediaman almarhum dan almarhumah mbah saya) pasti mampir di Brebes, belanja telur asin (versi sekarang ada yang dibakar).

Tetapi itu dulu. Sekarang Brebes makin ngetop, gara-gara ada Brebes Exit, yaitu exit jalan tol Cipali (Cikopo-Palimanan) yang sekarang sudah mencapai Brebes Timur. Kebetulan kalau diplesetkan sedikit, singkatannya menjadi Brexit, yang pas betul dengan singkatan British Exit, yaitu sebuah keputusan menghebohkan yang diambil pada Juni 2016 ini juga (bertepatandenganRamadan1437H) oleh Inggris untuk keluar dari Uni Eropa. Jadi di Indonesia sekarang ada dua Brexit, yaitu Brebes Exit dan British Exit. Tentu yang jauh lebih menghebohkan adalah Brebes Exit.

Dulu waktu jalan tol baru sampai Cikampek, jarak antara Cawang ke Tegal (kampung saya jaman sekolah) bisa ditempuh dalam waktu sekitar 7 jam (untuk ke Semarang seingat saya antara 10-11 jam). Tetapi setelah jalan tol mencapai Pejagan, jarak Cawang-Tegal hanya 4 jam. Walaupun begitu, media massa (saya sendiri kebetulan sudah lama tidak mudik ke Tegal, karena ibu saya tinggal di Bogor) melaporkan bahwa banyak pemudik yang sampai jam yang ke-30 masih terhenti di Brexit.

Padahal pada zaman tol baru sampai Cikampek, perjalanan 24 jam sampai Jawa Tengah sudah membuat berita heboh bukan main. Saya sendiri pernah mendampingi petinggi-petinggi Mabes Polri, ikut memantau kemacetan lalu lintas mudik Lebaran awal 1990-an, dengan menggunakan helikopter. Melihat simpul kemacetan di tol Cikampek, kapolda Jabar dihubungi dan diminta untuk menurunkan satu regu Brimob dengan helikopter untuk mengurai kemacetan.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kemacetan pun terurai. Sekarang dengan persiapan yang jauh lebih baik, dukungan Traffic Control melalui teknologi informasi yang supercanggih, keberadaan Brexit ini malah menyebabkan masalah baru. Wakapolri Komjen Pol Budi Gunawan hanya menyatakan bahwa jumlah kendaraan pemudik jauh melebihi kapasitas jalan tol. Benar sekali.

Tetapi mengapa jalan tol seluas itu tetap tidak bisa menampung jumlah kendaraan yang lewat? Mau diperluas sampai seberapa lagi? Kan tidak mungkin seluruh Pulau Jawa dijadikan jalan tol semua untuk memungkinkan mobilmobil mondar-mandir dengan leluasa?

*** Zaman dulu, waktu di Amerika baru ditemukan jaringan telepon yang bisa menghubungkan setiap warga Amerika dari puncak gunung sampai tepi lautan, ada pandangan optimistis bahwa kemacetan di New York City (waktu itu New York pun sepertinya sudah macet) akan berkurang, karena masyarakat tidak lagi perlu bepergian untuk saling meeting atau sekadar bersilaturahmi. Tetapinyatanya, sampaihari ini New York City masih menjadi kota termacet sedunia.

Saya pernah juga ke London, Tokyo, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, dan Amsterdam. Semuanya kota metropolitan seperti Jakarta, hanyasaja kotakota mereka sudah dilengkapi dengan sistem transportasi umum yang super duper canggih. Tetapi tetap saja kemacetannya tidak teratasi. Pertanyaan kita sekarang, mengapa pengadaan fasilitas umum seperti jalan raya tidak bisa mengurangi kemacetan?

Akan berhasilkah imbauan Ahok untuk mengalihkan arus penumpang ke fasilitas kendaraan umum yang sudah diperbaiki pelayanan maupun kualitas sarana dan prasarananya? Saya khawatir, dan mohon maaf, jawabannya adalah tidak. Tidak akan jumlah pengguna jalan raya berkurang karena mereka beralih dari mobil/motor pribadi ke kendaraan umum. Penyebabnya adalah bahwa orang pada umumnya enggan keluar dari comfort zone-nya.

Mereka yang sudah nyaman naik mobil dengan sopir (seperti saya), malaslah pindah ke bus yang harus antre dan berdesakanjuga. Kalaupunadayangmau pindah, adalah orang yang mencari alternatif lebih nyaman (comfort) lagi. Contohnya seorang profesor dari UI, yang tinggal di daerah Senen, beliau dengan senang hati meninggalkan mobilnya di rumah, karena dari rumahnya beliau tinggal naik ojek sebentar ke stasiun, dan kereta api akan membawanyakeDepokhanyadalam waktu 30 menit, yang biasanya beliau tempuh lebih dari satu jam jika membawa mobil sendiri.

Tetapi perlu diingat bahwa kereta api Senen-Depok pada jam-jam pagi hari adalah melawan arus, dan keretanya full AC. Tetapi jarang orang seperti profesor kita ini. Dosen-dosen UI yang dari Depok sendiri enggan untuk ke Kampus Salemba, karena kalau ikut arus penumpang di pagi hari keretanya sangat berdesakan. Bagaimana dengan Brexit? Semua orang membayangkan BrebesExitsebagaipilihanbaru yang lebih baik dan nyaman. Mereka pikir kalau bisa sampai Tegal hanya dalam tempo lima jam, mengapa kita harus menggunakan modus kendaraan lain?

Celakanya yang berpikir seperti itu bukan kita sendiri saja, melainkan semua orang. Akibatnya pada hari H- 4 semua orang berlomba memacu kendaraan pribadi masing-masing dan semuanya menumpuk di Brexit, terjebak pada kemacetan yang luar biasa.

Di dalam psikologi, gejala ini dinamakan supply creates demand (tawaran menyebabkan permintaan), yang menyebabkan betapapun dibuat jalan raya dan jalan tol, kemacetan tidak akan berkurang, karena makin dibuat sarana dan prasarana, makin besar kebutuhan masyarakat pada sarana dan prasarana itu.

"Namun, apapun bentuknya, kemacetan tetaplah bukan sesuatu yang tepat dijadikan alasan untuk saling menyerang dan menyalahkan.
Sebab infrastruktur yang baik ditunjang pula oleh peran serta seluruh rakyat Indonesia, bukan dari sinisme dan apatisme yang berlebihan."


Selamat lebaran dan liburan. Maaf lahir dan batin.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Psikologi UI dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI

sumber
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=2&date=2016-07-10
0
1.9K
2
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan