- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[Cerpen] Selaras Dalam Hening


TS
redxiv
[Cerpen] Selaras Dalam Hening
Selaras Dalam Hening
Spoiler for Part 1:
In his eyes,
Dia meletakkan sendok-garpunya, memberiku arti bahwa dia telah menyelesaikan makanannya. Mengambil minuman dihadapannya lalu meneguknya sekali—hanya sekali, dan itu pun sedikit sekali! Senafas kemudian dia duduk dengan punggung tegak, lutut merapat, dan kedua tangan lurus menyentuh lutut. Dia duduk hampir tak bergeming, meski aku berani bertaruh dia tahu aku tengah memperhatikannya, dari balik kaca di teras sebuah restoran ini di lantai dua.
Aku menyerah, ini sudah hampir tiga menit dan dia masih duduk dengan posisi seperti itu. Dan kujamin dia akan tetap terus seperti itu hingga tiga puluh menit ke depan jika aku tak segera menghampirinya. Kebiasaan buruknya itu sama sekali tidak berubah!
Aku bangkit dengan enggan, menyingkapheadset yang terpasang di kepalaku. Aku belum tahu apa yang harus kukatakan kepadanya, pertemuan ini terlalu mendadak, dan aku tak tahu apa maksudnya yang tiba-tiba meminta untuk bertemu. Aku tak bisa berlama-lama, berada terus di dekatnya hanya akan membuatku kesal. Dan jika harus membuat daftar nama orang-orang yang kubenci, dengan senang hati akan kuletakkan namanya di urutan teratas.
“Sudah berapa lama kau tidak makan?”—tanpa sadar aku menyentaknya. “Melihat dari caramu makan, aku berani duga seharian ini kau belum memakan apapun.”
Gila, pikirku. Kenapa aku mengatakan hal itu? Memang apa yang salah dari caranya makan? Aku mengatakannya tanpa berpikir sama sekali!
“Maaf...” ujarnya lirih tanpa sedikit pun mau mengangkat wajahnya yang tertunduk.
Aku menatapnya dalam diam, dan agaknya sedikit merasa bersalah. “maaf—“aku coba memperbaikinya, tapi rasanya suaraku tercekik di tenggorokan. “maksudku—“
Tanpa kuminta, memoriku menarik kembali kenanganku saat bersamanya. Saat kutanyakan hal yang sama, tentang ‘sudah berapa lama kau tidak makan?’ Reaksinya saat itu sungguh berbeda, dan entah kenapa aku merindukannya. Wajahnya yang cemberut karena kesal dengan mulut penuh dengan makanan.
“Bagaimana kabarmu?” kataku yang tanpa sadar kembali meninggikan suara.
Ini sudah delapan tahun berlalu. Mau sampai kapan aku harus terus mengingat kenangan bodoh itu.
In her eyes,
Aku menyelesaikan makanku, dan meletakkan sendok garpu di atas piring. Aku gugup, sangat gugup. Dia masih duduk di sana—di teras restoran ini, mengawasiku! Kupikir akan sangat wajar jika seandainya dia pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun setelah dia memesankan makanan untukku. Aku merasa aku memang pantas menerima perlakukan itu. Namun nyatanya tidak, meski kuyakin dia sedang sangat marah sekarang, tapi dia masih berada di sana, menungguku. Dan itu—meski mungkin terdengar sangat jahat—membuatku gembira. Aku senang dia masih mengingat makanan favoritku, aku senang dia masih memperhatikan kebiasaanku yang terlalu malas makan, dan aku senang dia mau menemuiku tanpa bertanya alasannya.
“Sudah berapa lama kau tidak makan?” katanya tiba-tiba. Aku bahkan tak sadar dia sudah berada di depanku. “Melihat dari caramu makan, aku berani duga seharian ini kau belum memakan apapun.”
Dia pasti akan tambah kesal jika kukatakan aku belum memakan apapun bahkan sejak kemarin.
“Maaf...” jawabku tanpa berani mengangkat kepala. Aku takut—sangat takut dia akan bisa melihat senyum di wajahku. Ini benar-benar bukan waktu yang tepat bagi kami untuk bercanda.
“Bagaimana kabarmu?” dia bertanya.
Pertanyaan itu menghapus senyum yang kusembunyikan. Mengingatkanku pada sikap dinginnya di acara reuni SMU yang diadakan dua minggu lalu. Saat itu, di pertemuan pertama kali setelah delapan tahun, dia hanya memandang sekali kearahku yang diiringi sebuah anggukan kepala.
“Baik...” jawabku.
Aku tahu aku pantas menerima perlakukan itu—sikap sok dinginnya itu. Dan jujur saja, itu bahkan jauh lebih sopan daripada ribuan skenario yang terbayang di kepalaku. Tapi tetap saja, tanpa senyum, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sungguh kejam. Padahal aku ingin mendengar suaranya; padahal aku ingin sekali dia bertanya bagaimana kabarku saat ini...
“Pernah bekerja di salah satu perusahaan di kota ini,” aku berkata datar. Dan sebenarnya maksud tujuanku mengatakjan hal itu hanya untuk mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang terus berputar di kepalaku.
Kuberanikan diri mengangkat kepala dan sekilas menatapnya—seraya kemudian berpaling, dan menatap meja-meja kosong di teras luar. Terasa hampa, meja-meja itu seakan memudar dihadapanku, coba bersatu dengan kehidupan membosankan yang kulalui selama delapan tahun ini.
“ Tapi tidak bertahan terlalu lama, aku berhenti karena bosan,” kulanjutkan ceritaku. “Juga pernah bekerja di sebuah perusahaan di ibu kota, hanya selama enam bulan sebelum akhirnya juga berhenti karena bosan. Pernah juga aku coba membuka toko online, maksudnya menjual barang seperti ornamen, atau menerima pesanan untuk desain sebuah tas—dan; atau sejenisnya, tapi itu juga tidak bertahan lebih dari setengah tahun. Terakhir kali aku bekerja di sebuah resort milik salah seorang kerabat dari ibuku, mereka berpendapat mungkin suasana di tempat itu bisa membantuku, tapi nyatanya juga tidak membantu sama sekali. Ay—keluargaku,”—aku kembali menundukkan kepala. “Mengatakan mungkin aku harus melanjutkan pendidikanku, dan memang hal itu sedang ku pertimbangkan.”
Selesai bercerita aku sedikit menatapnya—tidak—kukatakan itu pada diriku sendiri.
“Kau sendiri, bagaimana kabarmu?” aku balik bertanya.
Giliran dirinya yang menatap ke meja-meja kosong di teras luar sekarang. Tapi itu tak berlangsung lama, dia kembali menatapku dan berkata, “tidak ada yang istimewa. Menyelesaikan pendidikan sarjana empat tahun, langsung mendapat pekerjaan di tempat yang tak jauh dari sini. Dan masih terus berlanjut hingga sekarang.”
Aku tersenyum, sebuah senyum yang sangat kupaksakan. Kemudian berpaling.
Aku tak mengerti, pikirku, aku merasa semua tidak sedang berada di tempat yang seharusnya. Sesuatu yang kami impikan, tentang bagaimana kehidupan kami sepuluh tahun mendatang saat berbincang berdua penuh antusiasme di koridor sekolah. Kenapa semuanya sekarang menjadi begitu berbeda? Dia yang dulu berkata bahwa hidup haruslah berani menempuh resiko, berani menghadapi tantangan, nyatanya kini hidup di bawah kestabilan dan rutinitas yang hampir selalu sama. Dia yang dulu berkata ingin berbisnis, membuka toko atau sejenisnya, memulai semuanya dari dasar, menikmati prosesnya hingga nanti dia akan menuai hasilnya. Tidak masalah kesulitan uang pada awalnya, dia berkata kala itu, asal mau terus berusaha, pantang menyerah, dan mau terus belajar, suatu saat segalanya—segala yang diimpikan—pasti akan terwujud. Aku menyukai idealismenya itu, dan kata-katanya itu masih terus terpatri di benakku. Dan aku juga menyukai saat dirinya berbicara mengenai masa depan, matanya bercahaya sangat indah. Tapi sekarang, kemana perginya idealisme itu? Kemana perginya semangatnya yang pantang menyerah dan berani menempuh hidup penuh resiko?
Jika bisa, ingin sekali aku bisa berada di sisinya, mendukungnya, memberinya semangat, meyakinkannya bahwa dia bisa melakukannya—bahwa semuanya pasti akan terwujud pada akhirnya.
In his eyes,
“—keluargaku bilang, mungkin aku harus melanjutkan pendidikanku, dan memang hal itu sedang ku pertimbangkan.”
Aku tak tahu bagaimana harus menggambarkannya, perasaan yang kurasakan saat mendengarnya berbicara demikian. Tatapan matanya, ekspresi di wajahnya, intonasi suaranya, sungguh-sungguh mengiris hati. Ingin sekali rasanya bisa melompat memeluknya dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi benarkah? Haruskah aku melakukannya? Aku merasa ada seseorang yang lebih pantas untuk itu, seseorang yang lebih pantas untuk bisa menghiburnya dan memberinya sebuah pelukan. Dan kupikir orang itu bukanlah aku, melainkan dia yang datang bersamanya di acara reuni SMU kami waktu itu.
“Kau sendiri, bagaimana kabarmu?” dia bertanya.
Aku tak bisa langsung menjawab—tak kan pernah bisa, sebab ingatanku tergelitik akan bualan-bualan yang pernah kusampaikan dulu. Tentang berbisnis; tentang mengambil banyak resiko; tentang tak peduli berapa banyak uang yang kumiliki, aku hanya akan menyimpan sebanyak yang kubutuhkan lalu menginvestasikan sisanya. Tapi lihat diriku sekarang, lihat betapa menyedihkannya diriku saat ini. Aku bahkan tak sanggup menatapnya karena malu.
“Tak ada yang istimewa,” aku berkata getir. “Menyelesaikan pendidikan sarjana empat tahun, langsung mendapat pekerjaan di tempat yang tak jauh dari sini. Dan masih terus berlanjut hingga sekarang.”
Percakapan terhenti, tak ada satu pun dari kami yang ingin memulai perbincangan.
Aku sendiri tak pernah membayangkan akan kembali berbincang dengannya dalam suasana seperti ini. Dingin, canggung, tak bisa mengatakan hal-hal yang sebenarnya ingin diungkapkan. Delapan tahun lalu, saat dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan asmara kami, hal yang paling kuharapkan darinya adalah dia tetap bisa bahagia. Bahwa suatu saat—pada akhirnya nanti—dia tidak akan pernah menyesali keputusan itu. Sebab aku tahu ucapannya itu muncul bukan atas kehendaknya, melainkan tekanan dari Ayahnya. Ayahnya ingin dia fokus pada pendidikannya, dan bukannya menjalin hubungan dengan orang menyedihkan seperti diriku ini. Dan kami tidak sedang hidup di jaman Romeo dan Juliet, kami tidak mungkin memaksakan kehendak kami yang saat itu sama-sama masih berusia delapan belas tahun. Kami masih memiliki moral, kami masih sangat waras. Dan saat itu, dengan sangat intens kami mendiskusikannya berdua—ya, jika hal itu sendiri tidak ingin disebut sebagai pertengkaran hebat, tentu saja.
Dan melihatnya saat ini, dalam kondisi seperti ini, membuatku ingin menyesalinya. Seandainya dia tak pernah kulepaskan, sebab tak ada yang lebih kuharapkan selain bisa melihatnya tersenyum, tak peduli seperti apapun keadaanku.
Telepon genggamku berdering, dan aku telah dapat menduga siapa yang menghubungiku. Dia—ya, tentu saja dia, memang mau siapa lagi. Rencana hari ini yang sebenarnya sudah kami buat bersama jauh-jauh hari sebelumnya, dan tiketnya pun masih berada di tanganku, hancur berantakan karena dengan seenaknya aku membatalkannya. Sebabnya karena seseorang yang sekarang duduk tepat di hadapanku ini tiba-tiba menelepon, dan meminta untuk bertemu. Konyol! Sekonyong-konyong aku merasa diriku sangat lah bodoh. Aku merasa seperti sedang berada di dalam sebuah film melodramatis picisan yang membuat perutku mual.
“Kenapa tidak diangkat?” dia bertanya. “Dari pacarmu kah? Haruskah aku pergi ke teras sementara kau mengobrol dengannya?”
Ekspresinya itu—semudah itu kah dia mengatakannya, ‘pacarmu?’ Seremeh itu kah arti seorang kekasih baginya? Memang sudah berapa banyak kekasih yang dimilikinya semenjak putus denganku?! Lebih-lebih ekspresi yang ditunjukkannya itu, dia bahkan tampak sangat jauh lebih baik sekarang, mengingatkanku pada bocah yang matanya berbinar-binar setelah mendapatkan sebuah mainan baru.
“Iya,” kuberikan jawaban tegas kepadanya. “Memang darinya, pacarku. Kami baru jadian satu tahun lebih—mungkin satu setengah. Dia orang yang sangat baik, tenang, dan ramah, jika kau ingin tahu.”
“Dan kau tidak perlu pergi, tetaplah disini,” aku menambahkan saat melihatnya akan beranjak pergi.
Aku memberi salam setelah menjawab panggilan telepon itu. Beberapa kalimat tanya jawab yang biasanya memang dilakukan oleh sepasang kekasih terlontar dari kami berdua melalui ujung telepon. Aneh rasanya, meski telah kukatakan bahwa hubungan ini telah berjalan satu setengah tahun, namun seperti ada dinding pembatas yang membuat kami tidak bisa leluasa mengungkapkan apa yang kami inginkan. Saat itu, saat kuputuskan untuk menerima perasaannya, kupikir cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Semakin kami bertemu, semakin kami bersama, semakin kami mengenal satu sama lain, kupikir aku akan bisa merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan. Namun nyatanya tidak, sampai sekarang aku belum bisa meninggalkan kesan bahwa dia adalah juniorku di masa perkuliahan dulu.
Kepalaku berhenti bekerja, berhenti memberikan jawaban-jawaban spontan saat dia bertanya,
“Jika aku boleh mengetahuinya, siapa teman yang sedang bersamamu saat ini?”
Jika bertanya siapa yang menciptakan dinding itu, mungkin akulah orangnya. Aku belum benar-benar terbuka padanya, aku belum benar-benar jujur, dan aku mungkin juga belum bisa benar-benar menerima perasaannya.
“Dia teman lama,” aku menjawab seraya melirik seseorang dihadapanku, seolah ingin memastikan kembali siapa dia yang tengah duduk bersamaku saat ini. “Teman dekat. Kami pernah bersama saat SMU. Ya, dia, aku ingat pernah menceritakannya padamu.”
Aku mungkin sangat bodoh. Namun saat ini aku merasa seperti berdiri di antara jurang, tak masalah mau jatuh ke depan atau ke belakang, menurutku hasilnya akan tetap sama saja. Yang pasti aku hanya tidak ingin berbohong, tidak di saat seperti ini.
“Sekarang, kau sedang ada di mana?” katanya dari ujung telepon setelah terdiam cukup lama. Aku mengerti, sangat mengerti alasan dibalik sikap diamnya yang cukup lama itu. Dan karena itu pulalah aku menunggunya, menunggu tanpa mengatakan apapun.
“Kafe Florence,” kukatakan padanya. “Ya, yang berada di pusat kota.”
“Dua puluh menit,” dia berkata penuh ketegasan. “Tolong jemput aku dua puluh lagi, aku masih ingin pergi ke festival itu sesuai rencana kita semula. Ini hari terakhir, dan kita sudah merencanakannya sejak sangat lama, aku sama sekali tak ingin melewatkannya.”
“Ya,” aku menjawab. “Aku mengerti. Ya, aku pasti akan segera menjemputmu.”
Setelah saling mengucapkan salam, dia memutuskan teleponnya. Aku sedikit lega dia jadi agak marah karena ini. Sebab selama ini aku merasa dia berusaha untuk menahan perasaannya, atau menyembunyikan, tak bisa mengungkap sesuatu yang sebenarnya ingin—dan kurasa itu terkait dengan sikapku terhadapnya.
“Apa-apaan itu?!” Gadis di depanku itu menyalak tepat setelah kuletakkan telepon genggamku. Alisnya menyatu, matanya menatap tajam kearahku.
Dia meletakkan sendok-garpunya, memberiku arti bahwa dia telah menyelesaikan makanannya. Mengambil minuman dihadapannya lalu meneguknya sekali—hanya sekali, dan itu pun sedikit sekali! Senafas kemudian dia duduk dengan punggung tegak, lutut merapat, dan kedua tangan lurus menyentuh lutut. Dia duduk hampir tak bergeming, meski aku berani bertaruh dia tahu aku tengah memperhatikannya, dari balik kaca di teras sebuah restoran ini di lantai dua.
Aku menyerah, ini sudah hampir tiga menit dan dia masih duduk dengan posisi seperti itu. Dan kujamin dia akan tetap terus seperti itu hingga tiga puluh menit ke depan jika aku tak segera menghampirinya. Kebiasaan buruknya itu sama sekali tidak berubah!
Aku bangkit dengan enggan, menyingkapheadset yang terpasang di kepalaku. Aku belum tahu apa yang harus kukatakan kepadanya, pertemuan ini terlalu mendadak, dan aku tak tahu apa maksudnya yang tiba-tiba meminta untuk bertemu. Aku tak bisa berlama-lama, berada terus di dekatnya hanya akan membuatku kesal. Dan jika harus membuat daftar nama orang-orang yang kubenci, dengan senang hati akan kuletakkan namanya di urutan teratas.
“Sudah berapa lama kau tidak makan?”—tanpa sadar aku menyentaknya. “Melihat dari caramu makan, aku berani duga seharian ini kau belum memakan apapun.”
Gila, pikirku. Kenapa aku mengatakan hal itu? Memang apa yang salah dari caranya makan? Aku mengatakannya tanpa berpikir sama sekali!
“Maaf...” ujarnya lirih tanpa sedikit pun mau mengangkat wajahnya yang tertunduk.
Aku menatapnya dalam diam, dan agaknya sedikit merasa bersalah. “maaf—“aku coba memperbaikinya, tapi rasanya suaraku tercekik di tenggorokan. “maksudku—“
Tanpa kuminta, memoriku menarik kembali kenanganku saat bersamanya. Saat kutanyakan hal yang sama, tentang ‘sudah berapa lama kau tidak makan?’ Reaksinya saat itu sungguh berbeda, dan entah kenapa aku merindukannya. Wajahnya yang cemberut karena kesal dengan mulut penuh dengan makanan.
“Bagaimana kabarmu?” kataku yang tanpa sadar kembali meninggikan suara.
Ini sudah delapan tahun berlalu. Mau sampai kapan aku harus terus mengingat kenangan bodoh itu.
In her eyes,
Aku menyelesaikan makanku, dan meletakkan sendok garpu di atas piring. Aku gugup, sangat gugup. Dia masih duduk di sana—di teras restoran ini, mengawasiku! Kupikir akan sangat wajar jika seandainya dia pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun setelah dia memesankan makanan untukku. Aku merasa aku memang pantas menerima perlakukan itu. Namun nyatanya tidak, meski kuyakin dia sedang sangat marah sekarang, tapi dia masih berada di sana, menungguku. Dan itu—meski mungkin terdengar sangat jahat—membuatku gembira. Aku senang dia masih mengingat makanan favoritku, aku senang dia masih memperhatikan kebiasaanku yang terlalu malas makan, dan aku senang dia mau menemuiku tanpa bertanya alasannya.
“Sudah berapa lama kau tidak makan?” katanya tiba-tiba. Aku bahkan tak sadar dia sudah berada di depanku. “Melihat dari caramu makan, aku berani duga seharian ini kau belum memakan apapun.”
Dia pasti akan tambah kesal jika kukatakan aku belum memakan apapun bahkan sejak kemarin.
“Maaf...” jawabku tanpa berani mengangkat kepala. Aku takut—sangat takut dia akan bisa melihat senyum di wajahku. Ini benar-benar bukan waktu yang tepat bagi kami untuk bercanda.
“Bagaimana kabarmu?” dia bertanya.
Pertanyaan itu menghapus senyum yang kusembunyikan. Mengingatkanku pada sikap dinginnya di acara reuni SMU yang diadakan dua minggu lalu. Saat itu, di pertemuan pertama kali setelah delapan tahun, dia hanya memandang sekali kearahku yang diiringi sebuah anggukan kepala.
“Baik...” jawabku.
Aku tahu aku pantas menerima perlakukan itu—sikap sok dinginnya itu. Dan jujur saja, itu bahkan jauh lebih sopan daripada ribuan skenario yang terbayang di kepalaku. Tapi tetap saja, tanpa senyum, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sungguh kejam. Padahal aku ingin mendengar suaranya; padahal aku ingin sekali dia bertanya bagaimana kabarku saat ini...
“Pernah bekerja di salah satu perusahaan di kota ini,” aku berkata datar. Dan sebenarnya maksud tujuanku mengatakjan hal itu hanya untuk mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang terus berputar di kepalaku.
Kuberanikan diri mengangkat kepala dan sekilas menatapnya—seraya kemudian berpaling, dan menatap meja-meja kosong di teras luar. Terasa hampa, meja-meja itu seakan memudar dihadapanku, coba bersatu dengan kehidupan membosankan yang kulalui selama delapan tahun ini.
“ Tapi tidak bertahan terlalu lama, aku berhenti karena bosan,” kulanjutkan ceritaku. “Juga pernah bekerja di sebuah perusahaan di ibu kota, hanya selama enam bulan sebelum akhirnya juga berhenti karena bosan. Pernah juga aku coba membuka toko online, maksudnya menjual barang seperti ornamen, atau menerima pesanan untuk desain sebuah tas—dan; atau sejenisnya, tapi itu juga tidak bertahan lebih dari setengah tahun. Terakhir kali aku bekerja di sebuah resort milik salah seorang kerabat dari ibuku, mereka berpendapat mungkin suasana di tempat itu bisa membantuku, tapi nyatanya juga tidak membantu sama sekali. Ay—keluargaku,”—aku kembali menundukkan kepala. “Mengatakan mungkin aku harus melanjutkan pendidikanku, dan memang hal itu sedang ku pertimbangkan.”
Selesai bercerita aku sedikit menatapnya—tidak—kukatakan itu pada diriku sendiri.
“Kau sendiri, bagaimana kabarmu?” aku balik bertanya.
Giliran dirinya yang menatap ke meja-meja kosong di teras luar sekarang. Tapi itu tak berlangsung lama, dia kembali menatapku dan berkata, “tidak ada yang istimewa. Menyelesaikan pendidikan sarjana empat tahun, langsung mendapat pekerjaan di tempat yang tak jauh dari sini. Dan masih terus berlanjut hingga sekarang.”
Aku tersenyum, sebuah senyum yang sangat kupaksakan. Kemudian berpaling.
Aku tak mengerti, pikirku, aku merasa semua tidak sedang berada di tempat yang seharusnya. Sesuatu yang kami impikan, tentang bagaimana kehidupan kami sepuluh tahun mendatang saat berbincang berdua penuh antusiasme di koridor sekolah. Kenapa semuanya sekarang menjadi begitu berbeda? Dia yang dulu berkata bahwa hidup haruslah berani menempuh resiko, berani menghadapi tantangan, nyatanya kini hidup di bawah kestabilan dan rutinitas yang hampir selalu sama. Dia yang dulu berkata ingin berbisnis, membuka toko atau sejenisnya, memulai semuanya dari dasar, menikmati prosesnya hingga nanti dia akan menuai hasilnya. Tidak masalah kesulitan uang pada awalnya, dia berkata kala itu, asal mau terus berusaha, pantang menyerah, dan mau terus belajar, suatu saat segalanya—segala yang diimpikan—pasti akan terwujud. Aku menyukai idealismenya itu, dan kata-katanya itu masih terus terpatri di benakku. Dan aku juga menyukai saat dirinya berbicara mengenai masa depan, matanya bercahaya sangat indah. Tapi sekarang, kemana perginya idealisme itu? Kemana perginya semangatnya yang pantang menyerah dan berani menempuh hidup penuh resiko?
Jika bisa, ingin sekali aku bisa berada di sisinya, mendukungnya, memberinya semangat, meyakinkannya bahwa dia bisa melakukannya—bahwa semuanya pasti akan terwujud pada akhirnya.
In his eyes,
“—keluargaku bilang, mungkin aku harus melanjutkan pendidikanku, dan memang hal itu sedang ku pertimbangkan.”
Aku tak tahu bagaimana harus menggambarkannya, perasaan yang kurasakan saat mendengarnya berbicara demikian. Tatapan matanya, ekspresi di wajahnya, intonasi suaranya, sungguh-sungguh mengiris hati. Ingin sekali rasanya bisa melompat memeluknya dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi benarkah? Haruskah aku melakukannya? Aku merasa ada seseorang yang lebih pantas untuk itu, seseorang yang lebih pantas untuk bisa menghiburnya dan memberinya sebuah pelukan. Dan kupikir orang itu bukanlah aku, melainkan dia yang datang bersamanya di acara reuni SMU kami waktu itu.
“Kau sendiri, bagaimana kabarmu?” dia bertanya.
Aku tak bisa langsung menjawab—tak kan pernah bisa, sebab ingatanku tergelitik akan bualan-bualan yang pernah kusampaikan dulu. Tentang berbisnis; tentang mengambil banyak resiko; tentang tak peduli berapa banyak uang yang kumiliki, aku hanya akan menyimpan sebanyak yang kubutuhkan lalu menginvestasikan sisanya. Tapi lihat diriku sekarang, lihat betapa menyedihkannya diriku saat ini. Aku bahkan tak sanggup menatapnya karena malu.
“Tak ada yang istimewa,” aku berkata getir. “Menyelesaikan pendidikan sarjana empat tahun, langsung mendapat pekerjaan di tempat yang tak jauh dari sini. Dan masih terus berlanjut hingga sekarang.”
Percakapan terhenti, tak ada satu pun dari kami yang ingin memulai perbincangan.
Aku sendiri tak pernah membayangkan akan kembali berbincang dengannya dalam suasana seperti ini. Dingin, canggung, tak bisa mengatakan hal-hal yang sebenarnya ingin diungkapkan. Delapan tahun lalu, saat dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan asmara kami, hal yang paling kuharapkan darinya adalah dia tetap bisa bahagia. Bahwa suatu saat—pada akhirnya nanti—dia tidak akan pernah menyesali keputusan itu. Sebab aku tahu ucapannya itu muncul bukan atas kehendaknya, melainkan tekanan dari Ayahnya. Ayahnya ingin dia fokus pada pendidikannya, dan bukannya menjalin hubungan dengan orang menyedihkan seperti diriku ini. Dan kami tidak sedang hidup di jaman Romeo dan Juliet, kami tidak mungkin memaksakan kehendak kami yang saat itu sama-sama masih berusia delapan belas tahun. Kami masih memiliki moral, kami masih sangat waras. Dan saat itu, dengan sangat intens kami mendiskusikannya berdua—ya, jika hal itu sendiri tidak ingin disebut sebagai pertengkaran hebat, tentu saja.
Dan melihatnya saat ini, dalam kondisi seperti ini, membuatku ingin menyesalinya. Seandainya dia tak pernah kulepaskan, sebab tak ada yang lebih kuharapkan selain bisa melihatnya tersenyum, tak peduli seperti apapun keadaanku.
Telepon genggamku berdering, dan aku telah dapat menduga siapa yang menghubungiku. Dia—ya, tentu saja dia, memang mau siapa lagi. Rencana hari ini yang sebenarnya sudah kami buat bersama jauh-jauh hari sebelumnya, dan tiketnya pun masih berada di tanganku, hancur berantakan karena dengan seenaknya aku membatalkannya. Sebabnya karena seseorang yang sekarang duduk tepat di hadapanku ini tiba-tiba menelepon, dan meminta untuk bertemu. Konyol! Sekonyong-konyong aku merasa diriku sangat lah bodoh. Aku merasa seperti sedang berada di dalam sebuah film melodramatis picisan yang membuat perutku mual.
“Kenapa tidak diangkat?” dia bertanya. “Dari pacarmu kah? Haruskah aku pergi ke teras sementara kau mengobrol dengannya?”
Ekspresinya itu—semudah itu kah dia mengatakannya, ‘pacarmu?’ Seremeh itu kah arti seorang kekasih baginya? Memang sudah berapa banyak kekasih yang dimilikinya semenjak putus denganku?! Lebih-lebih ekspresi yang ditunjukkannya itu, dia bahkan tampak sangat jauh lebih baik sekarang, mengingatkanku pada bocah yang matanya berbinar-binar setelah mendapatkan sebuah mainan baru.
“Iya,” kuberikan jawaban tegas kepadanya. “Memang darinya, pacarku. Kami baru jadian satu tahun lebih—mungkin satu setengah. Dia orang yang sangat baik, tenang, dan ramah, jika kau ingin tahu.”
“Dan kau tidak perlu pergi, tetaplah disini,” aku menambahkan saat melihatnya akan beranjak pergi.
Aku memberi salam setelah menjawab panggilan telepon itu. Beberapa kalimat tanya jawab yang biasanya memang dilakukan oleh sepasang kekasih terlontar dari kami berdua melalui ujung telepon. Aneh rasanya, meski telah kukatakan bahwa hubungan ini telah berjalan satu setengah tahun, namun seperti ada dinding pembatas yang membuat kami tidak bisa leluasa mengungkapkan apa yang kami inginkan. Saat itu, saat kuputuskan untuk menerima perasaannya, kupikir cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Semakin kami bertemu, semakin kami bersama, semakin kami mengenal satu sama lain, kupikir aku akan bisa merasakan hal yang sama seperti yang dia rasakan. Namun nyatanya tidak, sampai sekarang aku belum bisa meninggalkan kesan bahwa dia adalah juniorku di masa perkuliahan dulu.
Kepalaku berhenti bekerja, berhenti memberikan jawaban-jawaban spontan saat dia bertanya,
“Jika aku boleh mengetahuinya, siapa teman yang sedang bersamamu saat ini?”
Jika bertanya siapa yang menciptakan dinding itu, mungkin akulah orangnya. Aku belum benar-benar terbuka padanya, aku belum benar-benar jujur, dan aku mungkin juga belum bisa benar-benar menerima perasaannya.
“Dia teman lama,” aku menjawab seraya melirik seseorang dihadapanku, seolah ingin memastikan kembali siapa dia yang tengah duduk bersamaku saat ini. “Teman dekat. Kami pernah bersama saat SMU. Ya, dia, aku ingat pernah menceritakannya padamu.”
Aku mungkin sangat bodoh. Namun saat ini aku merasa seperti berdiri di antara jurang, tak masalah mau jatuh ke depan atau ke belakang, menurutku hasilnya akan tetap sama saja. Yang pasti aku hanya tidak ingin berbohong, tidak di saat seperti ini.
“Sekarang, kau sedang ada di mana?” katanya dari ujung telepon setelah terdiam cukup lama. Aku mengerti, sangat mengerti alasan dibalik sikap diamnya yang cukup lama itu. Dan karena itu pulalah aku menunggunya, menunggu tanpa mengatakan apapun.
“Kafe Florence,” kukatakan padanya. “Ya, yang berada di pusat kota.”
“Dua puluh menit,” dia berkata penuh ketegasan. “Tolong jemput aku dua puluh lagi, aku masih ingin pergi ke festival itu sesuai rencana kita semula. Ini hari terakhir, dan kita sudah merencanakannya sejak sangat lama, aku sama sekali tak ingin melewatkannya.”
“Ya,” aku menjawab. “Aku mengerti. Ya, aku pasti akan segera menjemputmu.”
Setelah saling mengucapkan salam, dia memutuskan teleponnya. Aku sedikit lega dia jadi agak marah karena ini. Sebab selama ini aku merasa dia berusaha untuk menahan perasaannya, atau menyembunyikan, tak bisa mengungkap sesuatu yang sebenarnya ingin—dan kurasa itu terkait dengan sikapku terhadapnya.
“Apa-apaan itu?!” Gadis di depanku itu menyalak tepat setelah kuletakkan telepon genggamku. Alisnya menyatu, matanya menatap tajam kearahku.
Diubah oleh redxiv 04-07-2016 12:53


anasabila memberi reputasi
1
1.8K
Kutip
6
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan