
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mendalami keterlibatan Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. ”Sejauh ini masih didalami tim penyelidik,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata melalui pesan singkat, Kamis, 9 Juni 2016.
Alex mengatakan pihaknya belum menaikkan status hukum La Nyalla ke tahap penyidikan. Meski demikian lembaga antikorupsi tetap mendalami peran La Nyalla dalam kasus ini. ”Peran La Nyalla masih didalami,” kata Alex.
Alex menyatakan tim akan mempertimbangkan untuk memeriksa La Nyalla sebagai saksi dalam penyidikan kasus ini. ”Kalau keterangannya relevan dengan perkara yang kami usut, ya, diperiksa sebagai saksi,” ucap dia.
Selama penyelidikan kasus ini, lembaga antirasuah mengkonfirmasi banyak pihak yang diduga mengetahui perkara yang menjerat mantan rektor Universitas Airlangga tersebut. Kaitannya dengan La Nyalla, Alex menduga perusahaan La Nyalla ikut mengerjakan proyek tersebut. ”Jadi keterangannya relevan dengan perkara yang diselidiki atau disidik,” ujar Alex.
Beberapa waktu lalu, KPK menggeledah PT Pembangunan Perumahan. Penggeledahan ini dilakukan karena perusahaan milik Muchmudah, istri La Nyalla itu menjadi pemenang tender dalam proyek pembangunan rumah sakit di Universitas Airlangga.
Ketua KPK Agus Rahardjo menuturkan, La Nyalla sudah pernah dimintai keterangannya dalam kasus ini pada 11 Maret tahun lalu. Ia mengatakan dalam waktu dekat akan menaikkan status Ketua Pemuda Pancasila Jawa Timur itu.
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur telah lebih dulu menetapkan La Nyalla sebagai tersangka di kasus korupsi dana hibah Kadin Jawa Timur. Dalam kasus ini, La Nyalla disangka menggunakan dana hibah Rp 5,3 miliar untuk dibelikan saham perdana Bank Jatim pada 2012 yang menguntungkannya secara pribadi Rp 1,1 miliar.
Kasus itu sendiri merupakan lanjutan dari vonis bersalah yang sudah dijatuhkan kepada dua Wakil Ketua Kadin Jawa Timur dalam kasus dana hibah yang sama. Keduanya adalah Nelson Sembiring dan Diar Kusuma Putra yang dianggap terbukti merugikan negara hingga Rp 26 miliar.