BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Tagih janji transparansi pembatalan perda

Kementerian Dalam Negeri harus transparan soal 3.143 perda yang dibatalkan, bila tidak ingin jadi bola liar.
Pembatalan 3.143 Peraturan Daerah (Perda) bermasalah, ternyata mengungkap permasalahan lain yang cukup serius. Pertama, perundangan yang tumpang tindih. Akibatnya pembatalan perda oleh pemerintah pusat dipertanyakan keabsahannya.

Berikutnya soal pemahaman. Pengumuman yang kurang transparan, juga dimanfaatkan kelompok tertentu sebagai alat untuk menyerang pemerintah.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mohammad Mahfud MD, menganggap pembatalan perda yang dilakukan Kemendagri salah secara prosedur hukum. Mekanisme pencabutan atau pembatalan perda dengan alasan bertentangan dengan UU, hanya dapat dilakukan dengan uji materi ke MK, sesuai UUD 1945 Pasal 24a.

Selain itu, juga selaras dengan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 9 Ayat 2 menyebut, bila suatu Peraturan Perundang-Undangan di bawah undang-undang yang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan di Mahkamah Agung.

Sementara, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yakin, pembatalan perda itu tidak menyalahi hukum. Pasal 251 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 21 ayat 1, 2 dan 3, memberikan kewenangan Mendagri membatalkan perda.

Fakta inilah yang membuktikan bahwa ada tumpang tidih perundangan. UU No 23/2014 ini berbenturan dan tidak sinkron dengan Undang-Undang yang sudah ada sebelumnya. Artinya Pembuat UU, yaitu DPR dan Pemerintah lalai dan tidak cermat, saat membuat UU Pemerintah daerah yang terakhir.

Ketidakcermatan kembali terjadi ketika Presiden mengumumkan pemerintah 3.143 Peraturan Daerah (Perda) bermasalah, di Istana Merdeka (16/6/2016). Saat itu, presiden memberi penegasan:

"Pembatalan ini untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar, yang toleran, dan yang memiliki daya saing."

Perda yang dibatalkan pun disebut sebagai peraturan yang menghambat kapasitas nasional, menghambat kecepatan untuk memenangkan kompetisi, serta bertentangan dengan semangat kebhinekaan, dan persatuan. Padahal sebenarnya perda tersebut tak berkaitan dengan kebhinekaan, dan persatuan, apalagi toleransi.

Kementerian Dalam Negeri pun tidak transparan mengumumkan jenis-jenis 3.143 perda yang dibatalkan itu. Akibatnya, banyak pihak secara sengaja atau tidak, memberikan tanggapan miring di luar konteks.

Apalagi pengumuman pembatalan perda ini, waktunya bertepatan dengan munculnya isiden, penyitaan dagangan Ny. Saeni (53), oleh Satpol PP, akibat penerapan perda Kota Serang, Banten yang melarang pedagang makanan buka di siang hari, saat Ramadan.

Pembatalan ribuan perda itu pun lalu dikait-kaitkan dengan insiden tersebut. Opini yang dibangun sebagian pihak adalah, pemerintah membatalkan perda-perda yang Islami. Buntutnya, munculnya tudingan rezim Jokowi adalah rezim anti-Islam.

Prof Dr H Dailami Firdaus, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal DKI Jakarta, pun ikut berkomentar kritis. Info yang dia terima, perda-perda yang dibatalkan adalah yang bersifat Syariat Islami. Karenanya ia, berpendapat pembatalan perda ini berkesan mendiskreditkan Islam.

Rumor pun berkembang semakin jauh dari konteks. Perda yang dihapus antara lain disebut terkait: imbauan berbusana muslim kepada kepala dinas pendidikan dan tenaga kerja, wajib baca Al Qur`an bagi siswa dan calon pengantin, kewajiban memakai jilbab di Cianjur dan lainnya.

Distorsi informasi yang menggiring opini di luar konteks ini, seperti memaksa Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, membuat klarifikasi. Ia memastikan perda yang dicabut tidak berhubungan perda bernuansa Islami.

Dia pun minta agar umat Islam tak perlu resah dan bereaksi secara berlebihan dengan adanya informasi, pernyataan, atau tuduhan tak berdasar itu.

Pembatalan berbagai peraturan tersebut sebenarnya tak ada kaitannya dengan isu agama. Ini murni menyangkut iklim investasi yang sudah sangat lama ditelaah. Dalam berbagai kesempatan bertemu wirausahawan, maupun investor baik di dalam maupun luar negeri, presiden selalu mengajak berinvestasi di Indonesia.

Namun berkali-kali pula ketemu kendala pada persoalan peraturan yang tidak ramah dengan iklim investasi. Puncaknya adalah ketika menyusun paket ekonomi di bidang deregulasi. Presiden Jokowi, meminta semua peraturan yang menghambat investasi dihapus.

Menurut Bappenas, Indonesia memiliki 42.000 peraturan terkait hal ini, dalam bentuk Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, Peratutan Menteri, hingga perda.

Jumlah itu tentu memusingkan untuk menjadikan negeri ini memilki daya saing. Presiden lalu meminta Mendagri untuk memeriksa berbagai peraturan agar terjadi keselarasan antara pusat dan daerah. Sehingga ketika pusat mengatakan investasi dipermudah, sampai daerah pun frekuensinya sama.

Pada Februari 2016, Menteri Dalam Negeri pun menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 582/476/SJ/2016 tentang Pencabutan/Perubahan Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang Menghambat Birokrasi dan Perizinan Investasi.

Akhirnya ditemukan puluhan ribu peraturan yang bermasalah dan berpotensi menghambat investasi. Sejak April-Mei lalu sesungguhnya secara bertahap sudah dilakukan pembatalan berbagai peraturan. Tahap pertama 1.126 peraturan dibatalkan, kedua 777, ketiga, 490 dan keempat 750 aturan.

Nah, total ada 3.143 peraturan yang dibatalkan, itulah yang diumumkan oleh Presiden Jokowi di Istana pekan lalu. Peraturan tersebut sebenarnya bukan perda semua. Perinciannya, 111 peraturan di tingkat kementerian. Perda tingkat provinsi sebanyak 1.765. Sisanya 1.276 adalah perda tingkat kabupaten dan kota.

Sejenis apa perda yang dibatalkan itu? Cukup beragam, ada yang berkaitan dengan biaya tinggi. Misalnya, banyaknya perizinan dan retribusi. Juga yang bertentangan dengan peraturan perundangan maupun peraturan pusat.

Contohnya, Kemendagri sudah menetapkan pengurusan aneka dokumen gratis. Praktiknya masih banyak daerah yang punya peraturan penarikan retribusi penggantian biaya cetak dokumen administrasi kepada masyarakat.

Peraturan ini menjadi payung hukum pemerintah daerah menarik biaya dalam pembuatan KTP, akta kelahiran, akta kematian, akta pernikahan, dan sejenisnya.

Sedang dalam hal perizinan, ke depan untuk membuka usaha, cukup satu saja, yaitu izin usaha, alias SIUP. Tidak perlu izin prinsip, izin mendirikan bangunan, izin gangguan, atau izin-izin yang dibuat sejak zaman Belanda, termasuk retribusi yang tidak perlu.

Secara normatif, penghapuan aneka peraturan tersebut, sesungguhnya berdampak postif baik bagi masyarakat maupun bagi tumbuhnya iklim usaha. Masalahnya siapa yang bisa menjamin bahwa peraturan yang dibatalkan tersebut -terutama perda--akan ditaati oleh daerah.

Apakah Kemendagri, cukup punya kaki tangan untuk mengawasi? Apalagi, pemerintah tidak mempublikasikan secara teperinci peraturan yang telah dibatalkan tersebut.

Agar masyarakat paham, Kemendagri wajib mempublikasikan daftar peraturan yang telah dibatalkan tersebut. Selain itu juga butuh sosialiasi kemudahan praktik investasi di daerah setelah aneka peraturan dibatalkan. Bila perlu disediakan wadah bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik, atas implementas penghapusan perda ini di daerah.

Janji Sekertaris Jendral Menteri Dalam Negeri, Yuswandi A Temenggung, untuk segera mempublikasikan daftar perda bermasalah tersebut, harus ditagih. Ia sempat mengatakan, masih ada persoalan administratif dan penomeran yang belum selesai sehingga proses publikasi belum bisa dilakukan.

Dirjen Otonomi Daerah (Otda), Sumarsono, mengatakan daftar perda-perda itu sedang dalam proses input data ke website resmi Kemendagri dan e-Perda. Ia menambahkan, paling lambat Kamis (17/6/2016) pihak IT Kemendagri selesai mengunggah data tersebut. Mari kita tunggu hasilnya.

Publikasi dan sosialisasi menjadi sangat penting, agar masyarakat bisa ikut mengawasi ketaatan pemerintah daerah terhadap pembatalan peraturan tersebut. Selain itu, agar keputusan pemerintah ini tidak dipelintir oleh kelompok tertentu, menjadi amunisi menyebar fitnah yang mendiskreditkan pemerintah.

Apa lagi pembatalan peraturan penghambat investasi ini tidak berhenti sampai di sini. Saat ini tim di Kemendagri, tengah memeriksa tidak kurang dari 9.000 perda yang mengatur tentang investasi dan kelancaran administrasi. Dari jumlah tersebut, terdapat sekita 6.000 peraturan yang dinilai bermasalah.

Tentu kita berharap pembatalan berbagai peraturan penghambat investasi ini bisa benar-benat menjadi solusi yang berkelanjutan. Begitu pun pembatalan ribuan peraturan bermasalah tahap berikutnya.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...mbatalan-perda

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
889
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan