- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sekali lagi tentang cinta dan para pecinta tubuh


TS
p0congkaskus
Sekali lagi tentang cinta dan para pecinta tubuh

Kita adalah buih keringat dari sengat matahari, yang sepanjang perjalanan kisahnya menyimpan banyak misteri. Kita adalah pertentangan bagi dirinya sendiri, kontradiksi yang tidak berkesudahan antara keberadaan dan kehampaan. Begitupun dalam melakukan interaksi individu-per-individu, alih-alih menjadi yang otentik, kita selalu menampakan wajah lain sebagai dalih.
Kita merupakan kehampaan yang niscaya. Oleh karena itu, kita selalu memberi harga pada setiap benda, yang kemudian merenggutnya kembali. Benda-benda adalah lawan tunggal kebebasan. Perlawanan terhadap benda-benda adalah klimaks dari semangat pemberontakan Prometheus melawan Universum yang telah dibangun terutama sejak zaman antik. Pada saat yang sama juga perlawanan Cartesian dalam menaklukkan kegelapan bawah sadar pada zamannya, atau semangat Kantian dalam mempertahankan otonomi manusia dari kuasa-kuasa di luar manusia.
Di tengah kehampaan, kita selalu mendambakan kehadiran. Namun, kehadiran tak berarti tanpa manifestasi yang disebut kebendaan. Cantik adalah paras terpoles make up, kuat merupakan bentuk tubuh yang berotot, nikmat adalah dengan saling mempersatukan kelamin, mampu diartikan sebagai memilki sumber daya melimpah secara materiil.
Kita tidak pernah hadir sebagai esensi, tetapi justru merupakan perwujudan eksistensi. Begitupun hubungan manusia dengan manusia lainnya. Kita tidak pernah benar-benar membutuhkan manusia lain secara tulus, semua berkabut dan berselimut. Melalui interaksi, kita adalah subyek dan akan selalu memandang manusia lain sebagai obyek.
Sigmund Freud melalui teori libido mengungkapkan bahwa tindakan manusia selalu didorong oleh pemenuhan hajat seksual. Bagi Freud, inilah faktor determinan, yang kemudian ditolak Sartre, yang menganggapnya sebagai penipuan diri.
Sartre memandang hubungan seksual antar pria dan wanita bukan sekedar menginginkan ketubuhan semata, bukan pula tubuh sebagai benda. Melainkan menginginkan ketubuhan dengan mengidentifikasi diri terhadap lawan jenisnya. Ketika tubuh dipandang sebagai obyek, terjadi konflik saling mengobyektifitikasi satu dengan yang lain, eksistensi salah seorang akan didominasi oleh seorang lain yang mengatasinya. Nafsu selalu menginginkan obyek, dan obyek nafsu seksual ialah ketubuhan yang bersituasi dalam dunia. Bukan tubuh sebagai benda, karena benda tidak bersituasi.
Kepuasan dalam tindakan seksual, kata Sartre, adalah merampas eksistensi kebebasan seketika, di bawah pandangan orang yang menguasainya. Betapapun kenikmatan sebagai tujuan, kenikmatan juga adalah sebagai kematian dari kenikmatan itu sendiri ketika kenikmatan itu tercapai dalam ejakulasi. Dan inilah yang dinamakan lingkaran setan oleh Sartre. Namun itu tidak akan terjadi ketika salah satu dari keduanya tidak dapat mengatasi konflik saling mengobyektifitikasi.
Maka tidak heran pemerkosaan yang seakan marak belakangan ini karena laki-laki melalui hasrat seksualnya membutuhkan obyek pemenuhan. Berbagai cara akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya, dari cara yang paling kasar dengan merudapaksa, maupun cara manipulatif dengan berbincang santai dalam sebuah bar hingga mabuk kemudian menyetubuhinya saat kondisi tak sadar dalam kamar hotel. Obyek tidak butuh kesadaran untuk memberikan timbal balik. Sebagai obyek, kita hanya diberi kesempatan untuk tunduk dan terhegemoni baik secara represif, maupun secara idelogis.
Anomali lain tentang hubungan percintaan juga terjadi sangat jelas. Jika kita begitu menghamba pada nostalgia AADC 2, maka itu bentuk nyata bahwa manusia sejatinya selalu ingin mendominasi yang lainnya. Menurut Sartre, cinta tidaklah cukup dengan suatu perjanjian dari pihak lain. Cinta merupakan ikatan berdasarkan pilihan bebas yang merupakan kesetiaan pada diri sendiri. Inilah yang dikatakan sebagai sebuah situasi paradoksal.
Orang ingin mencintai dengan sebuah kemerdekaan, tetapi tidak ingin agar kemerdekaan itu ada. Maksudnya, ketika seseorang mencintai orang lain, maka ia mau mencintai pasangannya itu dengan kemerdekaan penuh, sementara dia tidak menghendaki agar orang yang dicintai itu mempunyai kemerdekaan.
Meskipun demikian, subyek yang mencintai ini tidak memandang orang lain ini hanya sebagai alat saja. Dia mau menjadi seluruhnya bagi yang dicintainya. Ia juga bersedia menjadi obyek bagi yang lain sedemikian rupa sehingga orang yang dia cintai itu bersedia menghilangkan diri dalam dia sebagai hal yang mendasari eksistensinya. Inilah situasi paradoksal. Mencintai tetapi tidak menghendaki adanya kebebasan dari orang yang dicintai. Pihak yang mencintai tidak mau berpengaruh terhadap kemerdekaan orang yang dicintai. Dengan kata lain masing-masing pihak saling mempertahankan kemerdekaannya.
Dalam cinta, subyek yang mencinta berusaha menjadikan pihak yang dicintai sebagai obyek atau etre-en-soi pemenuh hasrat cintanya. Sebaliknya pihak yang dicintai pun dengan sadar menjadikan orang lain sebagai objek atau etre-en-soi pemenuh kebutuhanya untuk dicintai. Dapat dikatakan bahwa tidak ada subjek dalam cinta ala Sartre ini. Masing-masing pihak adalah objek. Oleh sebab itu menurut Sartre, dalam cinta tak pernah akan terjadi cinta sejati atau cinta tanpa pamrih sebab masing-masing pihak berusaha untuk saling menjadikan pribadi yang lain sebagai obyek.
Jadi cukup jelas kenapa Rangga begitu ingin memiliki Cinta kembali. Puisi milik Aan Mansyur yang berucap “jurang antara kebodohan dan keinginanku untuk memilikimu sekali lagi” juga merupakan paradoks dalam hal ini. Karena manusia sedang dalam kondisi sadar ketika ingin mendominasi dan menghegemoni yang lainnya.
Namun akhirnya manusia akan menapaki hidupnya dengan kesendirian. Kita akan dihantui rasa kehilangan yang tak berkesudahan. Kesemuannya akan direnggut begitu saja dari kita tanpa alasan yang cukup jelas. Mungkin, jika Tuhan adalah maha kuasa, kenapa tidak dia menghilangkan diri-Nya sendiri saja. Semua rasa kehilangan memaksa kita untuk mempertanyakan kesadaran itu sendiri. Ingat, kita semua adalah objek bagi manusia lain, bahkan dalam cinta yang selalu dianggungkan oleh kita. L’enfer c’est less auters! (Orang lain adalah neraka!) Ungkapan itu akhirnya cukup jelas bagi kita. Tidak perlulah kita melayakkan diri untuk selalu berdampingan dengan orang lain. Karena pada akhirnya kelayakan itu bukan kita yang menentukan secara bebas. Kita benar-benar tidak memiliki kehendak bebas untuk menentukan pilihan secara sadar. Maka itu, kita selalu merasa terdominasi dan tersakiti berulang kali. Selalu ada pendarahan internal ketika dunia kita terhisap ke dalam dunia orang lain. Hasrat pun gagal memulihkan diri sendiri yang hilang akibat orang lain.
Kita mengalami keterlemparan, yang menurut Heidegger, di mana kita sebagai manusia sesungguhnya tidak mengetahui asal usul dan alasan keberadaan hidup kita sendiri. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah merelakan diri kita melebur ke dalam semesta. Membiarkan diri kita remuk ditimbun tanah dan terhempas. Karena ia (manusia) tidak menjadi apa-apa sampai ia menjadikan hidupnya apa-apa, manusia adalah bukan apa apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri.
sumber: https://youngage.co/2016/06/sekali-l...pecinta-tubuh/
0
2.6K
31


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan