- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
KPK jelaskan temuan dalam kasus Sumber Waras


TS
aghilfath
KPK jelaskan temuan dalam kasus Sumber Waras
Spoiler for KPK jelaskan temuan dalam kasus Sumber Waras:

Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menjelaskan bahwa tim penyelidik tidak menemukan perbuatan melawan hukum dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras seluas 3,64 hektare oleh Pemerintah DKI Jakarta pada 2014 dalam lanjutan rapat dengan Komisi III DPR, Rabu.
"Ini terkait penjelasan kasus pembelian lahan RS Sumber Waras yang ditanyakan Pak Junimart Girsang, Pak Arsul Sani, Pak Desmond, juga Pak Benny K Harman, kami akan jelaskan secara kronologis," kata Agus dalam RDP di gedung DPR Jakarta, Rabu.
Agus menjelaskan bahwa pada 14 Juli 2015 KPK menerima pengaduan masyarakat berupa Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan DKI Jakarta atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2014.
"LHP itu menginformasikan temuan BPK mengenai pengadaan tanah Sumber Waras yang tidak melalui proses memadai sehingga indikasi kerugian negara sejumlah Rp191 miliar, jadi memang pengaduan berasal dari LHP BPK," ungkap Agus.
Selanjutnya bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK mengumpulkan data dan informasi dan pemimpin KPK saat itu memutuskan untuk meminta laporan audit investigasi sesuai surat pimpinan KPK tertanggal 6 Agustus 2015.
"Ini periode kepemimpinan yang bukan kepemimpinan kami, karena kami masih tes di hadapan bapak-bapak," tambah Agus.
Kemudian, ia menjelaskan, pada 29 September 2015 KPK mengeluarkan surat perintah penyelidikan No.65/2015 dan berkoordinasi dengan tim audit BPK untuk mendapatkan data dan dokumen.
Pada 10 Desember 2015, ia melanjutkan, BPK menyampaikan hasil audit investigasi dan memaparkan ke pemimpin KPK, yang dijadikan informasi tambahan untuk penyelidikan dugaan korupsi terkait penjualan tanah tersebut.
"Yang bukan kami karena kami baru dilantik pada 20 Desember," katanya.
Pemaparan kasus tersebut dari penyelidik ke pemimpin KPK dilakukan beberapa kali dan paparan terakhir disampaikan tiga hari lalu, 13 Juni 2016.
"Di kesempatan itu mereka mengusulkan untuk menghentikan proses penyelidikan ini," kata Agus.
Namun, Agus mengatakan, belum ada keputusan untuk menghentikan penyelidikan dugaan korupsi terkait jual beli tanah RS Sumber Waras.
"Kami belum memutuskan untuk berhenti karena masih ada informasi yang harus kami gali, paling tidak ada dua instansi yang akan kami undang, salah satunya BPK. Kalau perlu pimpinan akan menyaksikan diskusi penyelidik kami dengan teman-teman dari BPK," ungkap Agus.
Menurut Agus, poin perbedaan penting antara laporan BPK dan KPK adalah pada penggunaan Peraturan Presiden No.40/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No.71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
"Poin yang pokok perbedaan penggunaan aturan Perpres No 40/2014. Sebetulnya kalau menggunakan Perpres itu banyak yang disampaikan pada laporan BPK jadi gugur karena tidak diperlukan perencanaan dan syarat lain," katanya.
"Tapi itu yang akan kami dalami pada waktu teman-teman auditor BPK bertemu dengan penyelidik kami. Teman-teman penyelidik kami rely ke Perpres 40/2014 di samping surat peraturan kepala BPN No.5/2012 yang menguatkan Perpres 40/2014 yaitu pengadaan lahan yang kurang lima hektare boleh dilakukan negosiasi langsung," jelasnya.
Agus mengatakan kalau setelah pertemuan antara penyelidik KPK dan auditor BPK ada bukti baru, maka penyelidikan masih bisa dilanjutkan.
"Harapan kami sebetulnya ada permintaan dari penyelidik kami untuk menghentikan penyelidikan, tapi kami belum menghentikan karena di penyelidikan itu boleh dihentikan, kalau ada bukti baru ya dilanjutkan lagi, namun sampai hari ini yang dilaporkan yaitu tidak menemukan perbuatan melawan hukum," tambah Agus.
Hal ini tentu berbeda dengan pendapat BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan DKI Jakarta 2014 yang menyatakan pembelian tanah itu berindikasi merugikan keuangan daerah hingga Rp191,3 miliar karena harga pembelian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terlalu mahal.
BPK mengacu pada harga pembelian PT Ciputra Karya Utama kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras tahun 2013 sebesar Rp564,3 miliar.
Ciputra Karya Utama kemudian membatalkan pembelian lahan itu karena peruntukan tanah tidak bisa diubah untuk kepentingan komersial.
Spoiler for KPK: Ahok tak intervensi pembelian lahan Sumber Waras:
Rabu, 15 Juni 2016 11:52 WIB - 3.052 Views
Pewarta: Desca Lidya Natalia
KPK: Ahok tak intervensi pembelian lahan Sumber Waras
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak melakukan intervensi dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras seluas 3,64 hektare.
"Dari hasil penyelidikan, kami menanyakan apakah ada intervensi dari Ahok dalam kasus tersebut misalnya dalam pemilihan lahan, saksi-saksi yang dimintai keterangan mengatakan tidak ada," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR di gedung DPR Jakarta, Rabu.
"Kemudian apakah ada intervensi Ahok mmenentukan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak)? Sama sekali tidak ada, sehingga sulit bagi kami misalnya menaikkan (penyelidikan) ke penyidikan kalau motif kejahatan tidak kami dapatkan," katanya.
Ketua KPK Agus Rahardjo dalam rapat tersebut menyatakan bahwa tim penyelidik KPK merekomendasikan untuk menghentikan penyelidikan dugaan korupsi terkait pembelian tanah dari Rumah Sakit Sumber Waras meski laporan audit hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan ada kerugian negara sebesar Rp191 miliar akibat jual beli tersebut.
Hal itu, menurut Agus, terjadi karena perbedaan aturan yang dipakai oleh auditor BPK dan penyelidik KPK.
Penyelidik KPK, ia menjelaskan, menggunakan Peraturan Presiden No.40/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No.71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Mereka khususnya menggunakan pasal 121 dari ketentuan tersebut yang memuat aturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih lima hektare dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
"Menyangkut mens rea (niat jahat) dan penyalahgunaan kewenangan, terus terang empat tahun saya menjadi hakim, surat dakwaan suka tidak jelas salahnya terdakwa di mana," kata Alexander.
"Kadang perbuatan menyangkut terdakwa hanya satu kalimat itu. Kami sangat hati-hati di penyidikan dan surat dakwaan supaya dalam persidangan kita yakin apa yang kita dakwakan terbukti dan hakim tidak ragu lagi yang bersangkutan bersalah," tambah dia.
Alexander mengatakan bahwa pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang No.31/1999 yang sudah diubah dengan Undang-Undang No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membingungkan penggunaannya.
"Pasal 2 dan 3 sangat membingungkan. Bagi hakim pasal 2 seperti keranjang sampah, perbuatan apapun bisa masuk pasal 2. Kalau dalam praktik kan pasal 2 subsidaritas masuk ke pasal 3 dan akhirnya membebaskan terdakwa dari pasal 2 karena alasan yang lucu," dia menjelaskan.
Kadang, ia melanjutkan, majelis lebih mempertimbangkan pasal 3 karena nilai kerugian negara kecil jadi dengan pertimbangan keadilan.
"Misalnya rasanya tidak adil kalau hanya mendapat keuntungan Rp20 juta kok ditahan empat tahun karena pakai pasal 2. Misalnya seorang yang diangkat menjadi direktur boneka suatu perusahaan dan dibawa ke persidangan hanya karena terima fee hanya Rp15 juta, padahal dia tidak punya peran sama sekali dalam dakwaan. Rasa-rasanya kalau menggunaan pasal 2 dengan peran tidak signifikan kan tidak adil juga jadi lari pasal 3 padahal direktur itu tidak punya kewenangan juga," ungkap Alexander.
Pasal 2 menyatakan "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar."
Sedangkan pasal 3 menyatakan "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar."
"Kalau terkait dengan Ahok dalam RS Sumber Waras, penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum apa yang dilakukan ya terkait jabatan Beliau sebagai gubernur. Jadi misalnya penyalagunaan kewenangan pasal 3 spesial, pasal 2 itu general, otomatis kalau penyalahgunaan kewenangan itu berarti melawan hukum tapi perbuatan melawan hukum bukan berarti penyalahgunaan kewenangan," tegas Alexander.
Agus mengatakan KPK belu memutuskan menghentikan penyelidikan dugaan korupsi terkait jual beli tanah RS Sumber Waras.
"Kami belum memutuskan untuk berhenti karena masih ada informasi yang harus kami gali, paling tidak ada dua instansi yang akan kami undang, salah satunya BPK. Kalau perlu pimpinan akan menyaksikan diskusi penyelidik kami dengan teman-teman dari BPK," ungkap Agus.
Spoiler for Soal Sumber Waras, KPK tidak lindungi siapa pun:
Rabu, 15 Juni 2016 16:26 WIB - 526 Views
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Soal Sumber Waras, KPK tidak lindungi siapa pun
Jakarta (ANTARA News) - KPK menyatakan tidak melindungi siapa pun saat membuat kesimpulan tidak menemukan perbuatan melawan hukum dalam penyelidikan pembelian lahan RS Sumber Waras seluas 3,64 hektar dalam lanjutan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR.
"Kami tidak ingin melindungi siapa pun dan tidak ingin zalim dan betul-betul ingin kerja sama dengan BPK," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III di gedung DPR Jakarta, Rabu.
Ketua KPK Agus Rahardjo dalam rapat itu menyatakan bahwa tim penyelidik KPK merekomendasikan untuk menghentikan penyelidikan Sumber Waras meski laporan audit hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan ada kerugian negara Rp191 miliar.
"Kami berlima dan seluruh teman-teman ini mungkin adalah orang paling tersiksa karena kasus Sumber Waras ini kami didemo setiap hari. Ada tokoh masyarakat yang datang tapi setelah diterima kami disodori hasil audit BPK. Padahal kasus ini bukan diawali saat kepemimpinan kami, kasus ini diawali pada masa kepemimpinan sebelumnya," ungkap Laode.
Menurut Laode, saat ia dan empat komisioner KPK lain resmi dilantik, KPK sudah meminta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan audit forensik.
"Apa betul uang hanya diterima setengahnya? Kami minta PPATK menelusuri, kami cek, kami periksa orangnya. Jadi untuk hal lokasi tanah yang lokasinya tertulis dalam surat tanah dan banyak sekali yang kami ketahui dari forensik itu namun demikian kami berterima kasih atas tambahan info yang diberikan ke kami," ungkap Laode.
Laode berjanji bahwa KPK akan menemui BPK untuk mencari titik temu menyangkut perbedaan pendapat KPK dan BPK itu.
"Bahwa kami diminta atau dihimbau untuk bertemu BPK, tanpa dihimbau pun insya Allah kami akan bertemu dengan beliau. Penyelidik kami juga pernah melakukan gelar perkara bersama BPK. Kita lihat aturannya A, B, C, D, semua kita lihat tapi KPK sampai pada kesimpulan belum bisa meningkatkan kasus ini kepada tingkat penyidikan," tambah Laode.
Apalagi, menurut Laode, KPK belum meminta laporan perhitungan kerugian negara ke BPK sehingga audit investigasi BPK itu hanya merupakan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK perwakilan DKI Jakarta atas Laporan Keuangan pemerintah provinsi DKI Jakarta 2014 yang menjadi bahan pengaduan masyarakat ke KPK.
Komisioner KPK lain, Alexander Marwata menjelaskan kriteria yang digunakan auditor BPK dan penyelidik KPK berbeda. Auditor BPK masih menggunakan Peraturan Presiden No 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, sedangkan penyelidik KPK menggunakan Peraturan Presiden No 40 tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
"Audit BPK kalau menurut kami itu perbedaan kriteria. Betul kalau menggunakan Perpres yang lama ada penyimpangan sempurna, tapi kalau Perpres No 40/2014, maka hal yang dianggap penyimpangan itu gugur," kata Alex.
"Tidak semua audit invetigasi berbanding lurus dengan perbuatan melawan hukum, beberapa kali saya selama di BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), perbuatan melawan hukum tidak ada dari audit investigasi, bahkan saat perhitungan kerugian sudah dilakukan tapi fakta perbuatan melawan hukum tidak ada, ya gugur. Jadi tidak selamanya perhitungan kerugian kerugian negara dan audit investigatif berbanding lurus dengan perbuatan melawan hukum," tegas Alex.
Hal ini berbeda dengan pendapat BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan DKI Jakarta 2014 yang menyatakan pembelian tanah itu berindikasi merugikan keuangan daerah hingga Rp191,3 miliar karena harga pembelian pemprov DKI terlalu mahal.
BPK mengacu pada harga pembelian PT Ciputra Karya Utama (CKU) kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) tahun 2013 sebesar Rp564,3 miliar. CKU kemudian membatalkan pembelian lahan itu karena peruntukan tanah tidak bisa diubah untuk kepentingan komersial.
http://m.antaranews.com/berita/56752...s-sumber-waras& http://m.antaranews.com/berita/56753...n-sumber-waras
Harusnya dicarikan bukti baru biar kasusnya bisa lanjut, dari awal udah terlihat adanya konflik kepentingan antara efdinal dan hasil audit kok mau2nya pimpinan BPK ikut2an tidak rasional dalam audit investigatifnya

Diubah oleh aghilfath 15-06-2016 09:47
0
2.6K
Kutip
22
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan