- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Stabilitas Harga Pangan di Bulan Ramadhan
TS
simanungkalit01
Stabilitas Harga Pangan di Bulan Ramadhan
Quote:
Siklus tahunan harga pangan jelang hari raya dimulai. Siklus tersebut seolah-olah menjadi penyakit menahun yang sulit disembuhkan. Berkaitan dengan hal tersebut, Presiden Jokowi bertekad dan memerintahkan para pembantunya untuk membalikkan siklus tahunan tersebut sehingga harga diharapkan turun selama bulan Ramadhan. Apakah fakta yang terjadi sesuai harapan Presiden? Harga beberapa komoditas pangan sudah mulai merangkak naik sejak awal 2016. Harga daging sapi rata-rata nasional terus naik sejak Januari dan mencetak rekor baru di minggu pertama bulan Juni ini sebesar Rp 113.823 per kilogram. Harga daging ayam, setelah turun cukup tajam sejak bulan Januari 2016 dan mencapai harga terendah di bulan April, mulai bergerak naik dengan kemiringan yang cukup tajam dan mulai mendekati rekor tertingginya pada tahun 2015. Pola kenaikan harga yang cukup tinggi juga terjadi pada gula pasir, minyak goreng, dan telor ayam ras yang masing-masing sudah naik sebesar 18,9 persen; 10,9 persen; dan 7,7 persen dibandingkan harga terendahnya tahun 2016. Harga bawang merah tercatat sangat tinggi di bulan April 2016, yaitu Rp 43.547 per kilogram atau naik sebesar 40,6 persen dibandingkan Februari 2016. Harga bawang merah itu mengkhawatirkan banyak pihak, termasuk pemerintah, karena mencetak rekor harga baru yang jauh lebih tinggi dibandingkan rekor harga tertinggi tahun 2015.
Komoditas pangan yang harganya relatif stabil hanya beras, tepung terigu, dan kedelai. Harga beras sudah mulai turun setelah mencapai rekor tertingginya pada Februari 2016, yaitu Rp 10.894 per kilogram (harga beras medium rata-rata nasional). Harga beras di minggu pertama bulan Juni ini sudah turun 3,0 persen dibandingkan Februari. Penurunan harga beras ini lebih disebabkan panen raya yang berlangsung sejak April. Hal lain yang ikut menyumbang turunnya harga beras yang lepas dari pantauan masyarakat adalah impor beras. Impor beras pada triwulan pertama (Januari-Maret 2016, Kementerian Pertanian) sudah mencapai 0,982 juta ton, yang lebih tinggi dibandingkan total impor beras tahun 2015 sebesar 0,862 juta ton dan 2014 (0,844 juta ton). Diperkirakan impor beras pada 2016 ini di atas 2 juta ton. Impor tepung terigu melonjak sangat tinggi sebesar 3,0 juta ton hanya di triwulan pertama atau meningkat 72,2 persen dibandingkan triwulan pertama tahun 2015 (Kementerian Pertanian 2015; 2016). Peningkatan impor tepung terigu yang tajam ini kemungkinan digunakan sebagai antisipasi peralihan konsumsi beras ke pangan berbahan baku terigu akibat mahalnya harga beras dan perkiraan produksi padi yang lebih rendah di tahun 2016 serta wacana peningkatan ekspor produk pangan berbasis terigu ke luar negeri.
Melihat dinamika harga pangan tersebut, cukup naif jika kemudian disimpulkan bahwa untuk mencapai stabilitas harga pangan dalam negeri, maka serahkan pembentukan harga domestik ke pasar internasional melalui pembukaan impor pangan besar-besaran. Hal itu pernah disarankan Deputi Dirjen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menyatakan, ketahanan pangan nasional harus diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur oleh WTO. Selain itu, banyak literatur terkait kebijakan pangan yang juga menyampaikan pendapat yang sama. Indonesia pernah menerapkan kebijakan tersebut pada Januari 1999 hingga Januari 2004, terutama untuk beras. Pada periode tersebut, Indonesia menerapkan kebijakan impor terbuka dan monopoli impor oleh Bulog dihapus. Harga beras stabil dan praktis tidak mengalami kenaikan selama lima tahun. Perbedaan harga beras domestik dengan internasional juga relatif kecil. Periode tersebut juga ditandai dengan impor beras rata-rata di atas 1 juta ton tiap tahun serta menjadi penanda hancurnya produksi kedelai dan petani kedelai nasional. Menyerahkan total sistem pangan nasional ke perdagangan pangan dunia sungguh sangat berisiko dan memiliki dampak jangka panjang yang tidak dapat balik.
Hal kedua yang penting adalah perencanaan pangan berlandaskan data yang akurat. Pola produksi, stok, dan konsumsi pangan sesungguhnya tidak banyak berubah setiap tahun. Ketiganya dapat dipelajari dan dikaji dengan tepat sehingga kebijakan yang diambil juga tepat sasaran. Sayangnya, data produksi dan stok sering kali dikaitkan dengan kinerja kementerian terkait dan besaran anggaran. Hal ini berpotensi menghasilkan kebijakan yang bias dan tidak akurat. Berkaitan dengan hal ini, penulis pernah mengusulkan agar Presiden membentuk Unit Intelijen Data yang bisa memberikan masukan kepada Presiden untuk memutuskan kebijakan pangan (DA Santosa, ”Waspada Pangan 2016”, Kompas, 3/5/2016). Ketiga, sistem pangan di Indonesia saat ini tergolong liberal. Pemerintah praktis hanya memiliki kapasitas untuk melakukan intervensi terhadap beras. Kapasitas tersebut juga sangat terbatas karena hanya menguasai 6-9 persen dari total produksi. Sebagian besar beras dan hampir seluruh pangan lainnya dikuasai oleh pelaku usaha, produsen, dan masyarakat. Dengan demikian, semua upaya pemerintah untuk mengintervensi pasar hanya akan berdampak kecil. Keempat, saat ini yang paling memungkinkan dilakukan dalam jangka pendek adalah melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan terkena dampak kenaikan harga pangan menjelang Lebaran. Operasi pasar untuk kelompok masyarakat rentan merupakan langkah taktis yang bisa lebih masif dilakukan, selain juga mewujudkan ide ”Voucher Pangan”. Sesungguhnya masyarakat Indonesia dalam batas tertentu cukup pejal menghadapi situasi ini, yaitu melalui gerakan gotong royong yang biasanya muncul di saat-saat kritis mendekati hari raya, baik melalui pembagian makanan pada saat buka puasa, kenduri, pasar murah yang diselenggarakan berbagai kalangan, maupun upaya-upaya charity lainnya. Semoga kita bisa melewati Ramadhan dan Lebaran ini dengan damai dan penuh berkah.
Komoditas pangan yang harganya relatif stabil hanya beras, tepung terigu, dan kedelai. Harga beras sudah mulai turun setelah mencapai rekor tertingginya pada Februari 2016, yaitu Rp 10.894 per kilogram (harga beras medium rata-rata nasional). Harga beras di minggu pertama bulan Juni ini sudah turun 3,0 persen dibandingkan Februari. Penurunan harga beras ini lebih disebabkan panen raya yang berlangsung sejak April. Hal lain yang ikut menyumbang turunnya harga beras yang lepas dari pantauan masyarakat adalah impor beras. Impor beras pada triwulan pertama (Januari-Maret 2016, Kementerian Pertanian) sudah mencapai 0,982 juta ton, yang lebih tinggi dibandingkan total impor beras tahun 2015 sebesar 0,862 juta ton dan 2014 (0,844 juta ton). Diperkirakan impor beras pada 2016 ini di atas 2 juta ton. Impor tepung terigu melonjak sangat tinggi sebesar 3,0 juta ton hanya di triwulan pertama atau meningkat 72,2 persen dibandingkan triwulan pertama tahun 2015 (Kementerian Pertanian 2015; 2016). Peningkatan impor tepung terigu yang tajam ini kemungkinan digunakan sebagai antisipasi peralihan konsumsi beras ke pangan berbahan baku terigu akibat mahalnya harga beras dan perkiraan produksi padi yang lebih rendah di tahun 2016 serta wacana peningkatan ekspor produk pangan berbasis terigu ke luar negeri.
Melihat dinamika harga pangan tersebut, cukup naif jika kemudian disimpulkan bahwa untuk mencapai stabilitas harga pangan dalam negeri, maka serahkan pembentukan harga domestik ke pasar internasional melalui pembukaan impor pangan besar-besaran. Hal itu pernah disarankan Deputi Dirjen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menyatakan, ketahanan pangan nasional harus diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur oleh WTO. Selain itu, banyak literatur terkait kebijakan pangan yang juga menyampaikan pendapat yang sama. Indonesia pernah menerapkan kebijakan tersebut pada Januari 1999 hingga Januari 2004, terutama untuk beras. Pada periode tersebut, Indonesia menerapkan kebijakan impor terbuka dan monopoli impor oleh Bulog dihapus. Harga beras stabil dan praktis tidak mengalami kenaikan selama lima tahun. Perbedaan harga beras domestik dengan internasional juga relatif kecil. Periode tersebut juga ditandai dengan impor beras rata-rata di atas 1 juta ton tiap tahun serta menjadi penanda hancurnya produksi kedelai dan petani kedelai nasional. Menyerahkan total sistem pangan nasional ke perdagangan pangan dunia sungguh sangat berisiko dan memiliki dampak jangka panjang yang tidak dapat balik.
Hal kedua yang penting adalah perencanaan pangan berlandaskan data yang akurat. Pola produksi, stok, dan konsumsi pangan sesungguhnya tidak banyak berubah setiap tahun. Ketiganya dapat dipelajari dan dikaji dengan tepat sehingga kebijakan yang diambil juga tepat sasaran. Sayangnya, data produksi dan stok sering kali dikaitkan dengan kinerja kementerian terkait dan besaran anggaran. Hal ini berpotensi menghasilkan kebijakan yang bias dan tidak akurat. Berkaitan dengan hal ini, penulis pernah mengusulkan agar Presiden membentuk Unit Intelijen Data yang bisa memberikan masukan kepada Presiden untuk memutuskan kebijakan pangan (DA Santosa, ”Waspada Pangan 2016”, Kompas, 3/5/2016). Ketiga, sistem pangan di Indonesia saat ini tergolong liberal. Pemerintah praktis hanya memiliki kapasitas untuk melakukan intervensi terhadap beras. Kapasitas tersebut juga sangat terbatas karena hanya menguasai 6-9 persen dari total produksi. Sebagian besar beras dan hampir seluruh pangan lainnya dikuasai oleh pelaku usaha, produsen, dan masyarakat. Dengan demikian, semua upaya pemerintah untuk mengintervensi pasar hanya akan berdampak kecil. Keempat, saat ini yang paling memungkinkan dilakukan dalam jangka pendek adalah melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan terkena dampak kenaikan harga pangan menjelang Lebaran. Operasi pasar untuk kelompok masyarakat rentan merupakan langkah taktis yang bisa lebih masif dilakukan, selain juga mewujudkan ide ”Voucher Pangan”. Sesungguhnya masyarakat Indonesia dalam batas tertentu cukup pejal menghadapi situasi ini, yaitu melalui gerakan gotong royong yang biasanya muncul di saat-saat kritis mendekati hari raya, baik melalui pembagian makanan pada saat buka puasa, kenduri, pasar murah yang diselenggarakan berbagai kalangan, maupun upaya-upaya charity lainnya. Semoga kita bisa melewati Ramadhan dan Lebaran ini dengan damai dan penuh berkah.
SUMBER
0
617
Kutip
0
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan