BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Pemerintah jangan sampai jadi ATM perompak bersenjata

Seyogyanya ketiga negara bisa menyepakati satu operasi penumpasan, bila tak ingin penyanderaan ini berulang.
Sempat simpang siur, akhirnya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (24/6/2016) memastikan, tujuh WNI kembali disandera oleh kelompok bersenjata Filipina. Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, menyatakan informasi penyanderaan itu adalah kabar bohong.

Menurut Retno, kabar penculikan tujuh WNI anak buah kapal (ABK) tugboat (TB) Charles 001 dan kapal tongkang Robi 152, diterima pada 23/6/2016. Sedang penculikan berlangsung di laut Sulu, Filipina Selatan, dua kali pada 20/6/2016, dalam waktu berbeda oleh kelompok berbeda pula.

Taufik Rahman, Public External PT PP Rusianto Bersaudara, perusahaan pemilik kapal, menjelaskan bahwa kapal dengan 13 ABK bertolak dari pelabuhan Cagayan De Oro, Filipina menuju ke Indonesia sejak 18 Juni. Dua hari perjalanan, pukul 11.30 waktu setempat, kapal dibajak lima orang membawa senjata laras panjang dan pendek yang menggunakan dua perahu cepat.

Perompak menculik tiga orang ABK kapal TB Charles yakni, Ferry Arifin (nakhoda), Mahbrur Dahri (kepala kamar mesin), dan Edi Suryono (masinis II). ABK yang lain dibiarkan melanjutkan perjalanan.

Pelayaran baru berjalan sejauh enam mil, kapal TB Charles yang membawa tongkang kosong batu bara kembali didatangi 10 orang bersenjata menggunakan tiga speedboat.

Kelompok bersenjata kedua ini selain menjarah isi tugboat, mulai dari makanan, baju, hingga TV, juga menculik empat ABK lainnya, yakni Ismail, Muh Nasir, Muh Sofyan, dan Robin Piter. Enam ABK tersisa dibiarkan meneruskan perjalanan membawa kapal menuju Indonesia.

Siapakah para penyadera ABK WNI ini? Pemerintah Indonesia belum menyimpulkan. Namun menurut penuturan ABK yang selamat, kelompok bersenjata itu mengaku dari kelompok Abu Sayyaf. Sementara tebusan yang diminta jumlahnya sangat besar 20 juta ringgit, atau sekitar Rp65 miliar.

Jumlah sebesar itu disampaikan oleh Dian Megawati, istri Ismail, salah seorang ABK yang disandera pada penculikan kedua. Dian sempat ditelepon suaminya. Selain membicarakan tebusan, dalam kepanikan Ismail juga minta disampaikan ke wartawan, polisi, pemerintah dan perwakilan perusahaan.

Penyanderaan ABK warga negara Indonesia, kali ini, benar-benar peringatan keras bagi Indonesia, Malaysia dan Filipina. Saat penyanderaan terjadi, Menteri Pertahanan ketiga negara: Ryamizard Ryacudu, Menhan Philipina Gazmin T. Voltaire dan Menhan Malaysia Dato Hishamuddin, tengah bertemu di Manila, Filipina.

Pertemuan Trilateral ini adalah tindak lanjut dari pertemuan bulan Mei lalu, guna membahas kesepakatan kerja sama pengamanan wilayah maritim yang terkoordinasi di sekitar Sulawesi, Zamboanga, dan Sulu.

Ketiga negara ingin merealisasikan implementasi kerja sama praktis di lapangan. Beberapa hal yang dibahas meliputi: Implementasi patroli maritim trilateral melalui percepatan penandatanganan kerangka kerjasama (Framework of Arrangement /FoA) dan harmonisasi antara kegiatan patroli dengan pertukaran informasi dan intelijen; Rencana latihan gabungan di laut dan pembentukan Posko Militer Bersama (PMB).

Pada Mei pula, Panglima dan Menteri Luar Negeri ketiga negara, juga telah bertemu di Astana Negara Gedung Agung Yogyakarta. Pertemuan ini menghasilkan Joint Declaration yang berisi empat kesepakatan.

Pertama, kesepakatan melakukan patroli laut bersama yang terkoordinasi. Kedua, memberikan bantuan segera jika ada warga atau kapal yang mengalami kesulitan di perairan itu.

Ketiga, membentuk gugus tugas di antara ketiga negara untuk berbagi informasi intelijen guna menanggapi secara cepat adanya ancaman keamanan. Dan keempat, menyepakati pembentukan hotline informasi untuk merespon situasi darurat.

Joint Declaration ini adalah reaksi atas berulangnya kasus perompakan oleh kelompok bersenjata Filipina di perairan Sulawesi, Zamboanga, dan Sulu. Malaysia dan Indonesia adalah korban, karena perompak selalu minta tebusan. Malaysia menyelesaikan pembebasan warganya dengan membayar tebusan.

Sedang Indonesia, dalam dua penyanderaan yang terjadi beberapa waktu lalu, melakukan upaya diplomasi murni untuk membebaskan para sandera. Pemerintah mengklaim tidak mengeluarkan uang tebusan sepeser pun.

Padahal pasukan khusus Indonesia sudah dipersiapkan untuk melakukan pembebasan, tetapi tidak mendapatkan izin dari pemerintah Filipina.

Pada 1 Mei, 10 orang sandera dibebaskan. Mereka ABK tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang dirompak di perairan Tawi-tawi, Filipina Selatan. Saat itu, akhir Maret lalu, kapal berlayar dari Kalimantan Selatan dengan tujuan Filipina.

Anand 12 tengah mengangkut 7.000 ton batu bara ketika dibajak. Tebusan yang diminta kelompok ini sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp14 miliar.

Sepuluh hari kemudian, empat sandera lain dari Indonesia ikut dilepas. Empat orang ini merupakan bagian dari 10 orang yang ada di dua kapal (kapal Tunda TB Henry dan Kapal Tongkang Christy) yang disandera kelompok Abu Sayyaf sejak 15 April.

Namun, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa kelompok pembajak empat orang ini berasal dari faksi yang berbeda dengan pembajak 10 WNI yang telah dibebaskan. Belakangan diketahui pembajak berasal dari faksi Alden Bagade. Kelompok ini meminta uang tebusan jauh lebih besar 200 juta peso, atau sekitar Rp56 miliar.

Yang pasti, penyanderaan ke-3 ini, membuat Indonesia bereaksi sangat keras. Kementerian Perhubungan, membuat larangan pelayaran pengangkutan batu bara ke perairan Filipina. Larangan itu tertulis surat Menteri Perhubungan Ignasius Jonan tertanggal 24 Juni 2016.

Indonesia juga melakukan moratorium pengiriman batu bara ke Filipina, sampai ada jaminan keamanan dari pemerintah Filipina. Kebijakan ini diharapkan akan mendapat respons positif dari Filipina, mengingat selama ini 90 persen kebutuhan batu bara Filipinan berasal dari Indonesia. Artinya bila Filipina tak ingin kekurangan pasokan batu bara, mereka akan serius menjaga keamanan perairannya.

Menteri Retno menuturkan penyanderaan kali ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Indonesia akan melakukan apa saja untuk membebaskan para sandera. Apakah akan melakukan operasi militer untuk membebaskan mereka? Sepertinya bukan hal yang mudah.

April lalu Filipina menolak kehadiran TNI untuk melakukan pembebasan. Negara itu melarang kehadiran pasukan asing tanpa kerja sama militer formal. Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) juga merasa mampu membebaskan tanpa bantuan TNI.

Meski pun kemudian, tersiar kabar, 18 orang pasukan elite Filipina tewas dan 50 luka-luka, saat satu peleton pasukan ditugaskan membebaskan sandera warga asing dari tangan Abu Sayyaf. Dari pihak milisi, lima orang meninggal.

Saat ini Menteri Pertahanan Riyamizard, tengah berada di Filipina, ia mengemban misi antara lain mendapatkan izin, agar pasukan Indonesia bisa melakukan operasi pembebasan. Ada harapan izin akan diberikan, karena kondisi sudah berubah.

Sudah ada kesepakatan bersama tiga panglima militer dan ada kesepahaman tiga menteri pertahanan untuk menjaga keamanan bersama.

Bila pun izin didapatkan, bukan hal yang mudah bagi TNI untuk bisa membebaskan para sandera. Tempat penyanderaan belum diketahui sampai saat ini. Selain itu, merujuk kegagalan pasukan elite Filipina, mesti diperhatikan, milisi Abu Sayyaf bukan kekuatan yang bisa diremehkan.

Bila izin tak didapatkan, melakukan diplomasi murni, melalui berbagai saluran seperti pembebasan sandera sebelumnya tetap jadi pilihan. Meskipun diplomasi murni ini, sekarang menjadi pertanyaan besar.

Bila selama ini pembebasan sandera bisa dilakukan tanpa perlu mengeluarkan tebusan, mengapa penyanderaan terjadi berulang?

Apa untungnya bagi penyandera, bila mereka tak mendapatkan uang tebusan seperti yang mereka inginkan? Bila mereka tidak mendapatkan uang tebusan, semestinya mereka tak mau lagi menyandera WNI. Tapi mengapa penyanderaan WNI malah seperti jadi langganan bulanan?

Keraguan bahwa selama ini pembebasan sandera WNI oleh kelompok bersenjata murni diplomasi pun kembali muncul. Bisa jadi pemerintah memang tidak membayar tebusan secara langsung, tapi bagaimana dengan pemilik kapal? Atau malah tebusan dibayar oleh pemilik kapal, namun sebenarnya uang dari pemerintah?

Pemerintah harus transparan terhadap pembebasan 10 orang dan 4 orang ABK yang telah lalu untuk menepis keraguan tersebut. Bila diplomasi murni bisa dua kali membebaskan sandera, semestinya jurus itu juga ampuh untuk pembebasan sandera yang ketiga.

Membebaskan sandera dengan selamat, adalah kewajiban negara dalam menjaga keselamatan warganya. Namun jangan sampai dengan dalih keselamatan, negara harus menjadi ATM para perompak.

Pun aksi pasif, "menanti penyerangan" baru membalas dengan pembebasan, tak bisa diteruskan. Seyogyanya ketiga negara bisa menyepakati satu operasi penumpasan, bila tak ingin penyanderaan ini berulang.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...pak-bersenjata

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
852
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan